Share

Pendekatan

“Jadi begini,,,,”

Vanika, Joe, Akhtar, dan Aditya memajukan tubuh mereka dengan wajah mereka yang terlihat sangat antusias.

“Sudah! Tamat! Kalian cari tahu sendiri ceritanya,” ujar Pramana yang diikuti tendangan kaki dari Joe yang kesal.

“Menyebalkan!” Vanika melemparkan buku pada temannya yang bertubuh gempal itu.

“Aku takut salah bicara. Kalian tanya saja langsung ke orangnya,”

“Eh, sekarang sudah terlalu sore. Kita harus pulang secepatnya. Aku juga harus bantu ibu aku untuk jualan besok,” kata Akhtar sambil melihat arlojinya.

“Aku masih ingin di sini tapi ternyata sudah sesore ini,” keluh Joe sambil merapikan bajunya.

“Ya sudah nanti kita ketemu lagi kok,” hibur Vanika sambil membuka pintu perpustakaan.

“Kita bereskan bekas makanannya ya?” Aditya mulai mengambil beberapa piring di meja.

“Sudah, jangan. Biar nanti aku dan Bi Ika yang bereskan,”

Tidak lama kemudian mereka berjalan menuju gerbang. Pramana dan Akhtar menyalakan motor masing-masing.

“Clarissa belum pulang?” tanya Joe pada Vanika.

Belum sempat Vanika menjawab, Clarissa berlari mendekat dengan wajah berbinar-binar. Ia membungkuk di hadapan Joe. Adiknya memang salah satu penggemar berat Joe. Joe adalah motivasinya agar berlatih lebih giat.

Mereka berdua memang memilki beberapa persamaan. Mereka benci sekali belajar di kelas, rambut mereka sama-sama diikat ponytail (hanya saja milik Clarissa tidak diikat dengan sangat kencang), tubuh mereka tinggi besar, dan mereka berlari seperti kuda.

“Kak Joe! Kenapa pulang?! Clarissa ‘kan baru sampai,” ujar Clarissa dengan wajah kecewa.

“Padahal sudah cukup lama aku di sini, lagipula hari sudah mulai gelap,” jawab Joe dengan senyum yang membuat freckles di wajahnya terlihat semakin jelas.

“Ahhh,, sayang sekali,” Clarissa semakin cemberut.

Joe merangkulnya, “nanti kapan-kapan latihan bareng timku yuk! Aku undang kamu dan tim kamu untuk latihan bersama,”

Senyum Clarissa tumbuh, “siap!” jawabnya.

“Lihat, Tar. Bahkan Clarissa tingginya sudah melampaui kamu,” goda Pramana yang langsung menerima cubitan keras dari Akhtar tepat di pinggangnya.

“Ah sudahlah, kalau mengobrol terus kita gak akan pulang. Ayo kita pulang!” ajak Aditya.

“Oh ya, Satrio lusa akan datang ke sini. Katanya mau menengok kamu sekalian memberi materi olimpiade,” tambah Akhtar.

“Baiklah,” ucap Vanika.

“Terima kasih ya, Van sudah menjamu kami,” ucap Pramana.

Mereka mulai pergi sambil melambaikan tangan pada Vanika dan Clarissa.

***

Hari-hari berlalu dengan cepat. Vanika menghabiskan waktu dengan membaca buku, bermain game, menonton serial film, dan melakukan hal lainnya. Sakitnya sudah tidak begitu parah seperti waktu itu. Bahkan batuknya sudah pulih total. Hanya saja tubuhnya masih demam walaupun tidak setinggi beberapa hari lalu.

Ia merasa ingin cepat-cepat sekolah. Gawainya tergeletak begitu saja di meja. Terbalik dengan remaja lainnya, Vanika jarang sekali memainkan gawainya apabila ia menghabiskan waktu di rumah. Gawainya berbunyi untuk kesekian kalinya menandakan ada pesan masuk.

Vanika yang sedang asyik membaca buku yang berjudul The Golem’s Eye langsung mengambil gawainya. Salah satu pesan yang masuk berasal dari nomor yang tidak dikenalnya. Ia mulai membaca.

“Hey, selamat siang. Ini aku, Hayden dari kelas sebelah. Maaf mengganggu, tapi siang ini aku menggantikan Satrio untuk datang ke rumahmu,”

Mata Vanika terbelalak karena terkejut. Ia menengok ke arah kanan dan kiri berusaha mencari adiknya. Clarissa baru saja masuk dari halaman belakang. Ia kebingungan melihat kakaknya memasang wajah yang begitu terkejut. Ia terkikik-kikik.

