"Jadi kau tahu kan untuk apa para wanita melakukan diet?"
"Hm, ya, untuk menarik perhatian pria," celetuk Dixon asal.
"Oh, maaf. Tapi aku tidak melakukannya untuk itu!" tukas Ainsley.
"Oh ya? Tapi aku tertarik padamu."
"Apa?"
"Kau tidak dengar aku bicara apa tadi? Hm, aku rasa pendengaranmu bermasalah. Sebaiknya kau pergi ke dokter THT setelah ini. Kau perlu aku antar?"
"Jangan keterlaluan kau, Dixon!"
"Ada apa? Bukankah tadi kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Apa aku salah bicara lagi?" kata Dixon enteng.
Ainsley mengepalkan tangannya untuk menahan emosinya.
"Apa kau sudah selesai? Aku sudah cukup disini. Aku pergi sekarang." Ainsley langsung berdiri dan pergi.
"Hei, kau tidak bisa melakukan ini. Kau tidak bisa meninggalkan aku seperti ini!" seru Dixon namun Ainsley sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap pergi begitu saja.
Dixon sedikit tercengang, namun setelahnya ia terkekeh geli. "Dia sangat mudah dikerjai."
***
"Dasar tidak waras! Dia benar-benar membuatku sangat kesal," gerutu Ainsley.
Brak!
Ainsley membanting pintu mobilnya dengan keras.
"Apa dia pikir aku ini tuli, ha? Aku tentu saja mendengar apa yang dia katakan. Aku hanya ingin menanyakan apa maksudnya dia mengatakan itu tapi dia malah berpikir aku ini tuli? Keterlaluan! Apa dia mencoba memancingku untuk bertanya langsung?"
"Huh, aku membencinya, sungguh!"
Drrt ... Drrttt ....
Ponsel Ainsley berdering. Dia menyambungkan pada airpods untuk berbicara melalui telepon karena ia akan menyetir.
"Hallo," sapa Ainsley dengan nada yang tak biasa. Tangannya bergerak menyalakan mesin mobil lalu melajukan mobilnya.
"Hallo, Ainsley, kau terdengar tidak sedang dalam suasana hati yang baik, ada apa?" tanya Emily—si penelpon.
"Emily, kau bilang kau akan menjadi asistenku kan? Maka cepat selesaikan sekolahmu. Aku akan sangat sering membutuhkan dirimu, apalagi untuk menghadapi klien-klien yang menyebalkan!" kata Ainsley langsung yang membuat Emily cukup bingung.
"Aku baru saja bertemu dengan klien, dan coba kau tebak siapa klien ku itu?" kata Ainsley.
"Seorang laki-laki atau perempuan?" tanya Emily.
"Laki-laki."
"Siapa? Apa dia pria mesum sehingga membuatmu sangat kesal?" tebak Emily.
"Tidak!"
"Apa dia laki-laki tua bangka yang menjengkelkan?"
"Tidak, Emily, bukan. Kau tahu siapa orang itu."
"Benarkah? Siapa dia?"
"Dixon. Dia Dixon Hamilton."
"Apa? Dixon? Oh astaga, masalah sebesar ini. Apa dia melakukan sesuatu padamu?" tanya Emily lagi.
"Tentu saja, seperti biasa dia selalu membuatku kesal. Aku sangat kesal, Emily."
"Apa dia menuang air minumnya pada kontrak kerja kalian? Atau dia membasahi laptopmu?"
"Tidak, bukan seperti itu," balas Ainsley.
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Emily dengan sabar.
"Dengar. Pertama, dia menceramahiku dan bahkan mengejek daddy. Apa-apaan itu? Lalu kedua, dia memaksaku menemaninya makan. Dia terus saja mengoceh, mengejekku, dan yang terakhir dia mengatakan hal yang sangat membuatku kesal. Dia mengejekku tuli. Apa-apaan dia? Dia tidak waras! Aku membencinya, sangat membencinya!"
"Hei, jangan terlalu membenci. Nanti kau bisa suka. Akan tidak baik jika sekarang kau memakinya dan di kemudian hari kau mencintainya," kata Emily sambil tertawa kecil.
"Apa? Mencintainya? Itu tidak mungkin! Jangan bicara omong kosong!"
"Hahaha ... Sudahlah. Bagaimana jika kita makan es krim? Kau akan lebih baik setelah makan es krim, bukankah begitu, Ainsley?"
"Ya ya baiklah. Kita bertemu di kafe biasa."
"Oke, aku menunggumu."
***
"Bagaimana ceritanya kau bisa bertemu dengannya, Ainsley? Apa kau tidak tahu bahwa klien mu itu adalah dia?" tanya Emily sambil menikmati es krim yang ia pesan.
"Tidak sama sekali. Aku hanya tahu aku harus bertemu dengan perwakilan dari perusahaan Dynamit. Itu saja. Mana aku tahu orang itu adalah dia. Jika aku tahu sejak awal aku lebih baik tidak datang," jelas Ainsley.
