Aku Padamu, Gus!

Aku Padamu, Gus!

Oleh:  Shofie Widdianto  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
31 Peringkat
128Bab
49.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Siti Shafia ingin melanjutkan kuliah setelah lulus dari pesantren, tetapi kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan meninggalkan banyak hutang. Dia tidak menyangka jika selama ini orang tuanya bekerja dengan susah payah supaya bisa membiayai pendidikannya. Seorang rentenir datang sebelum tujuh hari kematian orang tuanya. Dia harus segera membayar hutang itu atau menjadi istri ketiga rentenir tersebut. Ketika dalam kebimbangannya, tiba-tiba Gus Azam, anak dari Kyai di pondok pesantrennya datang melamarnya. Bagaimana kisah Shafia selanjutnya?

Lihat lebih banyak
Aku Padamu, Gus! Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Intan Ayu
mobil siapa yang berhenti didekat fia? apakah mobil milik rozaq atau...
2024-04-06 06:02:43
0
user avatar
Kiki Sulandari
Semoga rencana pakde untuk mengecoh Pak Rozak berhasil
2023-12-30 02:41:07
1
user avatar
Kiki Sulandari
Sabarlah Shofia.....pasti akan ada jalan keluar untuk setiap masalah
2023-12-30 02:31:34
0
user avatar
Kiki Sulandari
Sofia,berhati hatikah dalam mengambil keputusan,Rozaq sangat licik....
2023-12-25 02:21:53
0
user avatar
Kiki Sulandari
Haruskah Shafia menikah dengan lelaki bernama Rozak demi melunasi hutang ayahnya?
2023-06-01 17:18:20
0
user avatar
Kiki Sulandari
Kenangan Shafia tentang mendiang ayahnya muncul kembali ketika melihat Gus Azam mengenakan sarung milik sang ayah.........
2023-05-28 01:32:56
0
user avatar
Kiki Sulandari
Bagaimana perasaan Shafia saat bertatapan dengan Gus Azam?....
2023-05-28 01:22:41
0
user avatar
Kiki Sulandari
Nenek Shafia meminta Shafia untuk menikah setelah lulus pesantren Apakah Shafia bersedia? Bagaimana dengan cita cita & keinginan Shafia?
2023-05-28 01:15:30
0
user avatar
Kiki Sulandari
Shafia berusaha tegar
2023-05-28 01:07:56
0
user avatar
Kiki Sulandari
Orang tua Shafia telah memberikan pesan terakhir pada Shafia,saat terakhir kali berkunjung ke pesantren....
2023-05-28 01:01:16
0
user avatar
Kiki Sulandari
Perasaan sedih & pilu membuat Shafia menangis hingga pingsan
2023-05-27 23:06:48
0
user avatar
Kiki Sulandari
Malangnya Shafia..... Bagaimana dengan hidupnya kelak?
2023-05-27 23:00:19
0
user avatar
Nurfa
sukses selalu kak ...
2023-05-21 22:40:27
0
user avatar
Nurfa
mampir sini ...
2023-04-10 21:10:19
3
default avatar
Amanda Olin
Ga sabar baca lanjutannya. Cuma novel ini dan Istri Pilihan sang Pewarisnya Kak Qeqe yang aku tunggu-tunggu.
2023-02-09 12:10:32
2
  • 1
  • 2
  • 3
128 Bab
Berita Mengejutkan
“Assalamu’alaikum Fia, kamu dipanggil sama Umi! Katanya ada sesuatu yang harus disampaikan.” Nadia, teman satu kamarku berlari dari rumah Abah. Napasnya tersengal-sengal seperti habis dikejar maling. Aku mengerutkan kening. “Yang benar saja?” ucapku setelah menjawab salam. Beberapa menit yang lalu, aku baru kembali dari rumah Abah Sya'roni. Kedua orang tuaku datang berkunjung karena sebentar lagi aku akan ujian. Mereka mendoakanku dan memberikan uang untuk melunasi administrasi serta Muwadaah. “Buruan, Fia! Ada mobil polisi di depan rumah Abah.” Nadia menarik tanganku supaya segera lepas dari kitab. “Sebentar, aku rapikan dulu kitabku.” Setiap kali belajar, kitabku selalu berserakan sehingga harus selalu dirapikan agar tidak tercecer dan rusak. Di pondok seperti ini banyak sekali barang-barang yang hilang jika tidak hati-hati menyimpannya. “Mobil polisi? Jangan-jangan ada penjahat, Nad?” “Bukan, aku enggak tahu apa-apa. Buruan, udah ditungguin sama Abah dan Umi.” Segera kuambi
Baca selengkapnya
Hujan
“Tunggu, Shafia!”Nadia ingin mengejarku, tetapi Umi mencegahnya. "Biarkan dia, Nad. Shafia butuh waktu untuk sendiri."Hujan malam ini sangat deras seolah mengerti akan kesedihanku. Petir menyambar-nyambar seolah ikut marah. "Mengapa Engkau berikan takdir seperti ini untukku ya Allah? Apa salahku?"Aku berlari tanpa alas kaki, berhambur bersama dinginnya air hujan. Berteriak sekencang-kencangnya melepaskan semua sesak di dada.“Ayah ... Ibu! Jangan tinggalkan aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.”Aku tertunduk lemas, kujatuhkan lutut di tanah berbatuan. Sakit, tetapi lebih sakit hatiku. Lututku terasa perih hingga membuatku meringis.Bebatuan dan rumput jepang mendominasi halaman rumah Abah. Tidak ada jalan paving di rumah ini, semuanya masih sangat tradisional. Bunga-bunga indah milik Umi turut menyaksikan betapa hancurnya perasaanku.Suara petir menggelegar seolah mengancamku supaya diam. Aku memegang kedua bahu, memeluk tubuhku sendiri. Masih kurasakan hangatnya se
Baca selengkapnya
Ini Bukan Mimpi
“Masya Allah, anak Ibu sudah besar.” Ibu memelukku erat saat kami bertemu. Beliau sampai menangis, padahal Ibu dan Ayah selalu mengunjungiku setiap satu bulan sekali.“Alhamdulillah, Bu. Sebentar lagi Shafia lulus,” ucapku kemudian mencium punggung tangan Ayah dan Ibu bergantian.Aku tinggal di pondok pesantren Al Falah semenjak lulus SD karena orang tuaku ingin aku menjadi anak yang mandiri saat dewasa nanti. Sebagai anak tunggal, mereka selalu memanjakanku dari kecil. Semua keinginanku selalu terpenuhi, hingga akhirnya mereka memasukkanku ke pesantren.Aku merasa mereka sudah tidak sayang lagi padaku karena membuangku ke pesantren. Namun, setelah sampai di detik ini membuatku sadar betapa sayangnya mereka kepadaku. “Gimana ujian kitabnya? Lancar?” tanya Ayah. “Alhamdulillah lancar, Yah. Semua berkat doa dan dukungan dari Ayah dan Ibu.”Kami berbincang cukup lama malam ini seolah esok sudah tidak bertemu lagi. Ibu membawakanku banyak makanan. Sebagian untuk Abah dan sebagian bisa k
Baca selengkapnya
Aku Tidak Setegar Itu
Aku meracau dan berteriak sekencang-kencangnya. Kulempar semua benda yang ada di dekatku. Bantal, guling, dan selimut sudah tidak ada di tempatnya lagi. “Fia, yang sabar, Nak!” Bude Yuli mendekat. Dia adalah kakak pertama Ibuku. “Ayo keluar, kita doakan orang tuamu bersama-sama.”“Fia, ikhlaskan mereka, Sayang.” Umi Hanifah memeluk dan mengelus rambutku. “Pakai jilbabmu, kita keluar bersama-sama. Orang tuamu sudah disucikan.”Bude Siti mengambil jilbab dari almari pakaianku. Kuikat asal rambut dengan karet gelang yang masih bertengger di tangan. Namun, talinya putus hingga membuatku semakin frustrasi. Ibu pernah mengajarkanku menggelung rambut, tetapi selalu gagal karena rambutku kurang panjang. Kini rambutku panjangnya sudah sepinggul, tetapi sudah tidak ada lagi Ibu yang akan membantu. Aku mengacak rambut dengan kasar. “Sini Umi bantu, Fia.” Aku berhenti menangis kala Umi memegang rambutku. Umi menyisir rambutku dengan jari kemudian menggelungnya. Aku memegang rambutku, bentukny
Baca selengkapnya
Ada yang Berbeda
“Astaghfirullah, Fia. Maaf Nenek mengagetkanmu.” Wanita yang rambutnya sudah didominasi oleh rambut putih itu mendekat. Dia tampak khawatir melihat jari telunjukku berdarah.“Nggak apa-apa, Nek. Ini hanya luka kecil. Aku punya plester di kamar.”“Sudah malam, Fia. Kamu harus istirahat. Kalau kamu kecapekan, nanti malah jadi sakit.” Nenek menuntunku ke kamar dan meminta untuk segera mengobati luka di jariku.“Nenek temenin Fia tidur, ya! Fia masih keinget sama Ayah dan Ibu.”“Tidurlah, Nenek mau bicara sama Kakek dulu. Nanti Nenek temani tidur.”“Nenek boleh pergi, tetapi nunggu aku dah tidur, ya!” Aku bukannya takut tidur sendiri, tetapi setiap kali mengingat Ayah dan Ibu rasanya aku tidak sanggup menahan air mata. Bukannya tidur, yang ada aku bakal menangis terus. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Kehilangan orang tua secara tiba-tiba membuatku belum siap untuk melakukan semuanya sendirian. “Baiklah, Nenek akan menemanimu lebih dahulu.”“Makasih, Nek!” Kutarik selimut hingga me
Baca selengkapnya
Gadis Rumah Tangga