“Wajah kamu kenapa?” tanyanya sambil berjalan mendekat

“Ini! Ini! Baca ini!” perintah kakaknya sambil menunjukkan isi pesan dari laki-laki yang disukainya.

“Aku harus jawab apa?” tanya kakaknya yang kebingungan.

Clarissa mengetik sesuatu dan Vanika langsung mengintipnya.

“OK. Aku tunggu. J,”

“Apa harus pakai emoji?” tanya kakaknya lagi.

“Biar kesannya kamu itu antusias kalau dia akan datang dan menimbulkan kesan ramah dan periang gitu loh,” jawab adiknya.

“Ish ish,”

“Percayalah, aku ini master di bidang percintaan,” ujar adiknya itu.

“Tapi, tadinya ‘kan Satrio yang mau ke sini. Kira-kira dia mau apa ya? Atau mungkin mau membicarakan seputar biologi?”

“Satrio yang sering ikut event Jepang? Yang penampilannya sangat out of the box itu? Yang selalu membawa buku biologi ke mana-mana?” tanya Clarissa.

“Ya, betul,”

“Hmmm pasti untuk membicarakan biologi atau cuma menengok? Tapi ini yang datang Hayden. Mungkin dia membawa cokelat atau apa. Semacam angin kesegaran di tengah-tengah cuaca panas,”

“Kamu itu bicara apa sih, Clar?” balas kakaknya.

“Sana ganti bajumu! Coba pakai sesuatu yang berbeda. Yang lebih girly. Anggap ini kencan pertama,”

“Ini bukan kencan,”

“Mungkin bukan kencan, tapi bisa jadi awal dari segalanya ‘kan?”

Tidak lama kemudian Vanika sudah berdiri di teras rumahnya. Ia memakai cardigan pemberian Hayden dan rok jeans biru tua dengan panjang selutut. Bagian atas rambutnya diikat dengan pita berwarna lilac dan sebagian rambut cokelat tuanya yang bergelombang terurai di bahunya. Poninya menyentuh kedua alis gadis itu. Wajahnya pucat dan bibirnya memakai lip balm berwarna merah muda.

Bi Ika baru saja pulang dari pasar swalayan. Ia membawa dua kantung besar belanjaan. Wanita itu melihat Vanika dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Wajahnya tersenyum lebar.

“Wah Vanika. Kamu mau pergi ke mana? Kondisi kamu ‘kan belum pulih, Néng,”

“Biasa, Bi. Hayden,” jawab Clarissa yang menengokkan kepalanya dari pintu ruang tamu ke luar.

“Ssstttt, Clarissa,” ucap kakaknya.

“Oh kencan? Cieeeee,” goda wanita itu.

“Bukan, Bi. Ada yang mau dia antar ke sini,” jawab Vanika.

“Ya sudah, Bi Ika siapkan dulu makanan dan minumannya ya,” Bi Ika masuk dengan senyum di wajahnya.

Beberapa saat kemudian sosok laki-laki bertubuh tinggi berdiri di depan gerbang. Vanika datang mendekat. Namun, Hayden sudah terlanjur memijit bel. Ia menatap gadis yang sedang berjalan itu. Matanya fokus tanpa mengalihkan pandangannya. Gadis itu memakai cardigan pemberiannya.

Vanika pun sama. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu. Hayden memakai kaus putih polos dengan topi hitam dan celana jeans panjang. Ia membawa dua totebag berukuran besar di masing-masing tangannya.

“Satrio harus menghadiri sebuah event. Lagipula ada banyak hal yang harus dia lakukan akhir-akhir ini. Aku datang untuk menggantikan dia,” kata Hayden sambil sedikit mengangkat barang-barang bawaannya.

“Oh begitu, sini aku bantu bawa,” ucap Vanika, tangannya meraih salah satu totebag.

“Jangan, gak terlalu berat kok,” laki-laki itu menjauhkan totebag itu dari tangan gadis di hadapannya.

“Oh kalau gitu ayo masuk,” ajakVanika.

Namun, belum sempat mereka melangkah, terdengar suatu suara yang berteriak memanggil Hayden.

“Kak Hayden! Kak Hayden!”

Mereka berdua berbalik dan seorang perempuan berkerudung berlari mendekat.

“Akifa? Kamu lagi apa di sini?” tanya Hayden kepada permpuan itu.

Akifa adalah siswi kelas 10. Orangnya periang dan ramah. Dia adalah salah satu anggota Japanese Club dan Chemistry Club yang membuat dia cukup akrab dengan geng Hayden. Terutama dengan Satrio dan Zaid. Banyak adik kelas yang iri karena Akifa bisa dekat dengan para kakak kelas.

Akifa memiliki wajah yang menyenagkan untuk dilihat karena ia selalu tersenyum. Kulit sawo matangnya selalu bersinar dan kedua matanya besar. Akifa penuh rasa antusias sehingga saat ia tertarik pada sesuatu, matanya akan semakin besar.

“Aku lewat sini, Kak. Loh Kak Hayden ini bawa bawaannya banyak sekali. Seperti mau pindahan saja,” kata Akifa dengan tawa pendek.

“Bukan, ini buku latihan olimpiade semua,” jawab Hayden.

“Ih Kak Hayden kok kencan pakai bawa buku olimpiade segala sih?” protes gadis itu.

“Ini titipan dari Satrio, Fa,” balas laki-laki itu.

“Oh ya, salam kenal, Kak. Saya Akifa. Dari kelas X-D,” ucap Akifa sambil menyodorkan tangannya pada Vanika.

Vanika menjabat tangannya, “salam kenal, aku Vanika. Kelas XII IPA 2,” balas gadis berponi itu dengan senyum di wajahnya.

“Sabar ya, Kak Vanika. Kak Hayden itu nyebelin sekali orangnya,” ucap Akifa.

“Akifa Farah Nugraha…” Hayden memberi isyarat agar gadis bawel itu berhenti.

“Akifa, ayo mampir ke dalam dulu,” ajak Vanika.

“Ah maaf, Kak Van. Aku harus pergi. Aku ada janji dengan temanku. Have fun ya kalian. Bye!” ujar Akifa sambil berlari dan melambaikan tangannya.

***

Hayden membuka topinya dan menyimpan barang-barang bawaannya di atas meja perpustakaan. Ia mengeluarkan satu per satu buku latihan olimpiade biologi. Total ada 20 buku berukuran besar. Mata Vanika terbelalak melihat semua buku itu. Beberapa saat kemudian Bi Ika dan Clarissa datang membawa makanan dan minuman.

“Aduh bukunya banyak sekali. Kalian ternyata terlalu rajin ya? Kencan pun sambil belajar,” ujar Bi Ika.

“Ini bukan kencan, Bi,” bantah Vanika.

“Luar biasa! Luar biasa! Wow! Ternyata yang dibawa seorang Hayden Irawan itu siksaan bukan angin kesegaran, wahai kakakku,” ujar Clarissa sambil menepuk-nepuk punggung kakaknya.

“Siksaan? Angin kesegaran?” tanya Hayden.

“Jangan didengar, Hay,” jawab Vanika.

“Jangan terlalu dipaksakan. Makan dulu ini. Bibi tadi buat banyak kue kering. Ada burger juga. Ini ada sosis goring ukuran ekstra. Nah, sekarang bibi dan Clarissa keluar ya,” kata Bi Ika sambil menggamit Clarissa agar pergi dari ruangan itu.

“Terima kasih,” ucap Hayden dengan senyumnya yang hangat.

“Ok, kita mulai dari mana?” tanya Vanika.

“Jangan dipaksakan, Van. Kondisi  kamu belum terlalu pulih,”

“Ya sudah. Nih, kamu minum dulu,” Vanika memberikan segelas jus buah mangga dingin pada laki-laki di hadapannya.

Mereka duduk dalam keheningan. Suasana begitu hening. Hanya ada suara jam berdetak dan suara samar-samar dari luar. Mungkin Clarissa sedang mendengarkan lagu dengan speaker di ruang tengah, pikir Vanika. Hayden beberapa kali meneguk minumannya. Meskipun suasana begitu hening, tapi pikiran Vanika begitu heboh dengan pikiran-pikirannya sendiri.

“Aku harus segera mencairkan suasana!”

“Bagaimana caranya?!”

“Kelihatannya Hayden juga bingung,”

Kedua kaki Vanika bergerak dengan gelisah. Dahinya sedikit berkeringat dan beberapa butir keringatnya turun melewati pelipisnya.

“Kamu gak apa-apa ‘kan?” tanya Hayden sambil memberikan sebuah sapu tangan berwarna biru tua.

“Gak apa-apa kok. Oh ya, ini sudah aku siapkan semua barang-barang kamu. Terima kasih ya dan maaf aku kembalikannya terlambat,” ucap gadis itu sambil memberikan satu buah kantung besar kepada laki-laki itu.

“Van, ada yang mau aku kasih untuk kamu,” ujar laki-laki itu sambil mengeluarkan sebuah amplop buatan berwarna baby blue.

Vanika meraih amplop itu, “apa ini?”

“Bukanya nanti saja. Aku gak begitu pandai bicara lewat pesan, aku lebih lancar menulis surat,” kata Hayden diikuti tawa kecil gadis di hadapannya.