"Tapi ngomong-ngomong, aku justru merasa lucu. Aku juga merasa heran kenapa setiap kali kalian bertemu kalian pasti akan bertengkar? Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Bagaimana asal muasal kalian bisa bermusuhan seperti ini?" tanya Emily yang masih tak mengerti mengapa mereka berdua bermusuhan.
"Jangan tanyakan padaku. Tanyakan saja padanya," kata Ainsley ketus.
"Baiklah, kapan-kapan aku akan menanyakan ini pada Dixon jika kami bertemu. Nanti akan aku beritahu padamu juga."
"Ya tanyakan saja, tapi tidak perlu kau beritahukan kepadaku. Aku tidak membutuhkannya."
Drrtt ... Drrtt ....
"Oh, daddy menelpon. Aku akan mengangkatnya, sebentar," kata Ainsley.
"Oke."
"Hallo, Dad?"
"Ainsley, kau ada dimana? Apa kau belum selesai melakukan pertemuan? Apa dia menyusahkanmu? Apa kau perlu bantuan?" tanya Freddy bertubi-tubi.
"Tidak, Dad. Aku sudah selesai. Tapi aku sedikit merasa kesal jadi aku pergi makan es krim bersama Emily. Maaf aku tidak mengabarimu. Kau tidak perlu cemas, Dad," jelas Ainsley
"Syukurlah kalau begitu. Aku takut kau akan kerepotan karena ini pertama kalinya untukmu."
"Tidak, Dad. Aku baik-baik saja."
"Baguslah. Kalau kalian sudah selesai segeralah kembali. Jika terjadi sesuatu segera telepon daddy."
"Baiklah, Dad. Bye."
"Oke."
Tut.
"Daddy mengkhawatirkan aku. Sepertinya sebaiknya aku segera kembali."
"Baiklah aku mengerti."
"Sampai jumpa, Emily sayang."
"Ya, sampai jumpa."
***
"Apa semuanya berjalan lancar, Ainsley? Semuanya baik-baik saja?" tanya Freddy sambil membolak-balik berkas yang tengah ia periksa.
"Ya, Dad. Semuanya berjalan lancar. Aku mendapatkan kesepakatan," balas Ainsley.
"Tapi tadi kau bilang kau sedikit merasa kesal makanya kau pergi maka es krim dengan Emily. Apa yang terjadi?" tanya Freddy lagi.
"Ya, itu karena dia ... Dia adalah teman satu kampusku. Dia sangat menyebalkan, selalu membuatku jengkel. Meski begitu aku harus bersikap profesional jadi aku tetap melanjutkan diskusi itu. Tapi ujung-ujungnya dia tetap membuatku kesal, Dad. Haih ... Tapi sudahlah, lupakan itu. Aku tidak ingin membahasnya lagi." tutur Ainsley.
"Hahaha ...." Freddy tertawa mendengar pernyataan putrinya.
"Benarkah itu?" tanya Freddy.
"Hm," balas Ainsley malas-malasan.
"Tapi tunggu dulu, memangnya siapa namanya?"
"Dixon, Dixon Hamilton."
"Oh ya ampun. Dia putra Hamilton, pemilik perusahaan Risung Star," jelas Freddy.
"Benarkah? Pantas saja dia terkesan sombong," cibir Ainsley.
"Jangan bicara seperti itu. Daddy dan Hamilton sudah cukup lama berteman dan beberapa kali kami menjalin hubungan bisnis. Hubungan kami sangat baik. Jadi kau juga harus menghormatinya," jelas Freddy.
"Ayah, itu kan tuan Hamilton. Tapi kelakuan putranya itu benar-benar sangat menyebalkan. Aku tidak tahan."
"Sudah-sudah kau pulang saja sekarang. Mood mu sedang tidak baik, kau pasti tidak akan bisa melakukan pekerjaan apapun kecuali jika kau ingin mengacau."
"Hm, ya baiklah. Aku akan pulang sekarang," balas Ainsley patuh.
"Oh ya, Ainsley."
"Ada apa, Dad?"
"Kau bersiap-siaplah. Nanti malam kita akan menghadiri makan malam bersama keluarga Hamilton. Putra Hamilton juga akan ikut."
"Apa? Itu tidak mungkin, Dad."
"Itu mungkin, dan akan terjadi nanti malam. Jangan mengecewakan daddy," pinta Freddy.
"Masalah sebesar ini. Apa yang harus aku lakukan?"
