Pagi itu, hujan turun perlahan di halaman belakang rumah Maya. Bukan hujan deras yang menghantam tanah dan membuat becek di mana-mana. Tapi hujan pelan, gerimis tipis, seperti langit tengah meredakan emosi setelah tangis panjang malam sebelumnya.
Di balik jendela besar kamar lantai dua, Maya memandang keluar. Cangkir teh melati di tangannya mengepul tenang, sementara pikirannya belum sepenuhnya lepas dari amplop tua dan isi surat yang dibacanya kemarin. Kata-kata almarhum ibunya terus terngiang, mengalun seperti mantra penuh luka sekaligus kelegaan.
Ardi. Nama itu kini memiliki makna baru.
Bukan lagi sekadar bayangan lelaki masa lalu, tapi ayah Nayla yang sesungguhnya. Lelaki yang pernah memperjuangkan Maya dalam diam, yang kini tinggal dalam surat dan kenangan, namun menghadirkan cahaya dalam hidup mereka yang selama ini terkungkung gelap.
Nayla mengetuk pintu perlahan. “Bu… boleh masuk?”
“Masuk, Sayang.”
Nayla datang dengan sebuah kotak kayu di tangannya. “Aku nemu ini di gudang tan