“Jangan terlalu banyak berpikir, bicara saja,” saran Vanika.

Siang itu mereka banyak membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari game dan berita yang sering muncul di TV, sampai kehidupan sekolah dan pertemanan mereka. Termasuk Akhtar yang sedang dimabuk cinta dengan perempuan virtualnya. Hal-hal yang sederhana, tapi membuat Hayden tidak terkesan kaku lagi.

“Aku khawatir Akhtar ditipu orang,”

“Tenang saja, dia gak akan seceroboh itu. Kalian itu berteman sejak kapan?” tanya Hayden.

“Sejak SD. Aku, Akhtar, dan Jimmy berteman sejak kecil, tapi waktu SMP Jimmy pindah ke luar kota karena ayahnya pindah tugas,”

“Oh pantas kamu dekat sekali dengan Akhtar. Orang-orang selalu bilang di mana ada Vanika pasti ada Akhtar,” ujar Hayden diikuti tawa gadis itu.

“Ya. Akhtar itu sahabat yang mungkin hanya aku temui satu kali di hidup ini. Mungkin gak akan ada Akhtar lain. Jadi mungkin kalau di masa depan Akhtar punya pasangan atau menikah. Aku mungkin cemburu. Bukan  karena naksir, tapi karena aku takut kehilangan sosok sahabat terbaik aku,” ungkap Vanika.

Hayden tersenyum dan menggenggang tangan Vanika, “Kalau kamu merasa kesepian, kamu boleh hubungi aku. Entah itu siang atau malam. Kamu bebas mau bicara apapun. Hal baik, hal buruk, pokoknya semua hal,”

Jantung Vanika dibuat berdegup kencang karena perlakuan dan kata-kata laki-laki di hadapannya. Seorang Hayden Irawan yang dikenal dingin dan kaku. Bahkan jarang sekali mengeluarkan kata-kata, ternyata bisa mengungkapkan hal seperti itu. Jantung gadis itu dibuat semakin shock ketika gawai milik Hayden berdering dengan kencang. Laki-laki itu dengan segera mengangkat panggilan masuk itu.

“Ya? Oh sebentar lagi kakak pulang ya. Hati-hati di rumah,”

Hayden mengakhiri panggilannya.

“Adik kamu? Usia berapa?” tanya Vanika dengan senyum di wajahnya yang pucat.

“Ya, namanya Audrey. Dia masih 9 tahun. Kelas 3 SD,” jawab lakilaki itu.

“Wah teryata jarak usianya cukup jauh ya! Pasti senang ya ada anak kecil di rumah?”

“Ya begitu, seringkali dia manja, cengeng juga, tapi seringkali dia bertingkah manis,” jawab Hayden sambil bersiap-siap.

“Kapan-kapan kamu harus ajak dia ke sini,” ujar Vanika dengan senyumnya yang hangat.

“Baiklah. Van, aku pamit ya,” balas Hayden.

“Tunggu, bawa semua makanan ini. Tahu ‘kan Bi Ika nanti mengamuk loh,” ujar Vanika sambil memasukkan makanan-makanan itu ke dalam plastik makanan yang sudah disediakan oleh Bi Ika.

“Terima kasih, tapi maaf ya merepotkan. Padahal kamu apalagi Clarissa sedang masa pertumbuhan,” ucap laki-laki berkaca mata itu dengan senyum kecilnya.

“Ah gak. Clarissa sudah terlalu besar untuk masa pertumbuhan,” balas gadis itu.

***

Bi Ika sedang sibuk membersihkan lantai atas dan Clarissa tertidur di atas sofa ruang tengah dengan mulut yang menganga.

“Sungguh pemandangan yang memalukan,” ujar Vanika sambil memotret adiknya itu.

Hayden tersenyum melihat kelakuan gadis itu. Tak lama kemudian mereka sudah di luar. Cukup sedih melihat Hayden pergi. Rasanya satu hari saja tidak cukup untuk bertemu laki-laki itu. Vanika ingin hari Senin cepat-cepat datang.

Hayden yang sekarng berbeda sekali dengan Hayden yang ditemuinya semester lalu. Vanika tiba-tiba ingat surat yang diberikan pujaan hatinya itu beberapa saat lalu. Ia berlari menuju perpustakaan dan meraih surat itu. Ia membawanya ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjangnya.

Dengan hati-hati, ia mulai membuka amplop dengan jantung yang berdebar-debar. Gadis itu memperhatikan setiap detail dari surat di tangannya.

“Sebentar, bukannya ini,,, surat cinta?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status