Nina Humaira dijodohkan oleh ayahnya bernama Reza Adytama. Nina merasa pernikahan ini sangat berat karena Reza penuh misteri hingga Nina tahu ternyata Reza memiliki anak. Siapakah sebenarnya Reza? Apa benar dia sudah pernah menikah ?
View More"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah, kami sudah seperti abege tua yang malu-malu. Aku juga bingung dnengan tingkahku yang sedikit aneh, debarannya jangan ditanya."Jangan dijawab, aku tidak mau kamu menyesal," katanya lagi. Diih, dia pede sekali. "Bund, yuk, kita main perosotan warna warni itu, kayaknya seru!" teriak Arvian. "Boleh," jawabku sambil berlalu meninggalkan abang Brayen.Setelah membayar tiket masuk, kami bermain perosotan bersama. Abang Brayen hanya jadi pengawal kami berdua. Dia hanya berdiri melihat kami bermain dengan riang gembira."Apa ayah akan berdiri terus di sana?" tanya Arvian."Ayah gak berani," balasnya."Ayah cemen, kalah sama bunda," balas Arvian tak mau kalah."Bilang sama bundamu, jika dia mau ayah ikut," katanya lagi. Makin salah tingkah dibuat.Arvian menatapku sekilas, dia tidak memaksa, tapi tatapan matanya seolah menginginkan. Lucu kurasa. Ayah dan anak sama-sama gengsi. "Ayah bilang sendiri aja, pakai minta Arvian." Aku tersenyum melihat e
Aksen langsung menemui bunda, dia bahkan tanpa canggung mendekati bunda. Kami memang berpisah baik-baik. Jadi tidak ada masalah dengan silaturahim kami. Namun, beda dengan abang Brayen dia nampak canggung diantara kami, apalagi daddy juga tidak langsung menegur.“Tuan Brayen apakah anda tidak merindukan opa!” teriak Arvian. Astagfirullah ada saja kelakuan Arvian. Sifat ayahnya aku rasa benar-benar muncul.Daddy terlihat salah tingkah mendengar ucapan Arvian. Sementara bunda justru tak menahan tawanya. “Tuan Brayen kenapa gugup begitu,” sambung Aksen sembari tertawa. Aksen memang tidak berubah sama sekali. Dia tetap humble dimana pun berada.Abang Brayen terlihat malu-malu mendengar ucapan Aksen, benar-benar diluar dugaan Aksen ternyata tidak cemburu sama sekali.“Iya, saya hanya antar Arvian, saya langsung pamit,” kata abang Brayen.“Bukannya ayah ingin ketemu Opa, kok berubah pikiran,” sambung Arvian. Abang Brayen semakin salah tingkah melihat keberanian Arvian. Ya Allah ... kenapa
Aku hanya bisa mengelus dada, lucu rasanya melihat satu rumah sakit membicarakan abang Brayen. Bergegas aku ke ruangan, tak sabar membuka bekal yang diberikan Arvian. Namun, hatiku bergetar ketika ada tulisan tangan abang Brayen di dalam bekal itu.Siapa kita semalam tak penting, yang penting siapa kita hari ini. Karena esok tak menjanjikan apa-apa, apa yang kita buat hari ini, menentukan siapa kita esok hari. ~BrayenMaksudnya apa? Apa ini hanya alasan dia saja mengirim bekal, padahal bukan Arvian yang membuat, tapi sebenarnya dia.Bekal dari Arvian rasanya tidak asing, tidak berubah ketika bersama abang Brayen dulu. Tidak mungkin aku menanyakan ke Arvian apakah dia yang mengirim atau tidak. Benar-benar duda meresahkan!"Bu direktur agenda hari ini bertemu relasi dari Jerman," kata asisten yang biasa membuatku jadwal. Dia membuyarkan ingatanku, bekal dari Arvian habis tak bersisa padahal aku sudah makan di kantin."Jam berapa?" tanyaku lagi."Pukul 14. 30.""Oke, nanti diingatkan la
Dia menatapku lekat. Iya dia abang Brayen, ayahnya Arvian. Mona disampingku terus menggangguku. Sementara yang di kantin sudah mulai heboh dengan kedatangan abang Brayen.“Ada yang bisa dibantu?” situasi yang mulai heboh di kantin membuatku bertanya demikian. Terasa asing.Abang Brayen juga kikuk melihatku yang bertanya demikian. Kami seperti orang yang tidak kenal sebelumnya.“Gak ada, aku hanya mengantar titipan dari Arvian,” katanya sambil memberikan bungkusan dari Arvian.“Dia buat sendri, jadi diminta kirim untuk bundanya. Kebetulan aku ada tugas di hotel dekat rumah sakit, makanya aku mampir,” sambungnya.Aku langsung mengambil bingkisan yang diberikan Arvian, jangan tanya bagaimana bahagianya aku ketika mendapat bingkisa dari Arvian ini. Rasanya begitu membahagaiakan. “Terima kasih, Dok. Sampaikan salam sama Arvian.”Dia menatapku sebentar, ada raut kekecewaan dalam wajahnya. Mona langsung memberi kode padaku."Terima kasih, Bang. Salam sama Arvian." Jujur aku sebenarnya ingi
Dengan semangat baru Monica mulai bekerja, bahkan tampilannya semakin fresh. Dia mengubah tampilannya layaknya wanita berkelas layaknya anak konglomerat, Monica bahkan mulai belajar berdandan. “Janda menyala, nih,” ledek Mona yang melihat sahabatnya semakin cantik.“Kamu ada-ada saja, Mon. Ini karena kak Gendis,” jawab Monica yang terlihat tersipu malu.Iya, semua berawal dari Gendis yang menginginkan iparnya tampil menarik. “Tapi kamu beneran cantik, kok.”"Hust, malu, ah, dilihat banyak orang.”Monica seperti menemukan kehidupan baru, seperti lahir kembali dia begitu semangat dalam bekerja. Segala isu yang menerpa dia, semua ditepis dengan prestasi. Dia terkenal sebagai direktur utama yang profesional. Bakat Reza yang terpendam benar-benar ada pada diri Monica.“Pastikan pelayanan lebih baik lagi, jangan sampai ada pasien yang terlantar di rumah sakit kita. Selain itu, pastikan juga para dokter dalam kondisi fit, sebelum bekerja harus kontrol diri terlebih dahulu di ruang yang sud
Monica resmi bercerai dari Aksen. Reza dan Nina tetap mensuport anaknya, beberapa kali Aksen menangis tidak ingin bercerai, bahkan sebenarnya Aksen rela bercerai dari Alifia asalkan dia bisa bersama dengan Monica. Namun, Monica tetap dengan keputusannya, dia justru lebih kasihan dengan Alifia yang lumpuh karena perbuatan Aksen. Setahun lamanya Aksen berjuang. Malang tak bisa dihindari, Monica kekeh dengan pendiriannya hingga keputusan pengadilan pun keluar. Meski begitu Nina terus memantau perasaan anaknya, jangan sampai menyesal karena ini sudah kedua kalinya gagal.“Pikirkan matang-matang, Nak,” ucap Nina yang selalu sabar menasehati Monica.“Monica sudah berfikir yang matang, Bund. Aksen sebenarnya sudah lama jatuh cinta dengan Alifia.”“Aksen cintanya sama kamu, Nak.” Nina sebenarnya sudah jatuh hati dengan mantunya, sikap Aksen yang sopan membuat orang tua manapun pasti bahagia memiliki mantu seperti Aksen.Bagi Monica, bukan cinta jika berani mendua. “Monica tidak bisa seikhla
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments