Aku masuk ke toilet di ujung koridor.
Di cermin, aku bisa melihat cairan kuning telur di rambutku, kotor dan menyedihkan.
Teringat ibu yang tadi memarahiku, mataku langsung basah oleh air mata.
Meski aku mengerti, saat itu aku hanya menjalankan tanggung jawabku sebagai seorang dokter anestesi. Kenapa malah jadi melindungi pelaku pembunuhan?
Semakin kupikirkan, aku semakin sedih. Aku mencoba membersihkan cairan telur di rambutku dengan air, tapi setelah mencoba beberapa kali, tetap tercium bau telur.
Tepat saat ini, ponselku berbunyi. Begitu melihat nama di layar, kepalaku makin pusing.
Panggilan dari ibu mertuaku.
Kalau aku tidak salah, dia seharusnya sudah melihat berita, lalu dia sudah tahu dari informannya kalau dokter perempuan yang disensor itu aku.
Namanya bencana tidak akan bisa dihindari. Aku menghirup napas dalam-dalam lalu menekan tombol terima panggilan.
"Dokter perempuan di berita itu kamu?" Terdengar suara ibu mertuaku dari ponsel. "Raisa, apa kamu tahu apa yang kamu lakuk