“Lebih baik kamu menikah dan melanjutkan usaha orang tuamu. Hidup di desa itu keras, Nak. Apalagi kamu bakal tinggal sendirian di rumah. Nenek khawatir kamu menjadi gunjingan orang.”Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Nek. Aku akan tetap melanjutkan kuliah. Entah bagaimana caranya. Bukankah nenek sendiri yang bilang aku harus bisa menjadi kebanggaan orang tuaku?”Nenek terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ada hal yang disembunyikan dariku?“Aku bisa berjualan sambil kuliah, Nek. Aku masih bisa menjalankan usaha Ayah dan Ibu tanpa harus berhenti sekolah.”“Tapi, Fia! Ada hal yang tidak kamu ketahui selama kamu tinggal di pondok.”Hal yang tidak kuketahui? Tentu banyak sekali. Aku bahkan tidak mengetahui apa saja isi toko Ibu sekarang ini. Terakhir mereka mengatakan mengalami penurunan penghasilan saat wabah Covid-19 melanda. Lalu, sekarang harga minyak goreng dan telur ayam naiknya selangit. Selama ini aku tidak pernah memikirkannya. Aku memang egois, yang terpenti
Baca selengkapnya
Doa Bersama
“Bismillahirohmaanirrohiim.” Gus Azam mulai memimpin doa tanpa ragu. Beruntung sekali diriku. Akhirnya aku bisa selamat dari pertanyaan Umi. Semua orang menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Namun, mataku tak lepas dari Gus Anam. Sayangnya dia terhalang oleh Gus Azam. Baru kali ini aku mendengar suara Gus Azam. Dia membaca tahlil dengan fasih. Tanpa sadar aku memandangnya terus menerus. ‘Ya Allah, mengapa rasanya hatiku bergetar mendengar suaranya? Sepertinya aku lapar karena belum sarapan.’ Waktu bergerak seiring berputarnya jarum jam. Tanpa terasa Gus Azam telah selesai memimpin doa. “Fia, kami pamit dulu, ya!” Umi Hanifah berpamitan. “Mohon maaf apabila kehadiran kami merepotkan nenek dan kakeknya Shafia.” “Tidak, Umi. Kami malah merasa senang karena Umi dan keluarga bersama teman-teman Fia mau datang ke sini. Kami mengucapkan terima kasih banyak.” Nenek mengucapkan terima kasih kemudian bersalaman dengan Umi. Teman-temanku juga berpamitan untuk segera kembali ke pond
Baca selengkapnya
Rahasia Besar
“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini. Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput. Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing. “Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek. “Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. A
Baca selengkapnya
Lelaki Bau Tanah
“Menikahlah denganku!” ucap Pak Rozaq percaya diri. “Jangan mimpi! Anda bukan selera saya. Usia saya masih terlalu muda untuk menikah.” Lelaki itu bergeming. Apa kata dunia jika aku menikah dengan lelaki tua sepertinya? Mau dikemanakan Gus Anam?Cita-citaku masih tinggi. Aku tidak akan menikah muda, apalagi dengan tua bangka seperti itu. Masih banyak hal yang harus kuperjuangkan. Aku ingin menjadikan masa mudaku bermanfaat, tidak hanya untukku sendiri, tetapi juga untuk orang lain. “Aku akan menganggap lunas semua hutang ayahmu. Hidupmu akan terjamin. Aku akan membuatkan rumah untukmu jika mau menjadi istriku yang ketiga,” ucapnya sambil tersenyum meremehkan. Istri ketiga? Aku menggeleng. Bahkan menjadi istri pertamanya pun aku tak sudi. “Mujib pasti bangga memiliki anak yang berbakti sepertimu.” Dia berjalan mendekat dan hendak menyentuh daguku, tetapi aku lekas menghindar. Selama ini Ayah dan Ibu mendidik dan menjagaku dengan baik, bahkan sampai memasukkanku ke pesantren. Aku
Baca selengkapnya
Kesepakatan
“Saya minta sedikit waktu kelonggaran, insya Allah saya bisa melunasi semua hutang ayah.” Aku masih punya Allah. Hanya kepada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. “Fia!” Pakde dan bude menggeleng. “Satu minggu. Senin depan kamu harus datang ke rumah saya membawa uang atau memakai gaun pengantin yang sudah saya siapkan,” ujar Pak Rozaq.“Gila!” Pakde Irul menonjok muka Pak Rozaq. “Satu minggu lagi Fia masih di pondok. Beri kami waktu tiga bulan.”“Dua minggu.” Ucapan Pak Rozaq mendapat sebuah tonjokan lagi dari pakde. “Satu bulan!” ujar Pakde. Itu bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan kalimat perintah. “Satu lagi. Jangan pernah kembali ke sini! Kami yang akan datang ke rumahmu.”Lelaki tua itu mengangkat kedua tangannya. Menunjukkan bahwa dia sudah menyerah. Syukurlah Pakde Irul berhasil mengusir dan mengulur waktu kepada lelaki itu. Kami semua kembali masuk rumah. Bude, Pakde, Kakek, dan Nenek tidak jadi pulang sore ini. Hingga azan Magrib tiba, semuanya masih diam dalam
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status