Share

Makan Malam Dengan Orang Itu (2)

Memang benar jika Karin hanya diam saja sejak tadi, namun dia tidak benar-benar diam. Dia benci melihat wajah Viona dan melampiaskannya pada makanan. Dia mengiris kecil-kecil sepiring steik dan mengunyahnya dengan kasar.

Karin menaruh pisau dan garpu, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.

“Jika Noah memang sudah memiliki kekasih, aku tidak akan memaksanya untuk menikah denganku, Paman. Noah berhak bahagia,” jawab Karin dengan memasang wajah tenang.

“Kau memang baik, Karin. Paman harap, kau masih bisa berhubungan baik dengan kami meskipun kau tidak jadi menikah dengan Noah.” Daniel mengalihkan pandangannya kepada Viona. “Viona ... mulai hari ini kau bisa berbicara santai padaku. Berhentilah memakai bahasa formal.”

“Baik, saya –ah tidak!” Viona menggelengkan kepala. “Aku mengerti, Paman.”

Ah, perut Viona terasa digelitik. Sudah lama sekali dia tidak menyebut Daniel dengan sebutan paman. Dahulu, dia kerap kali menyebut kata itu tatkala Daniel berkunjung ke rumahnya setiap sabtu dan membawa banyak hadiah untuknya.

Setelah dipikir-pikir, Viona tidak tahu alasan sebenarnya Daniel selalu mengunjungi rumahnya setiap seminggu sekali. Sylvia – ibu Viona – berkata kalau Daniel adalah teman dekatnya, namun mengapa seorang teman dekat justru membunuhnya? Sungguh tidak masuk akal!

Druk!

Suara kursi terdorong ke belakang terdengar begitu Karin berdiri secara tiba-tiba. Kedua tangan Karin memegang sisi meja dan wajahnya menunduk.

“Maaf, sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Permisi!” ucap Karin dan berlalu begitu saja.

Karin memang mengatakan kalau dia akan menyerah pada pernikahannya dengan Noah. Namun, itu semua hanya sementara. Dia akan mencari cara agar Noah mau menikahinya meskipun dengan terpaksa!

Setelah kepergian Karin, Viona melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka sembilan, itu artinya sudah satu jam dia berada di rumah Noah.

“Ayah, sepertinya aku juga harus mengantar Viona pulang. Kekasihku ini terlihat sangat lelah,” tutur Noah.

Viona terkejut dengan perkataan Noah. Padahal dia tidak mengatakan apa pun, namun pria itu bisa mengetahui isi hatinya yang ingin segera pulang.

“Baiklah. Cukup antarkan Viona dengan selamat, jangan mampir ke tempat lain!”

“Tentu saja.”

Noah beranjak dari kursinya dan membantu Viona berdiri. Mereka berjalan secara beriringan sembari bergandengan tangan hingga masuk ke dalam mobil. Sejurus kemudian, Noah langsung mengemudikan mobilnya dan mengantar Viona pulang ke rumahnya.

“Aku akan pergi setelah melihatmu masuk ke dalam rumah,” ucap Noah ketika sudah sampai di depan gerbang rumah Viona.

Viona turun dari mobil setelah Noah membukakan pintu untuknya. Dengan berjalan gontai gadis itu meraih pintu gerbang dan hendak membukanya, namun dia mengurungkan niatnya dan berbalik menghadap Noah.

“Aku ingin memastikan sesuatu,” ucap Viona.

Noah mengerutkan dahinya bingung. “Memastikan apa?”

Bukan menjawab, Viona justru meletakkan kedua tangannya di bahu lebar Noah dan menatap mata pria itu. Dia kemudian berjinjit kecil dan memejamkan mata.

Satu detik ... dua detik ... Viona semakin mendekatkan wajahnya dengan Noah hingga bisa merasakan hembusan napas pria itu. Bibir mungilnya kemudian meraih bibir Noah, mengecupnya perlahan-lahan dan dengan lembut.

Seketika, Noah tertegun. Jantungnya berdegup kencang dan wajahnya memanas. Seharusnya dia marah karena seorang gadis tiba-tiba menciumnya tanpa izin, namun entah mengapa Noah justru tidak bisa menolaknya. Dia sudah terjerat pesona Viona yang memabukkan.

Viona menjauhkan wajahnya dan berjalan meninggalkan Noah yang masih tertegun. Dia tersenyum tipis ketika menyadari bahwa jantungnya tidak berdebar kencang meskipun sudah mencium Noah. 'Syukurlah karena aku tidak jatuh cinta pada pria ini,' batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status