Setelah persidangan kedua itu, langkahku terasa berat tapi pasti. Bukan karena aku lelah, melainkan karena aku sedang menapaki jalanku sendiri. Jalan yang selama ini tak pernah kubayangkan harus kulalui ini sendirian, dengan luka dan beban yang tak kasat mata. Tapi aku tidak akan mundur lagi.
Aku tahu satu hal: dunia tidak akan pernah memihak secara adil, tapi aku bisa memilih untuk tetap berdiri.
---
Beberapa Hari Setelah Sidang
Aku duduk di taman belakang kampus. Tempat itu kini sepi. Biasanya ramai oleh mahasiswa yang mencari udara segar atau sekadar menghindari kelas. Tapi sore itu, hanya ada aku dan buku catatanku.
Buku baru. Sampulnya abu-abu. Kosong tanpa label. Isinya lembar-lembar kosong yang siap kutulisi, bukan lagi dengan kisah lama, tapi dengan lembar baru kehidupanku.
Dimas datang membawa dua gelas kopi.
“Gula dua, tanpa krim. Favorit kamu,” katanya sambil menyodorkan gelas kertas itu.
Aku menerimanya dengan senyum kecil.
“Terima kasih,” gumamku. Suaraku