***
Sebuah mobil mewah terparkir di halaman restoran. Penumpangnya semua turun. Freddy, Brianna dan Ainsley memasuki restoran dan langsung menuju pada ruang VIP yang sudah dipesan sebagai tempat pertemuannya dengan keluarga Hamilton."Dad, bisakah aku pulang sekarang? Aku sungguh tidak ingin bertemu dengannya. Aku tidak ingin," rengek Ainsley yang sejak awal tidak setuju dan tidak ingin datang."Kau sudah sampai disini dan kau akan pulang? Lagipula apa kau tidak menyayangkan dandananmu yang secantik ini? Sangat jarang kau berdandan cantik seperti ini. Ayolah masuk," bujuk Freddy."Tidak, Dad. Aku tidak akan masuk atau aku mungkin akan mengacaukan makan
"Kau dapat teori itu dari mana?" cibir Ainsley dengan nada cuek."Itu bukan hanya teori saja, tapi bisa dibuktikan. Jika kau tidak mempercayai apa yang aku katakan maka kau boleh tanyakan itu pada ayahmu, atau pada ayahku, hm?" balas Dixon seolah menantang.Ainsley menatap ayahnya dengan lekat."Dad, katakan itu tidak benar," kata Ainsley dengan penuh harap. Menampakkan wajah harap-harap cemas.Freddy menggeleng pelan. "Yang dikatakan Dixon itu benar, Ainsley. Pria yang mengganggu wanita biasanya menganggap wanita itu spesial."
Dixon mengambil tissue untuk membersihkan saus dari ujung bibir Ainsley. Namun tak hanya itu, Dixon terus maju, semakin dekat dan semakin dekat lagi hingga wajah mereka hampir menempel. Dixon memiringkan wajahnya dan entah mengapa Ainsley malah memejamkan matanya. Hal itu membuat Dixon merasa memiliki akses. Namun itu tidak pernah terjadi karena,Plak!Ainsley menampar pipi Dixon dengan sangat kuat. Ainsley merasa sangat puas karena akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menampar Dixon. Ini kesempatan yang sangat langka."Aw, apa yang kau lakukan, Ainsley? Ini sangat sakit," protes Dixon.
Drrtt ... Drrtt ....Ponsel Ainsley berdering saat Ainsley tengah mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Ainsley mematikan dulu hair dryer tersebut lalu mengangkat telepon masuk dari Emily."Hallo, Emily sayang. Ada apa pagi-pagi menelponku?""Ainsley, apa kau ada waktu hari ini? Ayo kita bertemu, aku merindukanmu. Biasanya kita selalu melakukan apapun berdua, tapi sekarang aku hanya melakukan semuanya sendiri saja. Itu sangat membosankan, Ainsley," kata Emily merajuk."Aku bilang juga apa, cepat selesaikan kuliahmu, lalu kau akan menjadi asistenku dan
Freddy mendengarkan nada sambung sambil menunggu telepon terhubung. Namun betapa terkejutnya Freddy ketika dia mendengar suara lelaki sebagai penerima telepon."Hallo," suara laki-laki di seberang sana."Siapa kau?" tanya Freddy dengan perasaan terkejut, takut dan cemas bercampur menjadi satu.Bagaimana jika Ainsley diculik? Bagaimana jika Ainsley dalam bahaya? Pikiran Freddy sudah liar kemana-mana."Paman Freddy, ini aku, Dixon.""Astaga, Dixon. Aku pikir kau adalah seo
"Permisi, ada kiriman bunga untukmu, Nona Ainsley." seorang pelayan datang untuk menyerahkan kiriman bunga mawar merah untuk Ainsley."Bunga? Siapa yang mengirimnya?" tanya Ainsley mengerutkan kening. Sebelumnya dia tidak pernah menerima kiriman bunga dari siapapun."Dari tuan Hamilton. Jika Nona ingin menemuinya dia masih ada disana," jawab pelayan itu."Hamilton?" tanya Ainsley."Maksudnya Dixon?" imbuh Emily.Kemudian Ainsley dan Emily sama-sama mencari keberada
"Apakah sudah masuk pada tahap produksi? Kapan kira-kira produk kita akan launching?" tanya Freddy lagi. "Tahap produksi sudah sampai sekitar 40%. Kita berharap semuanya lancar. Target kita bulan depan sudah akan launching, mungkin pertengahan bulan. Karena sebelum memasarkannya kita harus melakukan uji coba terlebih dahulu, melakukan demo baru kita pasarkan ke masyarakat. Aku membayangkan orang-orang memakai produk kita dan mereka puas sehingga akhirnya mereka ketagihan," jelas Ainsley. "Hm, daddy juga jadi tidak sabar menantikannya," kata Freddy. "Baiklah, sudah malam, kau istirahatlah. Jangan tidur larut-larut malam, itu tidak akan bagus untuk kesehatanmu dan juga kesehatan kulitmu," lanjut Freddy. "Baikl
Ainsley sudah mencoba memejamkan mata tetapi ia tidak bisa. Dia yang tadinya mulai mengantuk jadi tidak mengantuk lagi setelah menerima telepon dari Dixon."Dasar tidak waras! Apa sebenarnya yang dia inginkan? Mengapa dia membuatku terus memikirkannya? Tidak benar, ini tidak benar," lirih Ainsley."Ya Tuhan. Mengapa aku terus terpikirkan dia? Tidak tidak, pergilah dari kepalaku. Kau tahu, aku sangat membencimu. Aku sudah merasa kesal setiap kali aku bertemu denganmu dan sekarang kau mengikutiku sampai kesini, terus membayang-bayangiku. Apa yang kau inginkan, hm? Pergilah! Pergi sana. Aku ingin istirahat." Susah payah Ainsley mengusir bayangan itu namun dia sama sekali tidak berhasil.