Azhara mencengkram dadanya yang berdenyut hebat. Rasa sakit dan panas menyebar membuat tubuhnya kejang. Ada bunyi debum redam saat ia tak kuasa menahan pijakan kaki, dan jatuh pada karpet di bawahnya. Segalanya berdentum seiring paru-parunya yang berusaha mengambil napas. Kuku-kuku jarinya yang memutih pun patah seakan itu terlalu rapuh."Argh." Perutnya nyeri bak diperas, sesuatu keluar dari bibirnya. Tangan Azhara naik menengadah darah yang mengalir seperti tak terbendung itu. Sungai jernih mengalir di matanya yang putih sempurna saat senyum miring justru tercipta pada bibir. Meskipun ia tidak bisa melihat, tapi ia tahu seberapa buruk keadaannya. Jarum di dalam jantungnya semakin ganas, menggerogotinya, perlahan tapi pasti dia akan mati.Dambaan yang ia simpan, menambah satu alasan mengapa tubuhnya sekarat. Ia telah merasakan ini sejak jarum itu ia masukkan ke sana, tapi kini rasa sakit datang ratusan kali lebih kuat. Penderitaan ini tidak akan hilang kecuali jarumnya hilang. Namun,
"Aku Asyaralia, panggil saja aku Asya. Jadi, siapa namamu?"Valea mendengkus, melipat kedua tangannya di depan dada. Diliriknya akses jalan keluar di sekelilingnya yang nihil, tertutup rapat. Sial, jadi ia benar-benar sudah tertangkap. "Kuberitahu kau, Asyaralia. Masalah yang sedang aku hadapi bukan masalah sepele. Bukannya aku peduli atau apapun, tapi kau harusnya berpikir dua kali untuk mencampuri urusanku," tegasnya.Valea tidak mau tunduk kepada pemuda itu, bahkan meskipun ia adalah pangeran. Ia mengingat kejadian saat ia tak sengaja jatuh ke kolam di mana pemuda itu tengah mandi di sana. Meskipun dirinya geli setengah mati mengingatnya, tapi dari kejadian itu Valea tahu bahwa Asyaralia tidak berkaitan dengan masalah ini.Pemuda bersurai hitam tersebut mengangguk, satu sisi bibirnya menyimpul semakin tajam. "Maksudmu aku tidak lebih kompeten dari seorang gadis belia sepertimu? Apakah aku tampak seperti pria ringkih yang akan mati jika ditendang?" tanyanya."Jangan bertele-tele!" V
"Maaf bolehkah aku kembali sebentar? Aku merasa sedikit pusing.""Kau sedang sakit, Nak?" Nenek Manira dan ibu-ibu menatapnya khawatir. "Maaf, sudah merepotkanmu. Terima kasih juga atas bantuannya, sekarang kembalilah dan istirahat.""Baiklah." Zhura berbalik, berjalan keluar. Tapi ia dicegat oleh Yara, gadis itu meletakkan semangkuk besar sup hangat di tangan Zhura."Makanlah yang banyak, Kak," katanya.Zhura menerimanya dengan senyum tipis, "Kau yang terbaik. Baiklah, aku kembali dulu." Ia meninggalkan tenda dapur, dan kembali ke yurtnya. Banyak anak-anak kecil yang menyapa Zhura, dengan ramah dia memberikan sapaan balik."Azhara, aku membawa sup hangat. Kau cobalah." Saat sampai di tendanya, ia melihat ke sekeliling ruangan. Gadis bermata hijau itu mengerutkan kening saat tak menemukan Azhara. Ia mulai panik. Diletakkan supnya di atas meja, lalu keluar mencarinya. Namun, di depan tenda, ia terkesiap melihat pemuda itu berjalan dari kejauhan ke arahnya."Darimana saja kau?" tanya Zh
"Jika kesempatan itu benar-benar ada, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," timpal Azhara. Tak peduli seberapa kacaunya itu, satu dua cerita kebersamaan mereka yang pernah terlewati masih terpatri jelas di kepalanya. Ia tidak berdusta, dia ingin kembali ke sana. Jika angin adalah monumen bagi para pujangga, maka gadis itu adalah badai yang mengamuk abadi di dalam dirinya."Maukah kau kembali ke sana?" tanyanya.Mendengar pertanyaan itu, Zhura pun berjalan mendekati pemuda itu saat bagian dari hatinya merasa hangat tapi juga dingin. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pengakuan, dan ia belum mendapatkannya. Meskipun begitu, sedemikian kata yang baru saja dijuruskan, membuatnya yakin kalau Azhara tidak pernah membuangnya."Lalu, apa yang akan kau lakukan jika ternyata suatu saat kau kembali menyakitiku, Azhara?" Dari balik bulu matanya, ia melemparkan tatapan intens.Gemelut ruang kosong yang bercampur rasa sakit meraung gila. Azhara mengembuskan napas berat mencoba untuk
