“Tuh kan bener ayah ngasih tahu!” timpal Nyiur.
“Haha, gak apa-apa. Cuma tadi kalau kamu ngomong langsung, Mas lebih seneng,” kata Harsa.
“Mas marah?”
“Iya sebenarnya, cuma aura kelembutan kamu ini bisa aja melemahkan amarah saya.” Harsa memeluk sang istri.
“Apa yang kamu pandang dari langit?” tanya Harsa.
“Sama kayak aku mandang kamu,” jawab Nyiur.
“Yah, masa disamain sama langit, emang saya sejauh itu untuk kamu?” Harsa menarik sang istri untuk bersandar.
“Iya, Mas Harsa jauh dari aku semenjak punya istri kedua.” Nyiur menunduk, deretan air mata mulai menghujankan diri.
“Ka-kamu merasa begitu? Astaghfirullahaladzim, Mas minta maaf ya Sayang. Hhh, Mas akan belajar untuk lebih bisa baik lagi.” Harsa memeluk sang istri lagi dan mengusap air matanya.
“Ternyata nggak semudah yang aku bayangkan. Sakit banget melihat Mas udah nggak kayak dulu lagi.”
“Saya akan seperti dulu lagi.”
“Tidak bisa.”
“Mengapa begitu?”
“Tidak mungkin.”
“Apa yang tidak mungkin atas kehenda