Selena memeluk lututnya erat, air mata terus mengalir tanpa henti. Rasa dingin dan lembap di ruang bawah tanah itu seperti menjadi perwujudan nasibnya yang suram. Dia tak henti-hentinya menangis, memikirkan bagaimana hidupnya berubah begitu drastis dalam sekejap.
"Nyonya... kenapa ini terjadi pada saya? Kenapa mereka tidak percaya?" isaknya, suaranya terdengar lirih, nyaris tenggelam dalam gemuruh keheningan. Dia masih bisa mengingat dengan jelas malam itu—sosok wanita misterius yang melompat dari jendela kamar Nyonya Arlena. "Itu bukan saya... itu dia!" Selena berbisik, hampir berteriak, namun suaranya hanya bergema di dinding dingin penjaranya. Rasa takut terus menggerogotinya, tapi lebih besar dari rasa takut itu adalah kesedihannya. Selena merindukan Nyonya Arlena yang selama ini memperlakukannya seperti keluarga. Senyum lembut Nyonya, perhatian kecilnya, hingga cara dia memanggil Selena dengan suara hangatnya. Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Namun kini, orang yang dia hormati itu telah tiada, dan dirinya yang dituduh sebagai pembunuh. Luka itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan hukuman yang dia terima. "Aku harus mencari cara," gumam Selena di antara isaknya. "Aku harus menjelaskan ini pada Tuan Kael, meskipun percuma. Dia keras kepala, dia tidak akan mendengar... tapi aku tidak bisa tinggal diam." Kepalanya menunduk lemas. Dia tahu Kael tidak akan mempercayainya. Mata pria itu begitu penuh dengan kebencian setiap kali menatapnya, seolah dia adalah perwujudan dari dosa itu sendiri. "Tapi siapa dia? Wanita itu... kenapa dia melompat? Apa dia punya masalah dengan Nyonya?" pikir Selena. Bayangan sosok yang melompat itu terus menghantui pikirannya. Dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas malam itu, hanya pakaian gelap yang melayang sebelum menghilang ke dalam kegelapan. Selena mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku harus bertahan. Jika aku menyerah sekarang, tidak akan ada yang tahu kebenarannya." Namun, begitu pandangannya tertuju pada pintu besi besar di depannya, semangat itu kembali meredup. Hidup di ruang bawah tanah ini adalah hukuman yang tak terbayangkan. Tak ada kebebasan, tak ada udara segar, hanya dinding batu dan kegelapan. "Berapa lama aku bisa bertahan di sini?" bisiknya, air matanya kembali mengalir. "Tuhan, tolong beri aku kekuatan..." Di tengah keputusasaannya, sebuah tekad perlahan muncul. Jika dia tidak bisa mengubah pikiran Kael, maka dia harus mencari bukti. Dia harus menemukan cara untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun itu berarti mempertaruhkan segalanya. Namun, di mana dia harus memulai? Satu-satunya yang dia tahu hanyalah sosok wanita itu, dan itu pun hanya bayangan samar di tengah kegelapan. Selena memejamkan mata, berdoa agar keadilan suatu saat berpihak kepadanya. Tapi untuk saat ini, dia hanya bisa menangis dalam kesendirian, merenungi hidupnya yang kini tak lebih dari bayangan suram. Namun Selena tetap berusaha mencoba,dia pun menggedor pintu berharap para penjaga bisa mendengarnya. Dar! Dar! Dar! "Hei! Tolong buka pintunya! Berikan aku kesempatan sekali lagi untuk bicara pada Tuan Kael." Namun tak ada jawaban dari luar.Selena pun kembali berteriak dengan nada sangat keras. "HEII!! KALIAN TULI? BIARKAN AKU BICARA!!" ucap Selena penuh emosi. Tak lama kemudian pintu terbuka,sesosok wajah tampan dengan tatapan membunuh hadir di depannya.Selena mun sangat kaget dia perlahan mundur dan tak berani berbicara. "Apa kamu sudah bosan hidup?" Selena hanya menggeleng ketakutan,rupanya Tuan Kael masih berada di luar.Selena pun ditimpa rasa ketakutan yang begitu dalam. Kael berdiri di ambang pintu dengan tubuh tegap, tatapannya menusuk seperti belati yang siap menancap kapan saja. Wajahnya tegas, namun aura marah yang memancar darinya membuat Selena tercekat. "Ada apa?!"suara Kael rendah, tapi tegas, seperti