"Kau darimana?"Aryana terheran-heran kala melihat Inara tengah melangkah ke arahnya, terakhir kali ia meninggalkan gadis itu masih duduk di tempatnya. Aryana lekas mengitari ruangan dengan pandangannya, lalu melihat brosur yang ditempelkan pada tiang kedai. Ia rasa gadis tabib di depannya baru saja pergi memandangi lembaran itu. Tapi kenapa Inara melihatnya?"Situasinya sangat kalut, penyerangan malam itu benar-benar membuat banyak sekali celah. Tidak heran para gadis suci memanfaatkan keadaan genting itu untuk kabur," tukas Aryana membuka topik yang berat bagi Inara. Gadis yang tidak siap akan pernyataan tersebut lantas termangut. Tak menyadari perubahan perasaan sosok di hadapannya, Aryana asyik menyantap makanannya.Inara terlihat tidak setuju, raut gadis itu sudah cukup pias si balik cadarnya. "Apakah mereka, gadis suci yang kabur itu dianggap sebagai penjahat?"Karena gadis di hadapannya bertanya demikian, Aryana pun mendongak bingung. "Apa?"Decakan lirih keluar dari bibir Inar
Aryana melihat ke sekeliling kedai. Keadaan benar-benar porak-poranda seakan badai besar baru saja mengamuk di dalam sana. Sebelumnya hiruk pikuk orang-orang terdengar menyeruak di telinganya yang berdengung. Kini saat semuanya menjadi tenang, ia sadar bahwa Inara benar-benar menghilang. Aryana sempat kembali ke paviliun untuk memeriksa keberadaan gadis itu, tapi dia tidak ada di sana. Fakta bahwa berita kebakaran tadi adalah kebohongan menambah kecurigaannya.Mungkinkah situasi ini adalah ulah seseorang?"Hei, tenanglah, Callan!" Aryana menahan rubahnya yang terus memberontak. Ia begitu heran kenapa akhir-akhir ini hewan peliharaannya sangat tidak ramah. Saking kuatnya, pemuda itu tak bisa menahan tali kendali dan ikut terseret Callan yang berlari. Hewan itu membawanya ke sisi meja di mana ada banyak bercak darah yang sedang dibersihkan oleh pelayan. Seakan mengenalinya, rubah itu mengendus darah itu lalu melompat-lompat kecil.Tunggu!Aryana berjongkok memperhatikan bercak darah itu
Zhura menatap pemandangan di hadapannya dengan kepungan pertanyaan di benak. Sebelah lengannya masih tergenggam Azhara, sosok yang mempunyai ide untuk datang ke sisi tebing tempat mereka berdiri sekarang. Orang-orang sedang terlelap dan mereka berdua justru pergi ke tempat gelap di malam hari. Ayolah, ini bukan hal baik. Bisa-bisa mereka dikira yang aneh-aneh."Kenapa kau mengajakku ke sini?" Angin malam yang bertiup membuat gigil. Hawa dingin begitu tak ramah hinggap pada tubuh Zhura yang hanya terbalut pakaian tidur."Aku membacanya dari gulungan perkamen yang kau berikan saat memintaku menjadikanmu muridku. Di sana, tertulis semua hal tentangmu," tutur Azhara yang dengan mata putihnya, ia memandang jauh ke depan entah ke manaZhura mengerutkan keningnya, "Lalu, apa hubungannya dengan ini semua?""Hari ini adalah hari ulang tahunmu," jawab pemuda itu menghadapkan sepenuh dirinya pada Zhura yang terlihat tercengang. Pemuda itu lalu melanjutkan, "Karena itu aku membawamu ke tempat ini
"Untuk detail lebih lanjut, akan disampaikan langsung oleh pimpinan baru kalian. Sebenarnya beliau sudah resmi menggantikanku sejak beberapa bulan lalu, tapi baru kali ini kita berkesempatan untuk bertemu dengannya." Pria berkepala botak menyilakan seseorang untuk naik ke podium.Ramia masih belum menemukan Tusk, jadi dirinya belum bisa kembali. Hari ini dia dan semua anggota Shar dikumpulkan, mereka diminta berbaris di markas utama tempatnya menyusup beberapa hari terakhir. Ran yang merupakan temannya berkata kalau mereka mempunyai pengumuman penting yang akan segera diberitahukan. Awalnya Ramia mengira akan ada satu dua misi baru yang harus dijalankan, tapi tak ia sangka pengumuman itu ternyata juga membawanya pada fakta yang mengejutkan.Dari segala hal yang sudah Ramia temui di perjalanan ini, belum ada yang telak membuatnya terlonjak seperti saat melihat pemandangan di atas podium. Pria tua yang sangat ia kenal sedang mengumbar senyum ramah khasnya yang dipenuhi wibawa. Di sebela