Share

Bab 6

Bab 6

Masih dengan tatapan dinginnya, Handi berkata, “Bawa anak kamu dan tinggal di sini mulai sekarang. Besok kamu kerja." Tanpa menunggu reaksi Siti, pria itu berdiri dari kursi dan berseru, “Bi Yati!”

Tak perlu waktu lama bagi Bi Yati untuk muncul dari ruang belakang. “Ya, Pak?” tanyanya, siap menerima perintah.

“Siti dan putrinya akan tinggal di sini mulai hari ini, tolong bantu siapkan semuanya. Nanti minta Mang Tatang untuk bantu Siti jemput putrinya juga.” Handi kemudian melanjutkan, “Sumi mana? Saya mau ke kantor, tolong minta dia bukain pintu.”

*

“Ibu, rumahnya gede banget,” celetuk Putri yang baru saja dijemput Siti dengan bantuan Mang Tatang, salah satu pengurus rumah pria di rumah Handi. “Kita tinggal di sini sekarang, Bu?” tanya Putri, merasa tidak yakin.

Sebelum Siti sempat menjawab, Bi Yati yang langsung menyahut, “Iya, Putri. Mulai hari ini, Putri tinggal di sini bareng Ibu, Bibi, dan Mbak Sumi.” Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, mungkin merasa rindu dengan masa-masa memiliki anak sekecil itu.

Sesuai dengan perintah Handi, Bi Yati telah mempersiapkan semuanya untuk Siti dan Putri. Karena Bi Yati dan Sumi sudah menempati satu kamar, Putri dan Siti pun diberikan satu kamar lain lagi.

Selagi membereskan pakaiannya dan pakaian Putri, Siti memberikan wejangan kepada gadis kecilnya itu, “Putri, karena kita tinggal di rumah orang, Putri harus jaga sikap ya. Karena Putri juga belum sekolah, Putri sebisa mungkin bantu-bantu Ibu kerja, ya.”

Putri kecil pun menganggukkan kepala, begitu patuh kepada ucapan ibunya. “Ya, Bu. Putri ngerti.”

Ketika Siti baru saja selesai membereskan barang-barangnya, tiba-tiba Sumi muncul dari balik pintu. “Mbak Siti, Mbak Siti!” serunya dengan sedikit tergesa-gesa.

“Kenapa Sumi?” tanya Siti yang kebingungan dengan kepanikan pembantu muda yang satu itu.

“Anu, Mbak. Itu ada yang nyariin di depan. Teriak-teriak gitu sambil marah-marah, cantik sih, tapi kayak orang gila!” jelas Sumi dengan wajah takut. “Mbak Siti keluar dulu, deh. Coba lihat itu kenal nggak?”

Siti yang mendengar ucapan Sumi, tampak mengerutkan kening. Dia meminta Putri untuk tetap diam di kamar selagi dirinya keluar bersama Sumi.

Mendekati pintu rumah, suara melengking yang familiar pun bisa Siti tangkap. “Saya nggak mau tahu, panggil Siti keluar sekarang juga! Dia harus bertanggung jawab!” teriak wanita berambut merah bergelombang yang tak lain dan tak bukan … adalah Eva.

Melihat sosok Eva, Siti pun berkata, “Mbak Eva? Kenapa Mbak ke si–”

Kedatangan Siti membuat Eva langsung menoleh. Tak lekas menjawab, Eva malah menelisik penampilan baru Siti yang memakai seragam itu.

Sebuah seringai mengejek muncul di wajah Eva. "Wah-wah-wah cocok banget seragamnya sama kamu! Memang pantes ya kamu jadi asisten rumah tangga alias babu!" hina Eva.

Merasa profesinya dihina, Sumi yang nggak terima maju selangkah. “Eh, Mbak. Kalau ngomong jangan–”

Ucapan Sumi terhenti ketika Siti menahan dan menggelengkan kepalanya. Wanita itu sudah biasa dengan sikap Eva yang semena-mena.

Akhirnya, Siti pun menarik napas dalam-dalam. "Terserah saja deh Mbak Eva mau ngomong apa. Sekarang Mbak Eva ada perlu apa kesini, Mbak? Tolong cepat katakan dan jangan mengganggu ketenangan rumah sini. Nggak enak dilihat tetangga.”

"Halah sekedar pembantu saja kok sombong sekali, kayak orang kantoran saja!" Dengan geram Eva kembali berujar.

Siti yang tadi berada di ambang pintu pun kemudian keluar dari rumah itu. "Bukan begitu, Mbak maksudku.” Dia mulai malas berpanjang cerita. “Terserah Mbak aja. Sekarang katakan saja ada perlu apa, Mbak?"

"Ini yang aku nggak suka dari kamu ya. Sok  baik dan sok bener!” maki Eva sembari memutar bola mata. “Kalau memang bisa mikir dan tahu balas budi, harusnya kamu tahu dong kalau hutang harus dibayar?”

Pertanyaan Eva membuat Siti mengerutkan kening, mulai mengerti arah pembicaraan wanita itu.

“Kamu kan udah dapet kerja, jadi sekarang juga aku mau kamu mengembalikan uang yang kamu pinjam itu!" Eva semakin meninggikan suaranya saat ini. “Jangan pura-pura lupa!”

Kembali Siti hanya bisa meminta kesabaran dalam hati saat ini. "Mbak, aku kan baru kerja hari ini. Jadi ya belum ada uang. Nanti kalau pas gajian pertama pasti langsung aku kembalikan uang itu. Tolong sabar, Mbak." Memang dia punya utang pada Eva, tetapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk menagih.

Eva tersenyum sinis. "Memang kamu saja dasarnya yang nggak mau bayar utang! Ingat loh, utang itu dibawa sampai mati, jadi lebih cepat kamu bayar, itu lebih baik!" Siti hanya mengangguk-anggukan kepala, mencoba untuk menekan emosi Eva dan meminta pengertian. "Oh iya, satu lagi. Kamu itu jangan jadi orang yang kurang ajar ya, sudah ditolong, tapi nggak ada sopan santunnya sama sekali!"

Siti kali ini malah tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Eva. "Maksud Mbak Eva apa? Tidak sopan gimana ya, Mbak?" tanya wanita itu, jujur sangat bingung.

"Duh ... Kamu itu benar nggak ngerti atau memang beneran bodoh sih?! Kamu tadi bawa Putri dari rumah kan? Kenapa kamu nggak minta ijin dulu? Kamu pikir itu rumah nenek moyang kamu ya? Seenak hati saja kamu datang dan pergi!" ucap Eva dengan mata mendelik sembari menoyor kepala Siti.

Dengan usaha untuk tetap sabar, Siti menjawab, "Maaf, Mbak. Tapi tadi waktu aku ke rumah ‘kan memang Mbak Eva lagi pergi, jadi aku hanya pamitan sama Bi Nur saja," jelas Siti sesuai kenyataan. “Niatnya nanti malam aku bertamu lagi untuk pamit dengan Mbak Eva dan Mas Dirga.”

Eva mendengus kesal. "Alah, alasan. Kamu ‘kan bisa nunggu aku pulang ke rumah! Atau paling nggak, kamu bisa nyuruh Bi Nur hubungin aku! Pinter ngeles banget sih kamu, Ti? Pantas saja akhirnya kamu dibuang oleh si Adi!"

Pernyataan Eva membuat Siti terperangah. Dia bisa merasakan tatapan mata Bi Yati dan juga Sumi ke arahnya, dan hal itu membuatnya sangat malu karena aib keluarganya diketahui semua orang.

Siti tak terima karena Eva mengatakan tentang Adi, sehingga dia pun dengan cepat membalas ucapan sepupunya itu. "Cukup, Mbak. Jangan mengungkit hal yang telah lalu. Mbak Eva harusnya tahu jika aku hari ini baru diterima, nggak mungkin dong aku bisa berlama-lama di luar? Toh aku ‘kan hanya mengambil anakku saja, Mbak! Masa harus izin segala?"

"Yang begitu kamu bilang wajar? Apa bedanya kamu itu sama pencuri? Banyak alasan kamu itu, Ti. Nyesel aku sudah memberikan tumpangan sama kamu! Tahu gitu sudah kubiarkan kamu kemarin hidup jadi gelandangan!"

Makian Eva membuat hati Siti panas. “Mencuri? Mencuri apa, Mbak? Anak aku sendiri?! Mbak Eva ini kenapa sih?!”

Kesal karena Siti terus membantah dirinya, Eva pun berteriak, “Berani kamu ya, sekarang?!” Dia mengangkat tangan dan melayangkannya ke arah pipi Siti.

Terkejut dengan telapak tangan Eva yang siap mendarat di wajahnya, Siti menutup mata cepat. Namun, entah kenapa tamparan itu tidak kunjung mendarat.

Ketika Siti membuka mata, dia melihat wajah Eva terlihat kaget dan kesulitan. Tak hanya itu, ada sebuah tangan besar dan kekar yang menahan pergelangan tangan wanita itu.

Netra hitam yang menusuk itu menatap Eva dalam-dalam, mengintimidasi wanita itu. “Jangan sembarangan menyentuh milik saya.”

Mata Eva tampak membulat. Dia merasa cukup terkejut karena seorang pria tiba-tiba saja datang dan mencoba menghentikan aksinya.

Ditatapnya lekat sosok pria yang mencoba menghalau tangannya. Namun Eva tampak membatu kala mendapat tatapan tajam dan menusuk yang ditunjukan pria itu padanya.

"Ka-kamu siapa?"

Siti menoleh mengikuti arah pandangan sepupunya, ditatapnya lekat sosok pria yang familiar itu. Bukan Eva saja yang terkejut, Siti juga sama terkejutnya. Hal itu membuatnya tak elak berseru, "Pak Handi?!"

Komen (38)
goodnovel comment avatar
Moch Aldho Ali Murtadho
apa yg harus aku lakukan... app pelit bgt
goodnovel comment avatar
Uswatun Maghfirah
buka kunci nya dong, kan dah beli koin
goodnovel comment avatar
Uswatun Maghfirah
sudah beli koin pun, tak langsung bisa kebuka, hadeeeeh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status