Siti Shafia ingin melanjutkan kuliah setelah lulus dari pesantren, tetapi kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan meninggalkan banyak hutang. Dia tidak menyangka jika selama ini orang tuanya bekerja dengan susah payah supaya bisa membiayai pendidikannya. Seorang rentenir datang sebelum tujuh hari kematian orang tuanya. Dia harus segera membayar hutang itu atau menjadi istri ketiga rentenir tersebut. Ketika dalam kebimbangannya, tiba-tiba Gus Azam, anak dari Kyai di pondok pesantrennya datang melamarnya. Bagaimana kisah Shafia selanjutnya?
view more“Assalamu’alaikum Fia, kamu dipanggil sama Umi! Katanya ada sesuatu yang harus disampaikan.” Nadia, teman satu kamarku berlari dari rumah Abah. Napasnya tersengal-sengal seperti habis dikejar maling.
Aku mengerutkan kening. “Yang benar saja?” ucapku setelah menjawab salam.Beberapa menit yang lalu, aku baru kembali dari rumah Abah Sya'roni. Kedua orang tuaku datang berkunjung karena sebentar lagi aku akan ujian. Mereka mendoakanku dan memberikan uang untuk melunasi administrasi serta Muwadaah.“Buruan, Fia! Ada mobil polisi di depan rumah Abah.” Nadia menarik tanganku supaya segera lepas dari kitab.“Sebentar, aku rapikan dulu kitabku.”Setiap kali belajar, kitabku selalu berserakan sehingga harus selalu dirapikan agar tidak tercecer dan rusak. Di pondok seperti ini banyak sekali barang-barang yang hilang jika tidak hati-hati menyimpannya.“Mobil polisi? Jangan-jangan ada penjahat, Nad?”“Bukan, aku enggak tahu apa-apa. Buruan, udah ditungguin sama Abah dan Umi.”Segera kuambil jilbab instan yang cukup lebar karena akan bertemu dengan Gus di sana. Aku tidak mau dianggap sebagai santri yang tidak sopan.Aku dan Nadia berjalan dengan langkah panjang menuju kediaman Abah. Tidak biasanya aku dipanggil pada jam malam seperti ini. Apalagi aku adalah santri yang taat. Jarang sekali aku dihukum jika bukan karena tertidur di kelas.“Ada apa, sih, Nad? Tidak biasanya ada rame-rame di rumah Abah. Apalagi malam-malam begini.”“Enggak tahu! Tadi Gus Azam yang ngasih tahu supaya menyuruhmu datang ke sana.”Gus Azam? Beliau adalah anak pertama dari empat bersaudara. Umi Hanifah memiliki empat putra yang berparas rupawan seperti personil boy band Korea BTS. Banyak sekali santriwati yang mengidolakan mereka, termasuk diriku.Abah dan Umi tidak memiliki anak perempuan. Umi menjadi wanita tercantik di rumah itu. Beruntung sekali menjadi wanita yang disayangi lima lelaki sekaligus, suami dan empat anaknya.Kami mengucapkan salam saat sampai di rumah Abah. Beberapa orang berkumpul di dalam. Namun, aku tidak melihat Gus Azam. Hanya kedua adiknya yang terlihat, Gus Anam dan Gus Ahza.“Shafia, sini sama Umi, Nak!” Umi merentangkan tangannya. Aku mengerutkan kening, ada apa ini? Mengapa semua orang menatapku sendu.“Duduk dulu, Fia!” Kini Abah Sya'roni memintaku duduk.Aku duduk ditemani Nadia dan Umi berhadapan dengan Abah dan Dua orang polisi. Mereka terlihat cemas. Hening, suasana semakin mencekam. Hanya terdengar suara rintik hujan gerimis di atas genting.“Saudari Shafia, kami telah menemukan mobil Pak Mujib bertabrakan dengan bus. Mobilnya rusak parah dan—““Dan apa, Pak?” Perasaanku mulai menerka-nerka.“Orang tua Anda meninggal di tempat.” Polisi tersebut melanjutkan.“إنا لله وإنا اليه راجعون"Semua orang mengucapkan kalimat tarji'.Mendadak duniaku runtuh. Aku tidak mempercayai polisi tersebut. “Bapak bercanda. Pasti lagi ngeprank saya, ‘kan?”Aku berdiri menegakkan tubuh. “Tidak mungkin ini terjadi, Pak! Abah, tolong usir polisi itu. Mereka pasti berbohong.”Air mata ini sudah tidak bisa kubendung. Allah pasti sedang mengajakku bercanda. Baru setengah jam yang lalu Ayah dan Ibu pulang dari tempat ini.“Fia, yang tabah, Nak! Semua ini ujian.” Umi Hanifah mulai menitikkan air mata.“Tidak mungkin, Umi! Mereka baru saja menjengukku. Mereka bilang akan menghadiri muwadaah bulan depan. Ini semua pasti bohongan. Ini mimpi, Umi. Iya ini pasti hanya mimpi.”Umi Hanifah semakin memelukku erat, “Shafia, ini nyata, Nak. Orang tuamu sudah pergi.”Aku melepaskan pelukan Umi kemudian menampar pipiku, tetapi yang kurasakan adalah panas dan perih. Ini nyata. Aku tidak sedang bermimpi. “Pipiku sakit, Umi. Ini bukan mimpi.”Aku hendak memukul pipiku yang sebelah, tetapi Umi menahannya. “Jangan lakukan itu, Fia! Kamu harus ikhlas. Semua ini sudah takdirnya.”Ya Allah, mengapa Kau ambil orang tuaku secepat ini? Aku bahkan belum bisa membahagiakan mereka. Aku belum bisa menjadi anak yang berbakti.Aku menangis tergugu di pelukan Umi karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Siapa yang akan membiayai kuliahku nanti? Aku tidak pernah hidup sendiri dan belum siap dipaksa menjadi mandiri. Selama ini aku masih bergantung kepada orang tua. Inikah tujuan orang tuaku memasukkanku ke pesantren?“Shafia! Istighfar, Nak. Doakan mereka supaya tenang.” Abah Sya'roni angkat bicara.“Maaf, Pak. Kami permisi dulu. Kedua jenazah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Setelah itu kami akan menyerahkannya kembali ke pihak keluarga. Adakah pihak keluarga lain selain anak dari Bapak Mujib yang bisa ikut kami?” tanya polisi tersebut, tetapi akuu menggeleng.Ayah sama sepertiku. Dia anak tunggal, sedangkan kakek dan nenek sudah tiada. Keluarga yang tersisa tinggal kakek dan nenek dari Ibu.“Saya ikut, Pak. Saya ingin melihat orang tua saya.” Aku berdiri hendak ikut, tetapi Umi dan Nadia mencegah.“Biar Abah yang pergi dengan Azam. Kamu di sini dulu, Fia. Kita akan ke rumahmu bersama-sama.” Umi Hanifah kembali memelukku.Tubuhku rasanya lemas. Aku tidak memiliki semangat hidup lagi. Mereka telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.“Shafia, kamu yang sabar! Doakan mereka semoga husnul khotimah.” Nadia mengusap bahuku.“Nadia, aku tidak punya siapa-siapa lagi, sudah tidak akan ada lagi orang yang mengirimkan makanan untuk kita.” Nadia memelukku erat.“Kamu masih punya aku, Fia. Kita bisa melewati ini semua. Aku yakin kamu gadis yang kuat. Kamu pasti bisa!” ucap Nadia menyemangatiku.Aku menggeleng. “Aku tidak sekuat itu, Nad.”Rintik hujan berubah menjadi semakin deras setelah kepergian dua polisi tersebut. Mataku menatap kosong ke arah luar. Aku ingin berlari dan menangis bersama hujan supaya tidak ada yang melihat betapa hancurnya perasaanku.Perlahan aku berdiri. Entah mendapat kekuatan dari mana, aku memelesat keluar rumah hingga tetes air hujan membasahi tubuh. Sayup terdengar suara umi dan teriakan Nadia memanggil namaku. Namun, separuh hatiku seperti luruh bersama derasnya hujan. Bumi muram, semuram jiwaku yang kehilangan dua malaikat takbersayap.“Shafia, tunggu!” Aku tidak menghiraukan teriakan Umi.“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments