Share

Bab 7

"Anakmu tidak apa-apa?" Spontan aku menoleh mendengar suara bariton yang sepertinya aku kenal. Mataku melebar saat melihat pria itu. Tiba,-tiba saja dadaku berdebar.

Astaga! Laki-laki yang menolongku barusan ternyata ... Tuan Yuda.

Kami sama-sama tersentak dan saling menatap beberapa saat. Kemudian tersadar dan saling membuang pandangan. Dadaku terus berdegup  kencang.

"T-tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih," sahutku tertunduk.

Kenapa Tuan Yuda ada di sini? Ya Tuhan,  Ada apa denganku? Ada debaran yang tak biasa  yang aku rasakan saat ini. Tidak ...! Aku tidak boleh punya perasaan seperti ini. Sadarlah Salma! Kamu harus sadar diri!

"Mari saya antar ke depan lagi, Tuan." Entah sejak kapan, Bang Safwan ternyata sudah berdiri di dekat Tuan Yuda. Wajah kakak iparku itu nampak tak suka padaku.

Namun Tuan Yuda tidak menghiraukannya. Laki-laki itu masih menatapku. Namun aku tak berani membalas tatapannya yang semakin lekat. Detak jantungku terasa tak baik-baik saja di dalam sana.

Teringat dengan kardus yang dilempar Kak Norma tadi, segera berusaha kuraih dengan  susah payah menggunakan sebelah tanganku. Kak Norma dan Ibu mertua hanya memandang sinis padaku. Padahal aku berharap mereka sedikit membantuku yang kesulitan meraih kardus itu. Karena aku harus menunduk atau berjongkok. Sedangkan saat ini aku sedang  menggendong Raihan.

Sementara Raihan masih nampak gelisah dan mulai rewel karena terkejut dengan lemparan kardus tadi.

"Tunggu !" Yuda menghentikan gerakanku. Wajah pria itu nampak kesal melirik Kak Norma dan Ibu jjmertua.

"Ada apa, Tuan," tanyaku heran. 

"Pak Diman, tolong antar wanita ini pulang!" Ternyata Yuda meminta supirnya untuk mengantarku pulang.

Apa aku tidak salah dengar?

"Baik Tuan", sahut seorang pria paruh baya yang dipanggil Pak Diman. Supir Yuda itu gegas melangkah menghampiriku.

Sementara Kak Norma terus memandang kesal padaku. Ibu pun terlihat heran karena sikap Yuda yang seolah-olah telah mengenalku. Wajah ibu mertuaku seperti ingin meminta penjelasan dariku. Namun aku masih berusaha menenangkan Raihan.

"Tidak usah repot-repot, Tuan. Biar saya saja yang antar Salma dan anaknya!"

Tiba-tiba saja  Bang Adam keluar dari dalam. Laki-laki pendiam itu meraih kardusku yang tergeletak di bawah. Kak Norma dan Ibu mertuaku semakin melotot melihat sikap Bang Adam padaku.

"Ayo, Salma aku antar!" ajaknya seraya melangkah ke luar dengan wajah datar.

Sementara aku melihat ada aura kemarahan dari wajah Tuan tampan itu. Aku bergidiik ketika mendapatkan tatapan yang begitu tajam darinya.

Tuan Yuda, Ada apa denganmu? Apakah kamu juga merasakan apa yang sedang aku rasakan?

Aku melangkah tertunduk mengikuti Bang Adam yang sudah duduk di motornya.

"Naik motor, Bang?"

"Iya! biar cepat."

Gegas aku naik ke motornya. Kuberanikan untuk menoleh ke belakang sekali lagi.

Ya Tuhan, ternyata Tuan Yuda masih menatapku. Tiba-tiba saja jantungku kembali berdegup kencang. Tanpa sadar kami terus saling menatap, hingga menghilang dari pandangan.

Bang Adam mengantarku sampai rumah. Bersyukur Raihan sudah kembali tenang dalam gendonganku. Saat turun, Kakak iparku itu membantu membawakan kardusku.

"Boleh aku masuk?"

"M-maaf, Bang. Jika ada yang ingin dibicarakan. Di sini  saja," sahutku ketika kami sudah berada di teras.

Bang Adam menghela napas kasar.

Kami pun duduk di kursi teras. Sepertinya ada hal penting yang hendak dia katakan.

"Setelah tanah warisan Ayah terjual,  Aku akan usahakan agar Raihan mendapatkan haknya sebagai pewaris dari Irsan. Setelah itu ... izinkan aku membawamu pergi. Aku akan menjagamu dan Raihan."