petir yang bergemuruh di udara. Selena menggeleng cepat, tubuhnya gemetar. Dia mundur selangkah, mencoba menjauh dari pria yang kini berdiri di hadapannya seperti seorang hakim yang siap menjatuhkan vonis. Tapi dinding dingin di belakangnya menghentikan langkahnya. "Kalau begitu, kenapa berteriak seperti orang gila?" lanjut Kael, matanya menatap tajam ke arah Selena. "T-Tuan Kael... saya hanya ingin bicara," suara Selena nyaris berbisik, namun terdengar jelas di antara keheningan ruang bawah tanah itu. Kael mendekat, jaraknya hanya beberapa inci dari wajah Selena. "Bicara? Untuk apa? Supaya kamu bisa membuat alasan lain? Supaya kamu bisa meyakinkan aku bahwa kamu tidak bersalah? Setelah apa yang kamu lakukan pada Arlena?" "Saya tidak melakukannya! Saya tidak membunuh Nyonya Arlena!" Selena akhirnya bersuara, keberanian kecil dalam dirinya muncul meskipun tubuhnya gemetar hebat. Kael tertawa sinis. "Kamu pikir aku akan percaya? Kamu ada di sana, Selena. Tidak ada orang lain. Aku menemukanmu di kamar itu, berdiri di dekat tubuhnya yang tidak bernyawa!" Air mata Selena mengalir deras. "Tuan Kael, saya tahu itu terlihat seperti saya pelakunya, tapi saya melihat seseorang! Seseorang melompat dari jendela! Ada orang lain di sana! Saya bukan pembunuhnya!" Kael mendengus, melipat tangannya di dada. "Orang lain? Lalu kenapa kamu tidak mengejarnya? Kenapa kamu tidak berteriak saat itu juga?" Selena terdiam. Saat itu, dia memang terlalu kaget dan panik untuk melakukan apa pun. Namun sekarang, dia tahu bahwa diamnya malam itu membuat semuanya tampak seperti kesalahannya. "Saya... saya terlalu takut," jawab Selena dengan suara lemah. Kael mendekatkan wajahnya ke arah Selena, suaranya berubah dingin. "Takut? Kamu pikir aku peduli dengan rasa takutmu? Arlena mati, Selena. Dia istriku. Satu-satunya yang aku cintai. Dan kamu... kamu menghancurkannya." Selena menggigit bibir, mencoba menahan tangis. "Tuan Kael, tolong beri saya waktu. Saya akan membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Saya akan mencari tahu siapa orang itu!" Kael memandang Selena lama, matanya seperti mencoba menembus kebohongan yang mungkin ada di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat, dia melangkah mundur. "Waktu? Kamu ingin waktu? Baiklah, Selena. Aku akan memberimu waktu,"kata Kael dingin. "Tapi jika kamu gagal membuktikan apa pun, aku sendiri yang akan memastikan hidupmu berakhir di sini." "Tunggu! Anda bilang akan memberiku waktu untuk mencari bukti,jadi tolong keluarkan aku dari tempat jelek ini." Tuan Kael berbalik dan tersenyum sinis, "Enak saja.Aku tidak bilang kalau kamu boleh pergi dari tempat ini,kamu boleh mencari bukti tapi tempatmu tetap disini." "Tapi Tuan.." "Sudah cukup! Aku malas berdebat denganmu." "Tapi Tuan bagaimana caranya? aku kan harus mencari bukti dan orang itu berada diluar sedangkan aku hanya berdiri disini." Tuan Kael terdiam. "Besok lagi kita bicara." Selena terperangah mendengar jawaban dingin Kael. Ia menatap pria itu dengan mata memohon, tapi hanya mendapat balasan berupa tatapan datar. "Tuan Kael! Tolong dengarkan saya. Bagaimana saya bisa membuktikan kebenaran jika saya tidak bisa keluar dari tempat ini?" Selena mencoba sekali lagi, suaranya serak karena kelelahan dan frustasi. Kael berhenti di ambang pintu, punggungnya masih menghadap Selena. Dia terdiam sejenak, lalu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab tanpa menoleh. "Itu masalahmu, bukan masalahku. Buktikan kebenaranmu dengan cara yang kamu bisa dari sini." "Tapi—" Kael mengangkat tangan, menghentikan protes Selena. "Sudah! Aku malas dengar ocehanmu lagi. Besok kita bicara. Sekarang aku lelah." Pintu besi ditutup dengan bunyi dentingan keras yang bergema di ruangan itu. Selena berdiri membeku, napasnya terengah-engah karena emosi yang tak tertahankan. Ia mengepalkan tangan, rasa frustrasi dan marah bercampur menjadi satu.