Siti Shafia ingin melanjutkan kuliah setelah lulus dari pesantren, tetapi kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan meninggalkan banyak hutang. Dia tidak menyangka jika selama ini orang tuanya bekerja dengan susah payah supaya bisa membiayai pendidikannya. Seorang rentenir datang sebelum tujuh hari kematian orang tuanya. Dia harus segera membayar hutang itu atau menjadi istri ketiga rentenir tersebut. Ketika dalam kebimbangannya, tiba-tiba Gus Azam, anak dari Kyai di pondok pesantrennya datang melamarnya. Bagaimana kisah Shafia selanjutnya?
Lihat lebih banyak“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat
Saat semua orang sudah pergi, kini tinggal aku dengan Ustazah Layla yang di kamar. Meyda baru saja tertidur di pangkuan Ustazah Layla. “Maafkan aku, Fia. Selama ini aku salah.” Aku berhenti merapikan kasur mendengar ucapan Ustazah Layla. “Aku terlalu egois karena berpikir kedekatanku dengan Azam itu spesial. Ternyata dia hanya menganggapku teman biasa. Aku memang terlalu percaya diri.” Ustazah Layla terkekeh, tetapi bisa kulihat tersirat sedikit kesedihan di sana. “Kamu tahu, Fia? Aku bisa merasakan jika Azam benar-benar mencintaimu. Tatapan matanya saat bersamamu berbeda sekali. Dia terlihat sangat bahagia. Aku semakin sadar jika memang tidak ada cinta untukku. Karena itulah aku mencoba menerima Anam. Em, maksudku Mas Anam.” “Alhamdulillah.” Karena sangking bahagianya, kupeluk Ustazah Layla setelah meletakkan Meyda di tempat tidur. “Makasih banyak, Ustazah. Kehadiranmu dalam rumah tangga kami mungkin menjadi salah satu cobaan dari Allah, tetapi sekarang semua sudah berakhir, adik i
Hari ini kami akan kembali ke rumah. Tanpa terasa sudah sepuluh hari kami tinggal di rumah Abah. Gus Azam sudah pulih dan selesai kontrol tiga hari yang lalu. Operasi kemarin berhasil dan sukses. Insya Allah Gus Azam sudah sehat seperti sedia kala. Hanya saja luka bekas operasi terkadang masih terasa gatal. Saat kami hendak sarapan, Gus Anam dan Ustazah Layla sudah duduk di meja makan. Beberapa hari ini kami selalu sarapan bersama. Ternyata istri dari adik iparku itu pandai memasak. Pantas saja banyak yang menginginkannya menjadi menantu, tak terkecuali Ibu Mertuaku. Ustazah Layla adalah gadis berpendidikan, cerdas, salihah, dan pandai memasak. Namun, aku tidak tahu kenapa Gus Azam tidak meliriknya sama sekali. Semenjak kami tinggal bersama, aku tidak pernah melihat gerak-geriknya yang mencurigakan. Dia selalu bersama suaminya. Entah pencitraan atau memang dia sudah berubah. Adik iparku bilang jika istrinya sudah jinak. Pernah suatu ketika aku menghampirinya saat masak bersama Mbak
“Apa yang membuatmu tidak tenang, Fia? Bukankah sudah kukatakan aku hanya mencintaimu. Dia itu temanku, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Kamu tidak perlu cemburu dengannya.”Sudah beberapa kali Gus Azam mengatakan hal itu, tetapi beberapa fakta yang muncul membuatku selalu berburuk sangka padanya. “Sekarang dia menjadi adik iparmu, Mas. Kita akan tinggal serumah dengannya.”“Dia sudah menikah, Fia. Wanita yang sudah menikah akan menjaga Marwah (kehormatan diri) terhadap lelaki lain. Dia itu wanita berpendidikan, kamu tenang saja. Mas tahu yang kamu khawatirkan.”Aku menarik napas panjang. Apakah wajahku memperlihatkan isi hati dan pikiranku? Kenapa Gus Azam bisa menebak semuanya? Apa jangan-jangan suamiku ini dukun?Tuk!Suamiku menyentil keningku. “Sakit, Mas! Em, aku boleh tanya sesuatu? Ini tentang Mas dan Ustazah Layla.”Entah mengapa aku tidak pernah bisa mengerem mulutku. Aku tidak bisa lama-lama berbohong dan menyembunyikan sesuatu. Semua akan terasa berat dan
“Satu jam lagi, Ibu. Itu sudah sesuai dengan dosis yang diberikan.”Dokter Nathan mengatakan aku tidak perlu khawatir. Mungkin sekarang Gus Azam sudah mulai bisa mendengar, tetapi belum sepenuhnya sadar. Hingga azan Asar berkumandang, aku terbangun kala kurasakan sebuah sentuhan di kepalaku. “Mas Azam? Alhamdulillah Engkau berikan kesadaran pada suamiku, ya Allah.” Suamiku tersenyum meski wajahnya terlihat masih pucat. Dia mengelus kepalaku yang berbalut jilbab. Entah sejak kapan aku tertidur dan di belakang tidak ada Meyda maupun Abah dan Umi. Melihat kebingunganku, Gus Azam berbicara. “Aku meminta Umi dan Abah pulang. Kasihan Meyda harus berlama-lama di rumah sakit. Rumah sakit itu bukan tempat yang baik untuknya.”“Sejak kapan Mas Azam sadar?”“Cukup lama, semenjak ilermu masih menetes di tanganku,” ucapnya sambil tersenyum. Aku melihat ke tempat di mana aku menyandarkan kepala ketika tertidur, ternyata benar ada bekas iler di sana. Rasanya aku ingin bersembunyi di bawah branka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.