“Ayo dimakan, nggak usah sungkan,” ujar Arana mempersilakan Sinar yang tampak kikuk di meja makan. “Lauknya seadanya, ya. Tapi, moga cocok di lidah.”
Sinar mengangguk pelan, membalas senyum Arana meski masih canggung. Tangannya bergerak ragu mengambil sendok, sementara matanya menatap lauk-pauk yang tersaji di atas meja. Ada ayam goreng, tempe goreng tepung, sayur asem, dan sambal terasi yang tampak menggoda.
Masakan rumah yang sederhana, tetapi sanggup membuat perut Sinar tiba-tiba lapar dan mengingat mendiang bundanya sekaligus.
“Kelihatannya enak semua, kok, Tan,” ucap Sinar pelan.
Sejak tahu bahwa Elo membawanya ke rumah orang tua pria itu, Sinar belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan. Ia syok. Bukan karena takut, tetapi lebih ke arah bingung dengan semua yang terjadi.
Kenapa pria itu harus membawanya? Apa maksud Elo sebenarnya?
“Sama ... kayak masakan bunda,” lanjut Sinar sambil menyuap sesendok nasi ke mulutnya. “Enak,” ucapnya mencoba lebih santai meski ada sesak yang menyeli