Pukul sembilan pagi, kami sampai di rumah Gus Azam. Aku tidak menyangka akan kembali ke tempat ini. Beberapa hari yang lalu aku sudah berpamitan untuk pulang, tetapi hari ini takdir berkata lain. Aku datang sebagai menantu, bukan sebagai seorang santri.
“Ayo masuk!” ucap Gus Azam sambil menggandeng tanganku.
Aku sudah turun dari mobil. Bukannya berjalan, aku malah mematung melihat tangan kiriku dipegang oleh suamiku. “Aku gendong kalau kamu nggak bisa jalan.”
Aku menggeleng. “Maaf, aku masih bingung mau ke arah mana.”
“Kamu menantu di rumah ini, Fia. Ayo ikuti aku!”
Aku berjalan sambil menunduk karena pasti akan menjadi perbincangan banyak orang. Aku yakin tidak banyak yang tahu tentang pernikahan kami. Akan ada hari patah hati berjamaah jika para santriwati mengetahui Gus Azam sudah menikah.
Sesampainya di rumah abah, keheningan menyelimuti rumah ini. Abah dan umi pergi ke acara akhirus sannah di pondok pesanten Darul Muttaqin, sedangkan adik-adik Gus Azam tidak ada di rumah.
“K