“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba umi masuk bersama Gus Anam.
Aku dan suamiku menjawab salam bersamaan. Mereka tersenyum menatap kami hingga membuat wajahku memerah.
“Alhamdulillah kalian sudah bangun. Umi ada kabar baik,” ucap umi antusias.
“Alhamdulillah, kabar apa, Umi? Azam sudah boleh pulang?” tanya suamiku.
“Bukan! Dasar pengantin baru, udah nggak sabar bulan madu kayaknya,” ujar Gus Anam sambil melirik tangan kami.
Bahkan aku tidak sadar jika sedari tadi tangan kami masih berpegangan. Aku ingin melepasnya, tetapi Gus Azam tidak mau. Dia malah membawa tanganku ke wajahnya. Diusapkannya telapak tanganku di pipinya.
“Makanya buruan nikah. Nyesel kamu kalau kelamaan. Nikah itu enak, Nam.” Ucapan suamiku membuatku ingin menyembunyikan wajah di bawah brankar. Rasanya aku sangat malu.
“Dih!” Gus Anam mencebik kesal. Ternyata dia juga menginap di rumah sakit ini, tetapi umi bilang Gus Anam tidur di luar membawa selimut karena di ruangan ini ada aku.
“Sudah, sudah! Tadi abah bilang