Share

3. Kegundahan Hasnah

Di sebuah rumah mungil berdinding anyaman bambu betung yang terletak di ujung desa, seorang wanita bergerak-gerak gelisah. Dalam temaramnya cahaya lampu petromaks, Hasnah menanti kepulangan putri satu-satunya, Menur.

Biasanya gadis itu tidak pernah pulang terlambat. Biasanya gadis rajin yang dia besarkan seorang diri sedari bayi itu selalu tiba di rumah tepat waktu.

Hasnah sungguh resah. Malam ini sungguh tidak biasa. Ada perasaan aneh yang menjalar isi dadanya, tetapi Hasnah tidak tahu bagaimana menyebutnya. Bisa dibilang seperti firasat buruk, tetapi batin Hasnah sekuat mungkin menyangkal dan menepis perasaan tidak enak tersebut.

Amben berderit ketika Hasnah bangkit dari rebah yang gundah. Di tepian tempat tidur bambu itu kakinya menjuntai. Sorot matanya yang cemas menatap ke jam persegi empat di dinding rumah. Hari telah lewat tengah malam, bahkan hampir memasuki subuh. Namun, telinganya tak jua menangkap tanda-tanda akan kedatangan Menur.

Ibarat memakan buah simalakama, Hasnah serba salah. Sedari awal dia sudah melarang Menur untuk tidak berjualan larut malam, untuk tidak terlalu jauh menjajakan dagangannya hingga desa tetangga. Akan tetapi, Hasnah juga tahu putrinya punya semangat yang gigih untuk mendapatkan sesuatu dari hasil jerih payahnya sendiri. Rasanya tidak tega mematikan kobaran semangat gadis yang selama ini mandiri dan tidak pernah menyusahkannya itu.

Hasnah tahu sejak lama Menur menginginkan alat peralatan merajut seperti milik Wati, teman dekat Menur. Selain menyenangkan, hasil merajut juga menghasilkan. Impian Menur ialah ingin mempunyai penghasilan dari hobinya tersebut, sehingga dia tidak perlu lagi berpeluh penat menempuh perjalanan jauh menjajakan dagangan hingga ke desa-desa sebelah. Namun apalah daya, Hasnah sendiri tidak bisa memberikan apa yang Menur inginkan, kecuali kemiskinan, gubuk sepetak yang sudah bolong-bolong sebagian dindingnya, dan juga gelar sebagai anak yatim.

Ayam jago milik tetangga Hasnah mulai berkokok. Wanita itu kembali mendongak menatap jam di dinding. Pukul empat subuh.

Hasnah bangkit berdiri. Dia menyambar sweter merah marun hadiah dari Menur yang tergantung di pintu. Baju hangat hasil bikinan putrinya itu dia kenakan terburu-buru. Hasnah tidak boleh diam saja. Dia harus melakukan sesuatu, ketimbang berkeluh kesah pada laba-laba yang mendiami sudut rumah.

Hasnah berjalan di antara kebun-kebun singkong. Hasnah yang terbiasa pergi bekerja di jam segini, tidak membutuhkan penerangan apa pun. Matanya hafal betul jalanan di desa meski minim cahaya.

Tujuan Hasnah ialah rumah Wati, satu-satunya sahabat Menur. Tentu Wati pasti tahu, di mana keberadaan putrinya. Hasnah berharap, sekarang Menur sedang berada di sana. Mungkin gadis itu takut pulang ke rumah karena terlalu telat. Mungkin Menur takut membangunkan ibunya yang telah terlelap, atau mungkin dia ingin bermalam di rumah Wati.

Kemungkinan-kemungkinan itu memicu harapan Hasnah untuk tidak terlalu berburuk sangka.

Kaki Hasnah sudah menapak di halaman rumah semi permanen, setengah batu bata merah dan setengah lagi papan kayu bulian. Belum sempat Hasnah mengucap salam, Wati memunculkan diri dari pintu belakang. Gadis itu hendak ke kamar mandi yang terletak di belakang rumahnya.

"Nak Wati!"

Wati terperanjat. Gadis berambut bergelombang sebahu itu lantas menoleh pada Hasnah. "Emak Menur? Ada gerangan apa, Mak? Menur sakit, kah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status