Tidak sengaja menjalin sebuah rasa dan masuk ke dalam biduk rumah tangga salah satu Redaktur Pelaksana di tempatnya bekerja. Sinar Bhanuresmi, sang Sekretaris Redaksi, harus menjalani banyak cobaan terjal di masa depan. Pertemuan dengan beberapa pria yang sempat singgah di hatinya pun, tak pelak menjadi rintangan tersendiri dalam kehidupannya Di saat kesempurnaan raga Sinar tidak sesempurna garis hidupnya, mampukah ia bertahan dan menghadapi semuanya? Life isn’t always black and white; sometimes it’s painted in shades of gray.
View MorePatah hati.
Itulah yang mendorong Sinar untuk pergi menonton konser. Ia memanfaatkan profesinya sebagai sekretaris redaksi sebuah perusahaan media cetak—Metro, agar bisa berada di backstage dan leluasa bergerak di sekitar panggung. Tempat para wartawan dan fotografer sibuk meliput.
Tidak hanya itu, Sinar juga meminta name tag dari Andri, rekan kerjanya yang sekaligus ketua event organizer, agar dirinya terlihat sebagai bagian dari tim penyelenggara.
“Minum, Nar.” Andri menyodorkan sebotol air mineral pada Sinar saat menghampiri gadis cantik itu di backstage. “Haus banget kayaknya.”
“Hmm.” Sinar mengangguk dan menerima botol air mineral tersebut dengan ragu. Saat hendak memutarnya, ternyata tutup botolnya sudah lebih dulu terbuka. Namun, Sinar melihat sekali lagi jika air di dalamnya masih terisi penuh. “Makasih.”
“Baru gue bukain,” kata Andri ketika melihat Sinar terkejut dengan keadaan tutup botolnya.
“Hmm.” Sinar kembali mengangguk. Karena memang haus, ia segera meminum air tersebut hingga tersisa separuh. Ia menutupnya kembali lalu duduk pada kursi plastik yang dilihatnya baru saja kosong. “Nggak lihat Bima, Ndri?”
“Sama ceweknya,” ujar Andri kembali mendekati Sinar dan berdiri di sebelahnya. “Nggak tahu, pergi ke mana tadi.”
Dasar fùckboy. Sinar hanya bisa memaki dalam hati.
Entah wanita mana lagi yang sedang dikencani Bima kali ini, padahal pria itu baru saja putus dengan pacarnya dua hari yang lalu.
Sebenarnya, Sinar datang ke konser bersama Bima. Jadi, seharusnya ia juga pulang dengan pria itu. Namun, melihat situasinya sekarang, ia ragu Bima akan muncul tepat ketika konser selesai. Pria itu pasti akan terlambat, karena sedang menikmati waktu bersama "kekasih" barunya.
“Ndri! Dicari Mike,” ujar seorang pria yang datang terburu. “Dia komplain makanan buat artisnya.”
“Masa’ gue yang harus turun tangan?” Andri protes dengan keras. Ia menatap Sinar yang masih tampak tenang, dengan kaki yang bergoyang karena musik kembali dimainkan. “Cari Dita coba.”
“Dia maunya elo!”
Andri berdecak. Kembali menatap Sinar lalu menepuk bahu gadis itu. “Nar, gue pergi bentar. Lo jangan ke mana-mana. Tunggu gue di sini. Nggak lama.”
Sinar hanya mengernyit tidak mengerti. Ia tidak mengangguk untuk mengiyakan, pun menggeleng untuk menolak. Sinar hanya bingung, karena sikap Andri barusan.
Kenapa juga ia harus menunggu Andri kembali?
Begitu pria itu pergi, Sinar segera mengeluarkan ponsel. Ia mencoba menghubungi Bima, tetapi tidak kunjung diangkat. Alhasil, Sinar hanya mengirimkan sebuah pesan pada pria yang sudah menjadi temannya sejak kuliah.
Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, Sinar merasakan ada yang tidak beres pada dirinya. Kepalanya mendadak berat dan matanya pun mulai berkunang-kunang. Pandangannya mengabur, suara riuh konser di sekitarnya terasa semakin jauh, seolah dunia mulai berputar pelan.