Aku tercengang mendengar penuturan kakak iparku ini. Sungguh aku tak mengira Bang Adam  membicarakan hal ini padaku.

"Maksud Abang, Apa itu artinya kita ..."

"Ya, aku akan menikahimu." Bang Adam menatapku begitu dalam. 

Benarkah saat ini Bang Adam telah melamarku?

Aku menarik napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. Entah kenapa aku biasa saja mendengar ucapan Bang Adam barusan. Mungkin tidak ada perasaan istimewa yang aku rasakan saat bersamanya. Namun Raihan, anak itu sangat dekat dengan Bang Adam. Raihan seperti menemukan sosok seorang Ayah pada diri Bang Adam. Terkadang aku pun sempat berpikir menerima semua kebaikan Bang Adam demi Raihan. Namun, bagaimana nanti dengan Ibu Mertuaku? Apa mereka sudi menerimaku kembali?

Lalu bagaimana dengan diriku yang terlanjur telah terluka oleh fitnah yang mereka ciptakan?

"Keluarga Abang tidak suka padaku," lirihku datar.

 

"Aku akan membawamu pergi dari mereka.'

Ternyata Bang Adam tidak main-main. Dia bicara sangat yakin dan  antusias.

"Aku akan pikirkan lagi, Bang.  Saat ini aku ingin berjuang sendiri dulu."

Bang adam terdiam. Raut kecewa terlihat jelas dari wajahnya yang hitam manis.

"Baiklah. Jaga dirimu dan Raihan baik-baik," ujarnya seraya mengacak-acak rambut Raihan.

Anak itu tampak senang dan selalu tersenyum setiap Bang Adam mendekatinya.

.

.

.

Pagi ini aku kembali berjualan di depan puskesmas. Semua masakan  telah siap dan tersusun rapi di atas meja.

"Silakan nasi ramesnya, Pak, Bu. Sepuluh ribu aja!"

Hari ini aku buka lebih cepat. Pesanan nasi bungkus sudah aku antar. Pasien puskesmas sudah banyak yang antri. Pembeli mulai berdatangan. Beruntung Raihan tertidur di dalam gerobak dengan nyaman.

"Permisi, Neng ... " Tiba-tiba seorang Bapak tua menghampiriku.

"Iy-iya, Pak."

Kenapa aku seperti mengenal bapak tua ini. Tapi entah di mana. Walau sudah tua, bapak ini terlihat sangat rapi dan bersih. Dari pakaiannya jelas beliau adalah orang berada.

"Apa ... Neng pernah tolong bapak-bapak tua di dalam gerobak?"

"Astaghfirullahaladzim ... Ini Bapak yang pernah saya tolong?" tanyaku antusias.

"Alhamdulilah. Akhirnya saya menemukan orang yang saya cari-cari sejak kemarin."

"Silakan duduk, Pak. Saya buatkan nasi ya, pak." ujarku seraya memberikan satu bangku plastik untuknya.

"Ya boleh, Nak."

Dengan semangat aku menyendokkan sepiring nasi beserta lauk pauk untuk bapak ini. Tak lupa segelas teh hangat juga aku hidangkan.

"Silakan dicicipi, Pak"

"Wah, kelihatannya enak, nih!"

Aku tertawa. Rasanya sangat senang melihat bapak ini sudah sehat kembali.

"Siapa namamu, Nak?"

"Salma, Pak."

"Ternyata kamu tidak hanya cantik, tapi hatimu juga sangat tulus, Nak. Kalau  saja kamu tidak menolong Bapak waktu itu, entah bagaimana nasib Bapak sekarang."

"Sudah, Pak. Jangan dipikirkan. Yang terpenting Bapak sekarang sudah sehat lagi. Kalau boleh tau, apa yang terjadi pada Bapak waktu itu?"

"Bapak dirampok, Nak. Waktu itu Bapak mau menemui anak bapak. Tapi setelah turun dari taksi, beberapa orang menghadang dan merampas semuanya. Mereka memasukkan Bapak ke dalam sebuah gerobak. Bapak juga sempat mereka pukuli."

"Astaga ...! Tega sekali mereka itu," geramku.

"Salma,  Kamu wanita baik. Saya akan kenalkan kamu dengan anak saya."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Novitra Yanti
Alhamdulillah kakek sehat kembali bisa berteman salma
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Akhirnya Salma bertemu dengan kakek tua yang ditolongnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status