Penampakan sesosok kuntilanak merah sering terlihat menghantui warga semenjak menghilangnya seorang gadis di Desa Kumpeh, Menur. Tak lama berselang, teror terus berlanjut. Desa Kumpeh kembali geger sebab ditemukannya mayat seorang pria yang terbunuh secara brutal di kawasan pohon beringin yang dianggap wingit dan sebagai tempat tinggal Makhluk Merah si penguasa tempat itu. Di desa lainnya, lima orang pria mati dengan keadaan serupa, sadis dan tidak manusiawi. Apakah kematian mereka ada hubungannya dengan kematian pria sebelumnya? Apakah kematian mereka disebabkan oleh sosok kuntilanak merah atau pun si Makhluk Merah penunggu pohon beringin keramat? Mampukah Sanusi, si kepala kampung, memecahkan misteri yang terjadi di desa tempat tinggalnya?
View MoreDesa Kumpeh, Jambi—1970
Gemeresik daun karet kering terinjak sepasang selop seorang gadis yang berjalan tergesa-gesa. Menur tengah memburu waktu agar tidak terlalu telat tiba di rumah. Hari hampir tengah malam. Kasihan ibunya. Pasti wanita itu menunggu dengan cemas kepulangan Menur. Meski sedari awal Hasnah melarang Menur berjualan jagung dan kacang rebus ke desa sebelah, tetapi Menur tetap bersikeras untuk pergi.
Keinginan Menur untuk membeli alat perlengkapan merajut, membuat gadis sekal berkulit hitam manis itu membulatkan tekad mencari uang lebih giat lagi. Meminta pada ibunya, tentu Menur tidak tega. Untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari saja, Hasnah harus bangun sebelum subuh untuk pergi ke kebun karet sebagai buruh penyadap getah di perkebunan Haji Malik.
Mereka tinggal hanya berdua saja. Ayah Menur diambil serdadu Jepang untuk dijadikan budak kaum penjajah itu. Hanya Hasnah yang sempat melarikan diri dan bersembunyi sembari membawa Menur yang masih merah dan berusia dua hari kala itu.
Meski Indonesia telah merdeka, tetapi ayah Menur tidak jua kembali. Entahlah, Hasnah pun sudah pasrah pada nasib suaminya. Rasanya dia telah puas mencari ke sana ke mari, bertanya pada pria-pria yang kembali ke rumah setelah Pak Soekarno membacakan teks proklamasi. Akan tetapi, pencariannya sia-sia semata, tidak membuahkan hasil. Mau bagaimana lagi, Hasnah harus kuat demi Menur, satu-satunya harta berharga yang dia miliki.
Gadis itu kini masih melangkah riang. Tas kain batik hasil bikinannya sendiri terapit di ketiak kanan. Senyumannya mengembang semanis gulali. Jika tidak mengingat sedang berada di jalanan sepi, mungkin bibir Menur sudah bersenandung sejak tadi. Keinginannya untuk memiliki alat perlengkapan merajut, besok bakal segera terpenuhi.
Jagung dan kacang rebus yang dia jajakan di acara pesta pernikahan anak juragan kaya tadi, berhasil terjual habis. Tas kain batiknya bergerincing berisi uang kertas dan koin. Namun, rasa gembira Menur mengalihkan kewaspadaannya. Menur tidak menyadari sedari tadi langkahnya diikuti empat pria mabuk yang diselubungi nafsu dan birahi tinggi.
Seorang pria di antara mereka yang bertubuh kurus mengendap-endap. Dia menyusul langkah Menur. Jarak mereka hanya terpisah tiga langkah saja, hingga akhirnya pria itu berhasil menjangkau kerah belakang kebaya merah Menur, membuat gadis itu terperanjat, terkejut bukan alang kepalang.
Menur berhenti, lantas membalik badan dengan jantung yang berdentam-dentam.
"Mau apa kau, Kisanak?"
Nada tanya Menur bergetar oleh sebab rasa terkejutnya yang terasa berbalut takut. Matanya yang membulat mengerjap-ngerjap seraya memindai wajah empat orang pria beraroma tuak yang kini mengelilingi dirinya.
"Kami hanya ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat, Menur. Tak baik anak perawan berjalan seorang diri di tengah malam buta begini. Ayo, kami iringi langkahmu hingga ke perbatasan desa."
Pria kurus bergeser. Dia membuka jalan untuk Menur sembari menyeringai, memamerkan giginya yang kuning berpadu kehitaman akibat kopi dan tembakau. Menjijikkan, tentu tidak sedap dipandang mata mana pun.
Menur sejenak ragu, tetapi gadis itu tetap memberanikan diri melewati si pria kurus. Setelah berhasil menjauh lima langkah, Menur memutuskan untuk berlari sekuat tenaga yang gadis itu punya.
Selopnya terseret, mengentak, menggema di permukaan tanah berbatu. Membungkam jangkrik yang mengerik di belukar kanan-kiri jalanan setapak sepi.
Agak jauh, Menur menoleh. Untungnya empat pria mabuk tidak mengejarnya. Baru lah dia mampu bernapas lega. Dia jadi bisa melanjutkan langkah pulang ke rumah.
Akan tetapi dia salah duga. Manusia-manusia yang berniat jahat kepadanya bukan empat orang, melainkan enam. Dua orang yang lain ternyata telah menunggu di pertigaan jalan. Mereka bersembunyi di balik pohon mangga bercabang rimbun.
Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t
Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan
Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad
Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau
Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan
Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments