Ratna menghampiri Rinjani yang sibuk dengan makanan di tangan. Dia tak terima karena sang adik mengenal Erik. Ratna berpikir bagaimana bisa dia menarik hati bos di kantornya, sedangkan sejak lama ia pun mengincar tak dapat balasan apa pun.
“Kamu kenal di mana sama Pak Erik?” tanya Ratna.
“Hmm, kasih tahu enggak, ya? Jangan ah, takut di rebut lagi. Aku tahu kalau Kakak itu enggak akan puas dengan apa yang sudah di rebut kakak,” ujar Rinjani.
Ratna mengepalkan tangan, ia begitu kesal dengan apa yang di katakan sang adik. Ia berjalan menghampiri Rinjani dan mencengkeram lengannya.
“Lepas!”
Rinjani melepaskan cengkeramannya, ia pun tak kalah sengit menatap wanita yang merebut kekasihnya.
“Kenapa kakak selalu ingin tahu apa yang aku punya, aku sudah ikhlas dengan apa yang telah kakak ambil, buat apa bertanya tentang Erik, hah? Mau tuker tambah, mengembalikan Tama dan meminta Erik?”
Ratna hampir saja menampar Rinjani jika sang ayah tak menahan tangannya. Bu Irma pun merelai keduanya. Apalagi Tama yang kini memegangi sang istri yang sudah mulai memanas.
“Sudah, kalian ini enggak malu apa?” tanya sang ayah.
“Rinjani yang memulai, aku hanya bertanya saja. Dia malah sewot,” bela Ratna.
“Aku enggak sewot, kok. Hanya mengatakan hal yang sesungguhnya kalau Ka Ratna selalu ingin memiliki apa yang aku punya. Contohnya Tama, lalu dia bertanya tentang Erik. Heh, Tama, hati-hati, kali saja Kak Ratna mudah berpaling. Aku pacaran sama binatang pun mungkin dia mau!”
“Heh, jaga bicara kamu!” teriak Ratna.
“Tama, bawa istri kamu. Semua masalah bersumber dari kamu, andai saja kamu bisa berpikir pakai otak dan tidak pakai dengkul, keluarga saya enggak akan kacau seperti ini,” tutur Budi.
Tama hanya diam dan mengajak Ratna pindah tempat karena jika berlama-lama akan membuat keduanya kembali bertengkar. Suasana pun semakin panas saat Pak Budi ikut emosi menghadapi pertengkaran sang anak.
“Kamu tahan emosi, ayah pun tahu kamu itu kesal,” ujar sang ayah.
“Maaf, Yah. Kalau melihat Ka Ratna sama suaminya bikin tensi aku naik seperti habis makan sate kambing,” ujarnya lagi.
“Sayang, ayah tahu, tapi kamu jaga emosi kamu, ya.”
Rinjani hanya menghela napas, memang benar jika melihat sang kakak hawanya emosi. Bagaimana bisa sabar saat kekasih di rebut paksa olehnya.
Sementara, Tama membawa Ratna menjauh dari Rinjani. Mereka kemudian malah berdebat. Ratna yang tak mau kalah, sedangkan Tama juga merasa harus meluruskan semua masalah yang terjadi.
“Kamu jangan mencari masalah dengan Rinjani terus. Nanti aku di salahkan ayah kamu. Dengar enggak tadi, ayah kembali menyalahkan aku,” ujar Tama.
“Aku hanya menegur saja. Dia malah ngegas jawabnya. Ya, masa aku diam. Harus aku lawan dong.” Ratna kembali membela diri.
Tama memegangi dahinya yang terasa pening. Menghadapi sang istri membuatnya sangat kacau. Apalagi kalau sedang bertengkar dengan Rinjani. Semua masalah bisa di panjang kali lebarkan.
***
Sementara, Erik kembali ke kantor dengan wajah suntuk. Mengingat pertemuannya dengan mantan istrinya membuat ia kembali teringat masa kelam bersama wanita yang melahirkan Bian. Andini sejak dulu tidak pernah berubah dan masih saja sama.
“Kita cerai!” Erik melempar sebuah foto mesra sang istri di sebuah kelab malam.
Hatinya terbakar emosi saat mengetahui istri tercintanya bermain api di belakangnya. Ia bekerja siang malam demi mencukupi kehidupan Andini dan Bian. Akan tetapi, wanita berambut pirang itu malah bersenang-senang di luar sana.
“Maksud kamu apa?” Andini mencoba mengelak.
“Apa maksud aku? Masih tanya apa yang aku maksud Andini Ningrum! Lihat foto ini.” Erik menunjuk satu foto Andini bersandar di bahu pria lain. Siapa yang tidak akan murka melihatnya.
Andini mengambil kasar foto-foto itu. Tangannya gemetar saat satu persatu foto itu ia lihat. Benar, semua foto menunjukkan dirinya bersama pria lain saat di kelab malam. Ia begitu frustrasi saat mendengar Erik menalaknya.
“Sayang, aku bisa jelaskan,” ucap Andini.
“Jelaskan? Menjelaskan kalau memang kamu dan pria itu ada hubungan? Aku bukan anak kecil yang bisa di bohongi. Sudah jelas, bukan? Aku kerja demi kamu, tapi apa balasannya?”
“Iya, memang kamu kerja buat aku, tapi apa kamu pikir pernah ada waktu untuk aku, hah? Walau hanya sekadar mengajakku ke mal atau makan malam di rumah? Wajar jika aku mencari teman yang bisa membuat aku tidak depresi menghadapi pria macam kamu!”
Erik terkesiap mendengar penuturan yang diucapkan Andini. Sebuah hal yang tak pernah ia dengar. Namun, hal itu sudah tidak bisa mengubah apa pun karena Erik pun sudah mengatakan akan menceraikan dirinya. Foto-foto itu cukup membuatnya sakti hati.
Lamunan Erik terhenti saat terdengar orang mengetuk pintu ruangannya.
“Masuk.”
Andre—asisten pribadinya datang membawakan beberapa hasil laporan yang sudah ia teliti. Pria dengan wajah oriental itu terlihat sangat gesit dalam melakukan pekerjaannya. Kemarin baru saja Erik memberikan dan kali ini sudah selesai. Lalu, datang lagi dengan membawakan beberapa berkas.
“Taruh saja, saya belum minat membaca. Lagi suntuk.” Erik menjawab asal.
“Wah, nggak asyik Pak Bos ini. Masalah pribadi di campur adukkan ke masalah pekerjaan.”
Erik menoleh, lalu tertawa karena ucapan Andre. Benar kata pria itu, dirinya harus konsentrasi dalam pekerjaan. Cabang baru yang haru saja didirikan sedang mengadakan promosi untuk produk kecantikan yang akan promo Minggu depan.
Persiapan model dan sponsor pun sudah terkendali oleh Andre. Erik hanya menunjuk saja dan memberikan beberapa perintah.
“Mood saya hancur kalau habis bertemu dengan Andini.”
“Di mana?”
“Pernikahan Ratna, manajer Marketing.”
“Kok bisa?”
Erik menaikkan bahu. Ia mulai bercerita tentang wanita muda yang ia perkenalkan pada Andini. Ia terpaksa karena sudah terlalu lama ia tak mengenal wanita. Apalagi Andini kerap mengatakan dirinya masih mencintainya. Hanya karena ia tak menikah setelah bercerai.
Wanita membuatnya trauma. Hanya itu yang ia pikirkan. Namun, saat bertemu Rinjani, hatinya berkata lain. Cinta itu indah saat pada pandangan pertama.
“Jadi namanya siapa?”
“Lupa.”
“Alamatnya di mana?”
“Lupa juga.”
Andre hanya menepuk dahi saat Erik dengan polosnya sama sekali tidak tahu jati diri wanita yang ia kenalkan. Baru kali ini ada orang senekat sang bos yang asal mengaku-ngaku. Namun, ia merasa penasaran dengan wanita muda itu sampai bosnya mau mengakuinya sebagai pujaan hatinya.
“Dia ada di acara Ratna, kan?”
“Iya.”
“Tanya saja dia.”
Erik bergeming, lalu tersenyum mendengar penuturan Andre. Sepertinya ia akan menemui Ratna untuk bertanya lebih tentang Rinjani.
Ia harus bertemu kembali dengan wanita gila yang ia temui tadi dan membuatnya bisa terlihat sudah move on dari Andini.
***
Pukul 15.30, Erik terus saja memperhatikan jam di tangan. Begitu pun netranya tak henti menatap layar ponsel. Pria dengan kaus Hitam dan celana jin itu masih terlihat muda di umur yang sudah memasuki 35 tahun. Ia duduk di sebuah restoran sembari menunggu sang anak. Namun, sejak tadi ia mencoba menghubungi dan mengirim pesan pada Bian sang anak, belum juga ada balasan.Erik kembali melihat pesan yang ia kirim pada Bian—sang anak.[Boy, sebagai permintaan maaf, Papa tunggu jam 16.00 di mal Ambas, kita nonton film yang kamu bilang waktu itu. Papa otw langsung dari kantor, jadi ketemuan saja di mal.]Namun, sejak pesan itu terkirim pukul 11.00, sampai detik itu pun Erik belum menerima balasannya. Ia kembali mencoba meneleponnya, tetapi tak ada jawaban. Akhirnya pria itu mencoba menelepon sang adik. Ternyata sang anak ada acara di sekolah.Erik langsung menutup teleponnya. Ia malah berpikir jika sang anak masih marah dan sengaja tidak mau mengangkat atau membalas pesannya. Pada akhirnya ia
Selama di perjalanan mereka tak banyak bicara, apalagi saat percakapan tentang cinta. Rinjani pun tak mau membahas masalah itu dengan Erik. Ratna semakin uring-uringan saat Rinjani datang bersama Erik. Begitu halnya dengan Tama yang sudah sejak awal merasa cemburu dengan kedekatan Rinjani dengan pria baru. Pengantin baru itu masih tinggal di rumah kedua orang tuanya. “Kamu kenapa, sih?” tanya Ratna pada sang suami yang sejak tadi tak tenang. Ratna mulai curiga dengan kehadiran Rinjani bersama Erik. Ia mengendus kecemburuan yang membuat sang suami terus seperti orang galau. “Tama, kamu kenapa kok cuek sama aku?” “Aku lagi malas bicara.” Tama hanya menjawab singkat, selanjutnya ia kembali mengambil ponsel dan memainkannya sembari tiduran tanpa menghiraukan kehadiran Ratna. Sang istri merasa tidak suka saat dirinya diabaikan. “Kamu cemburu sama Rinjani?” Ratna langsung mencecarnya. Tama masih bergeming. Ia tahu jika dirinya menjawab akan sama saja, Ratna tetap saja emosi dalam me
Bel sekolah sudah berbunyi, Rinjani kembali dalam aktivitas mengajarnya. Sebagai guru Akuntansi di sebuah sekolah menengah atas, membuat ia harus terus fokus dalam pekerjaannya. Walau beberapa bulan ia dalam keadaan tidak baik, apalagi saat menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.Jam mengajar masih cukup lama, pukul 10.30 ia baru masuk ke kelas XI IPS II. Rinjani masih sibuk mengoreksi nilai anak didiknya. Beberapa kali ia memijit pelipisnya saat melihat sebuah nilai yang kurang memuaskan baginya.“Astaga, anak ini. Sengaja apa memang bodoh?” Rinjani bergumam sendiri sembari mencoreti lembaran tugas.“Bu Jani, ada kelas jam berapa?” tanya Pak Albert—guri olah raga.“Sebentar lagi, Pak.” Rinjani tersenyum sembari memamerkan giginya.Pak Albert masih saja memperhatikan Rinjani. Pria dengan wajah Baby face itu terkenal sebagai guru olah raga paling kece di sekolah itu. Usianya tidak tua juga tidak muda, pedomannya mampu membuat beberapa siswa meleleh saat ia menebarkan senyum.Namun, ba
Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau
Senyum semringah masih terpancar di wajah pria itu dengan sempurna. Memasuki rumah sang ibu, ia lalu mencari anaknya. Sepertinya ia harus berterima kasih karena sang anak tak datang tadi. Dengan kejadian itu, ia bisa kembali bertemu dengan Rinjani.“Duren senyum-senyum lagi kenapa, tuh, Ma?” Meli menyenggol sang ibu yang sibuk mengecek pemasukan dagang online miliknya.“Tanya aja sendiri. Mungkin ketemu jodoh,” jawab sang ibu asal.Erik hanya tersenyum karena tebakan sang ibu benar. Akan tetapi, ia memilih diam dan akan memberitahu jika memang benar mereka berjodoh nanti. Ia memacu langkah menghampiri Bian di kamarnya.Pintu kamar anak laki-laki itu memang tidak pernah di kunci. Erik bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk lebih dahulu. Dahinya mengernyit melihat sang anak yang sibuk membaca buku. Tidak seperti biasanya yang setiap saat bermain ponsel.“Lagi ulangan?” tanya Erik.“Nggak, Pa. Lagi bosan aja nggak ada ponsel.” Bian menjawab tanpa menoleh pada sang ayah.“Ponselmu ke ma
Pak Albert menunggu Rinjani yang baru saja datang. Pria itu masih saja terus mencari celah untuk mendekatinya walau sudah jelas Rinjani seperti menghindar. Bu Ani—guru Biologi sering mengingatkan untuk tidak terlalu memaksa karena wanita tidak suka di kejar.“Bu Rinjani,” sapa Pak Albert saat Rinjani datang.“Iya, ada apa, Pak?”“Bu Rinjani, Papa saya datang untuk mengambil ponsel saya. Dia tidak bisa lama, mau bicara di mana?”Bian datang dengan tergesa-gesa karena sang ayah sudah menunggu di mobil. Rinjani sampai terkesiap dengan kedatangan Bian yang menyelak pembicaraan dirinya dan Pak Albert. Seolah-olah tidak terima, Pak Albert meminta Bian untuk kembali nanti.“Bian, saya sedang ada urusan dengan Bu Rinjani. Bisa nanti bicaranya?”“Pak, orang tua saya datang untuk mengambil ponsel. Dia sibuk, masih untung mau datang, Bu, bagaimana?” tanya Bian.“Pak, saya bicara dulu dengan orang tua Bian. Setelah itu saya akan bicara dengan Bapak,” ujar Rinjani.“Bian, ikut saya. Saya tunggu di
Rinjani terdiam sembari memainkan pulpen di meja. Beberapa murid pun memperhatikan dirinya dari tempat duduk. Terutama Bian juga ikut melihat keanehan di wajah guru Akuntansinya. Tidak seperti biasa Rinjani diam dan tidak banyak bicara.Edi—teman sebangku Bian menyenggol lengan Bian hingga ia tersadar dari lamunan.“Masih waras, kan? Lu nggak suka sama Tante-tante, kan?” tanya Edi.Bian mencebik saat Edo mengira dirinya menyukai Rinjani.“Sarap, ya. Gua masih normal, ya. Masih suka gadis se umuran, bukan Tante-tante apalagi dia guru.” Bian melirik kesal.“Tami?” Pertanyaan Edi malah membuat Bian membulatkan mata.“Lu pikir gua sama Joni berantem karena berebut dia? Ogah, amat,” tutur Bian.“Kiraiin, terus lu kenapa memperhatikan Bu Jani macam itu?”Bian masih bergeming. Entah benar atau tidak yang ada di pikirannya kali ini.“Gua lagi memikirkan, Bu Jani anteng dan nggak banyak ngomong, apa efek habis ketemu bokap gua, seperti yan sudah-sudah setelah bokap datang, terbitlah guru-guru
Semua telah diungkapkan Erik. Sebuah kekesalan masa lalu juga membuatnya tidak bisa memaafkan perselingkuhan Anindi. Jelas di depan matanya dia bermesraan dengan pria lain dan meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu. Semua sudah di cukupi olehnya, entah wanita itu memilih pria lain untuk bermesraan.“Tuhan saja maha pengampun. Jangan sombong hanya jadi manusia,” tutur Anindi.“Wajar aku sombong, aku tampan, menarik, kaya dan bisa saja kapan saja menikah dengan wanita yang aku mau. Tapi, aku bukan kamu yang biasa bergonta-ganti pacar.” Lagi, Erik sengaja membuat hati Andini sakit.Erik berpikir jika Andini harus tahu bagaimana sakit dan sulitnya bangkit dari terpuruk saat wanita itu mempermainkan biduk rumah tangganya.“Kamu—“ Bibir Andini bergetar saat netra mereka saling bertemu. Baru kali ini ia menyesal dengan apa yang ia perbuat. Kesalahan yang tidak pernah ia akui karena merasa selalu benar.Perselingkuhan itu terjadi karena kurangnya waktu Erik bersamanya. Keinginan bersama s