Bagiku Lio–nama panggilan Adelio–adalah titik balik di hidupku.
Masih terbayang jelas di benakku ketika dia menatapku dengan sorot mata dingin, jijik, dan... Yah, intinya yang buruk-buruk.
"Aku membencimu!"
Dan kalimat itu juga pasti akan selalu terputar di otakku ketika mendengar namanya. Bagai lagu yang tak sengaja terputar di radio rusak, berulang-ulang hingga aku ingin menghancurkan segalanya.
Lio lah yang membuatku seperti ini. Membenci dan menyalahkan diriku sendiri tanpa sebab. Aku tidak tahu kami akan bertemu di dunia ini.
"Jawab aku! Kau benar Alana kan?" Lio berteriak membuat lamunanku buyar.
Aku beringsut mundur, "Bukan! Aku tidak mengenalmu!"
Lio tampak begitu menyedihkan sekarang. Dia seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu pasti, tapi kelihatannya dia tersesat di dunia ini. Atau dia bukan Lio, melainkan orang lain yang hanya menggunakan visual dirinya?
"Kenapa kau bisa ada di sini? Dimana ini? Kenapa aku tidak mengenal siapapun?!" Lio berteriak frustasi.
Aku tidak mampu berkata apapun. Yang ingin ku lakukan hanyalah pergi sejauh mungkin dari dirinya. Aku tidak ingin melihat wajahnya. Karena melihatnya saja sudah membuatku menderita.
Lio merangkak ke arahku, aku tidak bisa menghindari tangannya yang mencengkram bahuku. Dapat kurasakan, tangannya bergetar. "Jawab aku! Kita ada dimana?!"
"Sudah kubilang aku tidak mengenalmu!" Aku balas berteriak. Aku juga berusaha melepaskan cengkeramannya, tapi sulit karena aku sendiri sudah kehabisan tenaga.
Lio seperti ketakutan, aku juga sama. Tapi yang jelas aku ingin menghindarinya terlebih dahulu.
"Lepaskan aku! Jangan seperti orang gila." Desisku.
"Tentu saja aku gila! Aku tidak tahu dimana aku berada! Aku juga hanya mengenalmu!"
"SUDAH KUKATAKAN AKU TIDAK MENGENALMU!"
Nafasku memburu dengan kepala yang diisi oleh amarah dan ketakutan luar biasa. Tanpa sadar aku membalas Lio dengan berteriak lebih keras dan lebih histeris.
Kulihat Lio menjatuhkan kedua tangannya ke sisi tubuh dengan tatapan putus asa, "Kau..." Lio membasahi bibirnya, air mata pria itu terjatuh, "Tidak mengenalku?"
Disaat aku ingin menjawabnya, kepalaku yang sakit berdenyut semakin kuat membuatku tidak dapat melanjutkan ucapanku. Apa ini efek bangun tiba-tiba? Atau karena stres? Aku tidak tahu, rasanya seperti ingin pecah. Ditambah lagi situasi yang gila serta tak masuk akal, membuatku semakin pusing memikirkannya.
"Setidaknya katakan kalau kau mengenalku. Kumohon..."
Aku memegangi kedua sisi kepalaku yang semakin sakit. Aku tidak dapat lagi mendengar suara Lio, mungkin kalimat itu adalah kalimat terakhir yang dapat kudengar darinya. Aku sudah berusaha untuk fokus padanya, tapi tidak bisa. Kepalaku begitu sakit dan nyeri.
"Alana!"
Aku mendengar suara familiar lain yang memanggil namaku, tapi aku tak mampu menoleh karena sakitnya kepalaku ini. Kulihat Lio sudah tidak sadarkan diri. Aku ingin membangunkannya, tapi tak lama... Semuanya menjadi gelap.
***
“Kenapa dia tidak sadar juga?”
Hm? Suara siapa itu?
“Mana kutahu! Aku menemukannya pingsan bersama seorang lelaki. Dokter masih belum datang untuk menjelaskan.”
Suara itu sepertinya familiar.
“Kalian berdua tenanglah. Biarkan Alana beristirahat dengan tenang!”
Suara wanita?
Aku terus menebak-nebak suara siapa yang sedang beradu mulut itu. Aku ingin membuka mata, tapi rasanya terlalu berat untuk kubuka. Seperti ada lem yang membuat mataku lengket dan sulit untuk dibuka.
Aroma yang tercium di indera penciuman ku adalah aroma obat-obatan. Jadi bisa kutebak kalau aku di rumah sakit kan?
Perlahan tapi pasti, aku membuka mataku. Hal pertama yang menyapa penglihatanku adalah langit-langit berwarna putih. Dan baru kusadari tubuhku itu rasanya nyeri luar biasa. Lebih nyeri daripada tadi pagi. Belum lagi kepalaku yang rasanya seperti ingin pecah.
“Alana? Kau sudah sadar?” Dapat ku dengar nada luar biasa lega dari mulut wanita yang memanggil dirinya ibuku itu.
Adnan dan pria paruh baya itu buru-buru menghampiri ku karena mendengar perkataan si wanita.
“Akhirnya kau sadar juga!” Teriak Adnan, “Kau kemana saja?! Untung saja aku yang menemukanmu! Kalau orang lain mencari kesempatan disaat kau sedang pingsan bagaimana?!”
Aku kaget mendengar pertanyaan dengan nada tinggi itu. Aku sedikit takut mendengarnya. Dan lagi, ternyata Adnan yang menemukan ku. Tentu saja aku bersyukur dan lagi apa yang dia katakan itu benar. Walau cara penyampaiannya kurang enak didengar.
“Benar, nak. Kau kemana saja? Kami semua mencarimu kemana-mana, tapi kami tidak dapat menemukan dirimu dimana pun.” Pria itu menambahkan dengan nada yang sama khawatirnya, tapi tidak membentak.
Jujur...aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ah, rasanya aku ingin menangis lagi.
“Kenapa kau diam saja?! Kami sangat cemas mencarimu dimana-mana!” Suara Adnan kian meninggi dengan wajahnya yang mulai memerah.
Dia sangat marah.
Wanita itu berdiri dan menghadap ke arah Adnan, “Tenangkan lah dirimu. Kita sedang berada di rumah sakit.”
“Tapi dia harus menjelaskannya ibu.”
Pria itu mengangguk, menyetujui ucapan Adnan, “Kakakmu benar, nak. Kemana saja kau?”
Mereka bertiga kini menatapku yang masih terkulai tak berdaya di atas ranjang pasien. Aku seperti didesak untuk mengatakan yang sebenarnya. Dan itu membuatku tertekan.
Apa yang harus kukatakan pada ketiga orang asing ini? Aku sama sekali tidak mengenal mereka dan mereka mengatakan bahwa aku bagian dari keluarga mereka. Aku tahu aku sedang berada di dalam novel! Aku tahu itu! Tapi...
“Apa kau akan tetap diam?” Adnan terus mendesakku untuk menjawab. Dan tatapan menuntut yang mereka tujukan padaku.
Benar-benar... Aku sudah tidak tahan!
“Aku bahkan tidak mengenali kalian!” Nafasku tidak beraturan saat aku mengatakan itu. Aku berusaha untuk duduk dengan susah payah walau aku merasakan sakit luar biasa yang menyelimuti setiap sendi ku, “Kalian tiba-tiba ada di rumahku lalu mengatakan aku adik dan anak kalian. Bagaimana aku tidak kaget?!”
Aku benar-benar tidak dapat menahan semua ini. Bahkan sehari sebelum aku memasuki dunia ini pun aku sedang dalam suasana hati yang buruk. Lalu kalian ingin aku menerima kenyataan gila ini?!
“Aku... Aku tidak tahu apa-apa!” Aku kembali berteriak, suaraku gemetar karena meluapkan emosiku. “Kenapa kalian terus mendesakku?!”
Tubuhku kembali terjatuh ke belakang sangking lemasnya. Orang-orang itu yang tadinya menatapku kaget kini menjadi panik.
Bahkan di kondisi lemas seperti ini pun aku masih terus ingin mengeluarkan apa yang sedang tertimbun di hatiku. Tapi keterbatasan tenaga membuatku tak dapat melakukannya.
“Panggil dokter! Cepat!” Teriak si pria pada Adnan dengan panik. Pria itu memegangi tanganku dengan lembut, “Tenanglah putriku, dokter akan segera memeriksa mu.”
Sementara si wanita, kulihat ia menangis sesegukan sambil mengelus rambutku dengan sayang.
Situasi menjadi lebih kacau karena mereka panik. Padahal aku hanya lemas dan pusing saja, ya tetap saja ini menyakitkan walau tidak perlu seheboh itu.
Dokter memeriksa tubuhku. Wajahnya cukup serius apalagi setelah memegang kepalaku. “Sepertinya kami harus memeriksa putri tuan dan nyonya secara menyeluruh.” Ujar dokter itu dengan serius.
“Ada apa dengan adik saya, dokter?”
“Sepertinya ada sebuah benjolan di kepalanya. Seharusnya penanganan Alana ditangani secepatnya, sebuah keajaiban karena dia tidak koma dan sudah sadar.”
Bagai disambar petir, paman, bibi, dan Adnan membeku. Tak lama mereka mulai menangis. Aku kaget tentu saja, bahkan dokter dan perawat yang ada di ruang inap ini kaget dan berusaha menenangkan mereka.
Astaga... situasinya benar-benar kacau.
***
Dokter mengatakan kalau diriku terkena amnesia retrogade fokal. Singkatnya aku kehilangan ingatanku, tapi tidak kehilangan kemampuanku seperti menulis, berbicara, menggambar, bahkan belajar.
Dokter juga mengatakan kalau tubuhku–maksudku, tubuh Alana di dunia novel ini seperti terkena benturan kuat sehingga bisa menyebabkan amnesia tersebut. Tapi cukup Adnan, paman, dan bibi sama sekali tidak mengetahui hal itu. Yang mereka tahu Alana di dunia ini hanya terkena demam karena hujan-hujanan.
Andai aku membaca buku itu terlebih dahulu, pasti aku mengetahui apa yang terjadi sebenarnya kepada Alana.
“Ada yang ingin kau makan?” Bibi bertanya dengan nada lembut padaku. Paman dan Adnan sedang pulang ke rumah untuk mempersiapkan pakaian kami semua dan juga menitipkan toko pada salah satu sahabat Adnan, karena tidak ada satupun yang mau tidur di rumah. Katanya mereka ingin menemaniku.
Aku hanya mampu menggeleng. Rasanya situasi kami menjadi canggung setelah dokter memvonis ku tadi. Tidak ada yang berbicara kalau tidak ada yang perlu. Mungkin mereka perlu waktu untuk menerima kenyataan. Dapat kulihat, mata mereka memerah akibat menangis.
Entah kenapa, aku malah jadi merasa bersalah.
Tak hanya keluarga Alana dari novel yang membuatku merasa bersalah, wajah pucat Lio sebenarnya dari tadi juga sudah menghantui pikiranku. Aku ingin bertanya, tapi selalu ku urungkan. Kali ini aku harus bertanya. Setidaknya aku hanya ingin memastikan dia ada di rumah sakit dan mendapatkan pertolongan.
"Ehm, bibi,"
Bibi itu langsung menoleh padaku, "Panggil aku ibu. Kita mulai pelan-pelan, ya?"
Aku menipiskan bibirku, biar bagaimanapun tubuh ini tetap anak mereka. Walau berat, aku tidak boleh membuat mereka cemas.
"Ibu boleh saya bertanya?"
"Tentu saja. Dan juga tidak perlu terlalu formal, nak. Santai saja." Lagi, wanita itu tersenyum lembut. Walau aku tahu dia sedang menahan tangisnya mati-matian.
"Kata kak Adnan, aku ditemukan pingsan bersama seorang anak laki-laki. Apa..." Astaga, aku jadi ragu untuk bertanya.
"Tanya saja. Tidak apa-apa."
"Apa dia pingsan juga? Dia ada di sini?"
Bibi mengangguk, "Dia pingsan dan masih belum sadarkan diri."
Aku sedikit terkejut. Jujur, aku sedikit kasihan. Apalagi dia tidak mengenal siapapun.
"Jangan khawatir. Ibu sudah menelepon keluarganya. Tapi nak, bolehkah ibu bertanya?"
Hatiku sedikit lega mendengarnya. Setidaknya Lio di dunia ini memiliki keluarga. "Boleh, bu."
"Siapa dia? Kalian sama-sama pingsan tadi saat ditemukan." Bibi bertanya dengan nada hati-hati, mungkin dia takut aku akan berteriak seperti tadi.
"Aku juga tidak mengenalnya." Aku memilih untuk berbohong, lagipula aku kan didiagnosis amnesia bagaimana bisa aku mengatakan aku mengenalnya?
"Baiklah. Istirahat saja, ya. Jangan terlalu stres, tidak baik untuk kesehatan mu. Kau harus cepat-cepat keluar dari rumah sakit."
Bibi tersenyum sambil menggenggam lembut tanganku, aku pun balas tersenyum.
Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan di dunia ini. Aku takut karena aku tidak mengenal siapa-siapa selain Lio yang situasinya tidak jauh berbeda denganku.
Aku memang kasihan pada Lio, tapi aku akan berusaha menghindarinya. Lagipula dunia ini pasti tidak jauh berbeda dengan dunia ku. Aku akan pastikan kami tidak pernah bertemu lagi!
Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku.Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa."A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa.Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja."Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?""Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar."Maafkan kami, Alana. Kami minta
Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar."Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?!"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan.Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku?Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.
Adnan tidak kembali ke kamar inap ku, bahkan ketika malam sudah berganti menjadi pagi. Apa dia semarah itu kepadaku?Ya, suasana di kamar inap ini semakin sepi tanpa ada dirinya. Karena dia yang selalu mengoceh di antara canggungnya suasana keluarga ini karena aku."Kau bertengkar ya dengan kakakmu?"Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu dari ibu–maksudku bibi, membuatku terkejut. Pantas saja sedari tadi dia menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan dan penasaran, ternyata ada yang ingin dia tanyakan."Tidak, kok!" Elak ku dengan cepat.Ibu, ah maksudku bibi–ini karena aku terbiasa memanggilnya ibu, tapi kalau aku memanggilnya bibi pasti dia akan langsung murung–tersenyum miring, "Kalian bertengkar karena apa?""Kubilang kami tidak bertengkar." Kurasa inilah yang dimaksud dengan insting tajam seorang ibu, meskipun aku bukan an
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia
Aku tidak bisa fokus selama proses pembelajaran. Bukan hanya karena banyak pelajaran yang harus kukejar, tetapi juga Lio yang ternyata sekelas denganku.Helaan nafas panjang kuhembuskan. Cobaan macam apa lagi ini? Tak ku sangka kehidupan ku sebagai Alana dari dalam novel sebercanda ini."Alana? Kenapa kau melamun?"Aku mengerjapkan mataku cepat dan langsung menoleh ke sumber suara, "Ah? Maaf. Kau bilang apa?"Hah... Lagi-lagi aku melamun."Kau ingin makan apa? Biar aku pesankan dan kau yang menjaga meja." Yunna mengulang ucapannya sambil menunjuk pintu kantin.Kami berdua sedang berjalan menuju kantin, karena memang sudah waktunya untuk istirahat pertama."Aku ingin minum jus jeruk saja." Kataku kemudian menyerahkan uang pada Yunna.Yunna mengangguk mengerti, "Baiklah, t