Tatapannya tertuju pada botol air mineral yang masih di genggaman. Mengingat tutup botol tersebut sudah terbuka ketika diterimanya, Sinar menjatuhkannya seketika. Memaki Andri dalam hati dan merutuki kecerobohannya sendiri.
Di sisa kesadarannya, Sinar memaksakan diri untuk bangkit. Dengan langkah tergesa, ia mencari jalan keluar. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini adalah menjauh dari Andri. Ia terus berjalan, berusaha menuju area parkir khusus, tempat mobil Bima terparkir.
Namun, dalam perjalanannya, ia melihat bayangan seorang pria menghampiri. Entah siapa, karena kesadarannya benar-benar menipis. Pandangannya semakin kabur, langkahnya terhuyung, dan tubuhnya terasa semakin lemah.
“Nar ... Sinar?”
Suara itu menggema di telinga, tetapi Sinar tetap tidak mampu mengenali siapa pria yang sudah berada di dekatnya. Ia mencoba melangkah mundur, tetapi keseimbangan tubuhnya tidak lagi bisa dikendalikan. Sinar limbung, dunia di sekelilingnya seolah berputar dan ... segalanya hilang dalam kegelapan.
~~~~~~~~~~~~
NOTE:
Sesuai request, akhirnya versi asli Sinar bisa terbit di sini.
Cerita ini prequel dari MY DEAREST CAHAYA yang sudah terbit di GN lebih dulu.
Versi asli Sinar sebelum di-remake jadi MAL [Pembaca lama sudah tahu, ya]
Yes, another anti-mainstream story dari saya.
Untuk yang sudah membaca lebih dulu di sebelah, mungkin akan menemukan banyak sekali perbedaan dari versi awal. Ada bagian yang saya rombak, pun dengan beberapa nama tokoh di dalamnya karena beberapa alasan. Tapi, semua perubahan tetap akan mempertahankan esensi dari jalan cerita aslinya.
Hepi riding, Mba beb ter💙
Kisseeesss
💋💋💋💋
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y
Dengan memakai piyama lengkap, Sinar keluar dari kamar mandi. Mengambil ponselnya yang ada di nakas, tanpa memedulikan Pras sama sekali.Begitu ia berbalik dan hendak melangkah pergi, Pras membuka suara.“Masih mau pergi tidur di kamar Aya dan balik ke sini waktu pagi?”Sinar tidak jadi melangkah. Ia menatap Pras, tajam. Akhirnya, setelah tiga hari mereka tidak bertegur sapa karena masalah pil KB, Pras lebih dulu membuka mulut. Sinar baru membuka bibirnya, tetapi Pras lebih dulu melanjutkan kalimatnya. “Tidur di sini malam ini,” titah Pras tegas, tanpa mau dibantah. “Jangan berani-berani melangkah keluar kamar, atau kamu terima akibatnya.”“Kamu ngancam aku?”“Ya,” jawab Pras. “Matikan lampunya, terus tidur. Nggak perlu beralasan mau lihat Asa atau Aya, karena mereka tidur di kamar mami malam ini.”Sinar menghempas ponselnya di tempat tidur. Tidak lagi memiliki alasan untuk pergi keluar kamar, Sinar akhirnya menuruti perintah Pras. Mematikan lampu utama kamar, lalu berbaring di sam
Pagi itu, Pras terbangun dengan garis bibir yang melengkung sempurna. Sinar masih terlelap di pelukannya, napasnya teratur, dan hangat tubuhnya masih menyelimuti dada Pras. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi pembatas. Tadi malam, mereka benar-benar telah menyatu. Bukan hanya raga, tetapi dengan mantap juga menyatukan hati.Pras menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah Sinar dengan perlahan. Menatap lamat-lamat, menghafal setiap garis, setiap lekuk yang selama ini hanya bisa ia sentuh di dalam mimpi.Namun, tidak kali ini. Semua telah tampak begitu nyata, begitu dekat, dan Sinar akhirnya menjadi miliknya, seutuhnya. Dengan amat perlahan, Pras menggeser tubuh Sinar agar tidak mengganggu tidur lelapnya. Kemudian, ia membenarkan selimut di tubuh sang istri lalu pergi ke kamar mandi. Dan sejak pagi itu, Pras memutuskan untuk tidak lagi memakai kursi rodanya. Ia akan kembali menjalani kehidupan normal seperti biasa dan menjadi dirinya seutuhnya. ~~~~~~~~~~~~~~~“Pras!Eila t
