Siang ini kembali aku mengantar lima puluh bungkus nasi rames ke proyek.Seperti biasa aku membawanya dengan menggunakan gerobak bersama Raihan yang juga berada di dalamnya. Bocah lucu itu sangat mengerti kesulitan yang aku hadapi. Anak itu justru senang berada dalam gerobak beserta beberapa mainannya. Sementara beberapa kantong plastik berisi puluhan nasi bungkus aku gantung pada tepi gerobak, agar tidak disentuh oleh Raihan. Aku telah sampai di gerbang masuk proyek. Perlahan kudorong gerobak melewati beberapa pekerja yang istirahat. Kembali terlihat mobil mercy hitam milik Yuda terparkir sempurna di depan kantor proyek. Semoga saja aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Entah mengapa, sejak kejadian di rumah ibu mertua beberapa hari yang lalu, tanpa kusadari, wajah tampan laki-laki itu selalu terbayang di benakku. Pandangan mataku menelusuri sekitar para pekerja untuk mencari Mandor Haris, namun tidak terlihat sama sekali. "Permisi ..., Mandor Haris kemana, Pak?" Aku mencoba b
"Untuk apa kamu turunkan nasi-nasi itu?" tanya wanita itu seraya menaikkan alisnya dan mata melotot padaku. "Saya mau titipkan saja pada Bapak ini, Nona," sahutku tanpa menoleh dan terus memberikan bungkusan-bungkusan itu pada mereka. "Tidak usah! Bawa pulang saja lagi nasi-nasi itu. Dan mulai besok kamu nggak usah lagi antar nasi bungkus itu ke sini. Proyek ini tidak mau berlangganan dengan pedagang kurang ajar seperti kamu. Dasar orang miskin tidak sopan!" "Nasi-nasi ini sudah dibayar, Nona. Mana mungkin saya bawa lagi," sahutku kesal. Karena sikap dan teriakan wanita itu, Raihan jadi ketakutan dan menangis. Gegas aku meraih Raihan dari dalam gerobak dan menggendongnya. "Sudah sana cepat pergi! Berisik, tau nggak!" bentaknya lagi membuat tangis Raihan semakin kencang. Aku kesulitan mendiamkan tangis Raihan yang semakin keras. Anak ini terus mengamuk dan berkali-kali gendongannya terlepas. Para pekerja melihatku dengan wajah serba salah dan bingung. Mungkin mereka hendak m
POV Yuda Ayah terlihat masih kurang sehat sejak peristiwa perampokan beberapa waktu lalu. Namun pria yang sudah berumur enam puluh tahun itu masih saja bersikeras ingin pergi mencari wanita yang menolongnya. "Sudahlah, Ayah. Wanita itu sudah aku beri uang banyak. Itu sudah lebih dari cukup." "Enak saja kamu bicara! Bahkan kebaikannya tak bisa dinilai dengan apapun. Wanita itu telah menyelamatkan nyawaku!" tegas Ayah yang sedang bersandar pada sofa di ruang keluarga. Rumah sebesar ini hanya aku dan Ayah serta beberapa pelayan yang tinggal di sini. "Ayah terlalu berlebihan. Bukankah nyawa seseorang hanya Allah yang mengetahui." "Yuda, andai waktu itu wanita itu tidak mau menolong Ayah. Entah apa yang akan terjadi pada Ayahmu ini. Coba kamu bayangkan! Wanita itu mendorong gerobak sambil menggendong anaknya. Bahkan dia sampai berlari agar Ayah bisa segera tertolong." Lagi-lagi Ayah mengulang-ulang kembali kekagumannya pada wanita itu. Aku jadi penasaran. Seperti apa wanita itu?
Siang ini di proyek. Baru saja aku menutup panggilan ponsel dari salah satu relasi bisnisku di Amerika. Bisnis yang sangat penting hingga aku harus meluangkan waktu beberapa lama untuk membicarakan perkembangan kerjasama kami. Tiba-tiba saja Aku mendengar keributan di luar kantor. Masalah apa lagi yang diciptakan oleh Tania? Suaranya terdengar hingga ke ruanganku. Apakah dia memarahi para pekerjaku lagi? Padahal sudah berkali-kali kutegur untuk tidak ikut campur dalam proyekku. "Ada apa ribut-ribut?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku tertegun ketika mataku bertemu pada wajah oval wanita cantik berhijab itu. Wanita si penjual nasi itu dengan cekatan mendorong gerobak sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sungguh luar biasa. Wanita yang kuat dan tak kenal lelah. Kekagumanku semakin bertambah padanya. Lagi-lagi debaran itu kurasakan saat menatap wajahnya yang cantik. Sepertinya wanita itu mulai menguasai hati dan pikiranku. Astaga! Kenapa aku jadi teringat dengan cerita Aya
"Yuda ... Ayah sudah menemukannya!" Ayah menghampiriku dengan wajah sumringah, ketika aku baru saja pulang dari kantor. Aku mencium tangan Ayah dengan takzim. Ayah adalah satu-satunya yang paling berharga aku miliki di dunia ini. Di usianya yang sudah senja, Aku belum bisa membahagiakannya. Ayah sangat ingin aku segera menikah. Namun Ayah tidak pernah setuju setiap aku memperkenalkan teman dekat wanitaku padanya. Aku menghempaskan tubuhku pada kursi empuk di samping Ayah. "Tadi Ayah bilang menemukan siapa?" tanyaku seraya membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga ke siku. "Ayah sudah bertemu dengan wanita yang menolong Ayah waktu itu." "Lalu?" tanyaku lagi, sambil melangkah ke lemari pendingin dan meraih sebuah minuman kaleng, lalu meneguknya. "Pokoknya kamu harus segera menikahi wanita itu." "uhuk ... uhuk ... uhuk ...!" Spontan aku terbatuk-batuk karena tersedak. "Hei, hati-hati minumnya!" Ayah menepuk-nepuk ringan punggungku. "Ayah, memangnya sudah kenal be
"Yuda ... Yud ..., bangun sudah subuh!" Aku terjaga mendengar suara Ayah mengetuk-ketuk pintu kamarku. Tidak biasanya Ayah mau membangunkan aku. Biasanya laki-laki itu tak peduli aku sudah bangun atau belum. Sejak Ibu tiada, Ayah mengajarku untuk mandiri dan bertanggung jawab. Hingga aku bisa sukses seperti sekarang ini. "Ada apa, Yah? Tumben pagi-pagi bangunin aku.," tanyaku setelah membuka pintu. "Loh, katanya kita mau menemui wanita yang menolong Ayah waktu itu." "Ayaah, ini masih subuh kali," sahutku asal seraya merebahkan kembali bobotku pada ranjang. "Eeh ..., salat subuh dulu, sana! Kok, malah tidur lagi!" Ayah menarik lenganku hingga aku kembali terduduk. "Yudaa, kamu akan berterima kasih sama Ayah, jika telah melihat gadis itu. Parasnya cantik, walau sederhana. Sikapnya juga sangat santun. Walau dia bukan dari keluarga berada, tapi dia mampu menghargai dirinya sendiri." Lagi-lagi Ayah memuji wanita itu."Sana siap-siap. Setelah salat, Ayah tunggu di meja makan." Aya
Cinta datang dengan sendirinya.Cinta tidak bisa dipaksakanCinta bisa menerima kekuranganCinta membutuhkan pengorbanan Sambil menggendong Raihan, Aku masih menata meja dengan lauk-pauk. Pembeli masih sepi. Mungkin karena pasien puskesmas belum banyak yang datang. Setelah semua tertata rapi, aku mulai menyiapkan pesanan makan siang untuk proyek dan karyawan puskesmas. Beruntung Mak Isah mau membantuku.Sejak kemarin wanita setengah baya namun masih cekatan itu mulai membantuku berjualan. Mak isah anaknya sudah besar-besar. Dia juga janda sepertiku. Jadi sejak pagi sudah bisa datang membantuku memasak. Menurut Mandor Haris, mulai hari ini akan ada yang mengambil pesanan nasi untuk proyek. Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi mengantar ke sana. Apalagi sampai bertemu wanita sombong itu. Dasar orang kaya, mentang-mentang bebas, seenaknya saja menghina orang tak punya. "Salma, bagaimana kabarmu?" Tiba-tiba Bang Adam sudah berdiri di hadapanku. "Baik, Bang." Sejak malam dia mel
Seorang perawat membantu Pak Surya untuk duduk di brankar dan bersandar pada dinding ruang UGD ini. Aku menyuapi beliau dengan sabar. Kasian sekali Pak Surya ini. Andaikan beliau adalah bapakku, tidak akan aku biarkan beliau pergi seorang diri seperti ini. Tiba-tiba sebuah ponsel yang berada di meja samping brankar, bergetar. "Apakah itu ponsel Bapak? tanyaku. Pak Surya mengangguk pelan. Segera kuraih ponsel itu dan memberikannya pada Pak Surya. "Ini, Pak." "Angkatlah. Mungkin itu anakku yang menghubungi." Aku menarik kembali ponsel yang tertera nama 'My Son' pada layarnya. Kemudian menerimanya. "Hallo ...! Ayah ... Ayah dimana? Maafkan aku, Yah!" Terdengar suara seseorang yang sedang panik di seberang sana. Kenapa sepertinya aku mengenal suara berat itu? "Hallo, Bapak Anda sekarang ada di puskesmas kecamatan bawal." "Siapa Anda? Bagaimana kondisi Ayah saya?" tanya laki-laki itu lagi. "Sebaiknya anda segera datang ke sini!" sahutku, kemudian menutup panggilan ponsel itu.