Malam perayaan dilaksanakan, orang-orang Wiyyam serentak keluar dari tenda dan berkumpul beratapkan langit. Sebagian perlombaan baru selesai saat matahari tenggelam, tapi keseruan masih terus berlanjut. Di penjuru pemukiman ini, anak-anak kecil masih saja sibuk kejar-kejaran penuh canda tawa. Api unggun besar pun dinyalakan di tengah padang sebagai penghangat. Meskipun dengan penerangan seadanya itu, acara berjalan begitu meriah.Banyak makanan, permainan, dan pertunjukan membuat padang rumput ini terlihat seperti pasar malam. Kini, Zhura sedang berkumpul bersama orang-orang mengelilingi api unggun. Tepat di sisi kanannya, ada Azhara yang duduk menyembunyikan wajah. Mereka semua bercakap-cakap riang, duduk melingkar seraya berbagi cerita. Cahaya dari nyala api di tengah membuat semua orang menjadi merah."Apa ini?" Zhura mencium minuman di gelasnya, terasa hangat dengan aroma kelapa."Jangan khawatir, itu bukan anggur." Kakek Maral menjawabnya, "Ini adalah minuman khas suku Wiyyam. Na
Inara berada di kamar dengan nuansa kayu. Ada aroma harum yang memenuhi ruang kamar itu, sepertinya itu berasal dari bunga-bunga yang diletakkan sebagai hiasan di beberapa sudut. Sekarang adalah jadwal bagi pemeriksaan kondisi Raja Amarhaz. Inara sengaja datang lebih awal, dengan itu ia dapat melihat pelayan-pelayan itu membantu mempersiapkan raja setelah mandi. Terkesan tidak baik, tapi seperti itulah caranya agar ia bisa melihat tubuh pria tua itu, tentu dengan batasan beberapa bagian tertentu.Dari balik tirai tranparan, mata elf itu menelusuri bagian demi bagian dari tubuh Raja Amarhaz. Ia mengembuskan napas lega saat tidak menemukan lambang bunga di sana. Itu berarti dia bukan dalangnya. Kini, Inara merasa tenang. Setelah pelayan itu menyilakan dirinya masuk, ia pun datang. Wajahnya tertutup kain, jadi ia identitas dirinya aman. Raja Amarhaz duduk di ranjang dengan lemah, wajahnya masih pucat dan dingin bahkan meski ia selalu mandi air hangat.Inara meminta izin untuk memeriksa k
"Jadi, itulah alasannya kenapa La dipaksa berpura-pura menjadi laki-laki?"Yara yang tengah memunguti sampah terlonjak mendengar perkataan Zhura. "Kakak Lailla sudah tahu?!""Ya, La sendiri yang mengatakannya."Alis Yara turun, seakan-akan ada kanopi besar di atasnya, dia tampak mengeruh. "Kakek Maral dan Nenek Manira sebenarnya adalah orang baik, mereka hanya tidak mempunyai pilihan. Dengan cara menyembunyikan identitas La, anak itu akan aman. Mereka pikir cara itu akan berhasil, atau setidaknya untuk sekarang.Gadis elf itu lanjut menutup karungnya lalu berjalan ke tempat dikumpulkannya semua sampah di sisi bukit untuk dikubur oleh para pria. Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, Yara dan Zhura duduk di atas bukit menatap pemandangan alam. Di mata hijau Zhura, seluruh wilayah di bawah seperti butiran pasir, begitu kecil seakan dapat ia genggam dengan satu tangan."Kakak Lailla, aku sungguh ingin melihat dunia di mana gadis-gadis hidup bebas." Yara membuka pernyataan itu dengan nada s
Azhara mencengkram dadanya yang berdenyut hebat. Rasa sakit dan panas menyebar membuat tubuhnya kejang. Ada bunyi debum redam saat ia tak kuasa menahan pijakan kaki, dan jatuh pada karpet di bawahnya. Segalanya berdentum seiring paru-parunya yang berusaha mengambil napas. Kuku-kuku jarinya yang memutih pun patah seakan itu terlalu rapuh."Argh." Perutnya nyeri bak diperas, sesuatu keluar dari bibirnya. Tangan Azhara naik menengadah darah yang mengalir seperti tak terbendung itu. Sungai jernih mengalir di matanya yang putih sempurna saat senyum miring justru tercipta pada bibir. Meskipun ia tidak bisa melihat, tapi ia tahu seberapa buruk keadaannya. Jarum di dalam jantungnya semakin ganas, menggerogotinya, perlahan tapi pasti dia akan mati.Dambaan yang ia simpan, menambah satu alasan mengapa tubuhnya sekarat. Ia telah merasakan ini sejak jarum itu ia masukkan ke sana, tapi kini rasa sakit datang ratusan kali lebih kuat. Penderitaan ini tidak akan hilang kecuali jarumnya hilang. Namun,
"Aku Asyaralia, panggil saja aku Asya. Jadi, siapa namamu?"Valea mendengkus, melipat kedua tangannya di depan dada. Diliriknya akses jalan keluar di sekelilingnya yang nihil, tertutup rapat. Sial, jadi ia benar-benar sudah tertangkap. "Kuberitahu kau, Asyaralia. Masalah yang sedang aku hadapi bukan masalah sepele. Bukannya aku peduli atau apapun, tapi kau harusnya berpikir dua kali untuk mencampuri urusanku," tegasnya.Valea tidak mau tunduk kepada pemuda itu, bahkan meskipun ia adalah pangeran. Ia mengingat kejadian saat ia tak sengaja jatuh ke kolam di mana pemuda itu tengah mandi di sana. Meskipun dirinya geli setengah mati mengingatnya, tapi dari kejadian itu Valea tahu bahwa Asyaralia tidak berkaitan dengan masalah ini.Pemuda bersurai hitam tersebut mengangguk, satu sisi bibirnya menyimpul semakin tajam. "Maksudmu aku tidak lebih kompeten dari seorang gadis belia sepertimu? Apakah aku tampak seperti pria ringkih yang akan mati jika ditendang?" tanyanya."Jangan bertele-tele!" V
"Maaf bolehkah aku kembali sebentar? Aku merasa sedikit pusing.""Kau sedang sakit, Nak?" Nenek Manira dan ibu-ibu menatapnya khawatir. "Maaf, sudah merepotkanmu. Terima kasih juga atas bantuannya, sekarang kembalilah dan istirahat.""Baiklah." Zhura berbalik, berjalan keluar. Tapi ia dicegat oleh Yara, gadis itu meletakkan semangkuk besar sup hangat di tangan Zhura."Makanlah yang banyak, Kak," katanya.Zhura menerimanya dengan senyum tipis, "Kau yang terbaik. Baiklah, aku kembali dulu." Ia meninggalkan tenda dapur, dan kembali ke yurtnya. Banyak anak-anak kecil yang menyapa Zhura, dengan ramah dia memberikan sapaan balik."Azhara, aku membawa sup hangat. Kau cobalah." Saat sampai di tendanya, ia melihat ke sekeliling ruangan. Gadis bermata hijau itu mengerutkan kening saat tak menemukan Azhara. Ia mulai panik. Diletakkan supnya di atas meja, lalu keluar mencarinya. Namun, di depan tenda, ia terkesiap melihat pemuda itu berjalan dari kejauhan ke arahnya."Darimana saja kau?" tanya Zh
"Jika kesempatan itu benar-benar ada, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," timpal Azhara. Tak peduli seberapa kacaunya itu, satu dua cerita kebersamaan mereka yang pernah terlewati masih terpatri jelas di kepalanya. Ia tidak berdusta, dia ingin kembali ke sana. Jika angin adalah monumen bagi para pujangga, maka gadis itu adalah badai yang mengamuk abadi di dalam dirinya."Maukah kau kembali ke sana?" tanyanya.Mendengar pertanyaan itu, Zhura pun berjalan mendekati pemuda itu saat bagian dari hatinya merasa hangat tapi juga dingin. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pengakuan, dan ia belum mendapatkannya. Meskipun begitu, sedemikian kata yang baru saja dijuruskan, membuatnya yakin kalau Azhara tidak pernah membuangnya."Lalu, apa yang akan kau lakukan jika ternyata suatu saat kau kembali menyakitiku, Azhara?" Dari balik bulu matanya, ia melemparkan tatapan intens.Gemelut ruang kosong yang bercampur rasa sakit meraung gila. Azhara mengembuskan napas berat mencoba untuk
"Kau darimana?"Aryana terheran-heran kala melihat Inara tengah melangkah ke arahnya, terakhir kali ia meninggalkan gadis itu masih duduk di tempatnya. Aryana lekas mengitari ruangan dengan pandangannya, lalu melihat brosur yang ditempelkan pada tiang kedai. Ia rasa gadis tabib di depannya baru saja pergi memandangi lembaran itu. Tapi kenapa Inara melihatnya?"Situasinya sangat kalut, penyerangan malam itu benar-benar membuat banyak sekali celah. Tidak heran para gadis suci memanfaatkan keadaan genting itu untuk kabur," tukas Aryana membuka topik yang berat bagi Inara. Gadis yang tidak siap akan pernyataan tersebut lantas termangut. Tak menyadari perubahan perasaan sosok di hadapannya, Aryana asyik menyantap makanannya.Inara terlihat tidak setuju, raut gadis itu sudah cukup pias si balik cadarnya. "Apakah mereka, gadis suci yang kabur itu dianggap sebagai penjahat?"Karena gadis di hadapannya bertanya demikian, Aryana pun mendongak bingung. "Apa?"Decakan lirih keluar dari bibir Inar