Sudah hampir satu jam Sinar menunggu suaminya di ruang kerja Pras. Setelah itu, Pras muncul dan langsung mengajaknya pergi ke Network.“Yakin langsung ke Network?” tanya Sinar, sambil menggandeng Asa menuju lift. “Nggak mau istirahat dulu?”“Nggak,” jawab Pras lalu menguap sebentar sambil menutup mulutnya. “Cepat selesai, cepat pulang. Aku ngantuk, mau tidur.” Bibir Sinar langsung terlipat rapat, berusaha menahan tawa yang hampir meledak. “Tumben, emang semalam tidurnya nggak nyenyak?”“Hm, kepanasan,” jawab Pras, jujur tapi dengan nada malas.“Kepanasan?” tanya Irfan sambil menekan tombol lift menuju lantai dasar. “Saya aja sampai menggigil waktu masuk ke kamar Mas tadi pagi. Apa Mas nggak enak badan? Atau, kita bisa mampir dulu ke rumah sakit?”Sinar nyaris tertawa keras, tetapi ia buru-buru menggigit pipi bagian dalamnya dan menunduk. Ekspresi penat Pras, ditambah wajah serius dan khawatir Irfan, sungguh membuat Sinar geli sendiri. “Nanti aja, sekalian jadwal terapi,” elak Pras s
Dahi Sinar berkerut, menatap tajam ke arah Irfan yang hendak melangkah ke rumah depan. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan pria itu tanpa ada Pras di sebelahnya.“Jadi, sejak kapan Mas Pras mulai bisa jalan?” tanya Sinar setelah sedikit mengeluarkan protes dan emosinya pada Irfan.Irfan meringis, salah tingkah. Dua-duanya adalah majikannya. Jika ia berbohong pada salah satu, entah apa yang akan menimpanya nanti.“Ayolah, Fan!” desak Sinar. “Saya janji, ini cuma di antara kita.”Irfan memijat tengkuknya, menatap langit malam yang bertabur bintang sekilas sambil tersenyum salah tingkah.“Bener ya, Mbak, jangan bilang siapa-siapa?” tanya Irfan memastikan.“Janji!” jawab Sinar. “Lagian aku juga taunya bukan dari kamu. Jadi, namamu aman.”Irfan membuang napas besar, lalu kembali menarik napas dalam. “Habis operasi, perkembangan mas Pras memang signifikan. Dia betul-betul semangat buat sembuh. Tapi, kalau untuk jalan sempurna seperti dulu, baru jalan tiga bulanan ini.”“Kenapa aku nggak dikasih
“Sinar, kan!”Sinar baru memasuki cabang gerai rotinya yang ketiga, saat seruan penuh semangat itu menyapanya. Sinar mengerjap dan mengingat-ingat, di mana ia pernah melihat atau bertemu dengan gadis di hadapannya.“Sorry, anak SMA Permata kan? Aku udah mulai pikun soalnya.” Aku Sinar lalu terkekeh garing. Samar di ingatan, gadis dengan tubuh langsing dan wajah tirus itu tampak seperti salah satu siswa di SMA-nya dahulu kala.“Aku Tami,” ujarnya memperkenalkan diri. “Anak IPS, jadi wajar kalau kamu nggak tau atau nggak inget.”“Ohh …” Sinar mengangguk-angguk. Agak canggung rasanya jika bertemu teman dari SMA dulu, karena Sinar tidak sering bersosialisasi saat itu. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk belajar, agar bisa masuk ke universitas incarannya dengan full beasiswa. “Oia, bentar, ya!” Tami segera mengeluarkan dompet, lalu membayar total belanjaannya pada kasir. Setelah selesai, ia bergeser dan kembali bicara dengan Sinar. “Oia, kamu nggak gabung di grup alumni kita, ya?”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments