Nadia, seorang mahasiswi sederhana, jatuh cinta pada Reza, teman sekelasnya yang pintar dan sedikit kurang gaul namun dia penuh perhatian dan manis di awal hubungan mereka. Setahun bersama, Nadia telah memberikan segalanya, cinta, kesetiaan, bahkan dirinya sendiri demi hubungan yang ia yakini akan berakhir bahagia. Meski hidupnya bukan bergelimang harta, ia selalu berusaha membantu Reza sebisanya, bahkan dalam hal keuangan. Namun, ketika Reza tiba-tiba memutuskan hubungan, alasannya menghancurkan hati Nadia: ia bukan siapa-siapa, hanya perempuan biasa tanpa harta atau warisan. Orang tua Reza menginginkan menantu yang kaya, seperti sepupunya yang mewarisi kekayaan keluarga. Bagi Reza, Nadia hanyalah persinggahan sementara—dimanfaatkan, lalu dibuang. Hancur dan merasa dikhianati, Nadia harus berjuang mengumpulkan kembali harga dirinya yang telah diinjak oleh orang yang pernah ia cintai. Tapi dari kehancuran itu, ia perlahan menyadari bahwa kehilangan Reza bukanlah akhir melainkan awal untuk menemukan dirinya yang lebih kuat.
Lihat lebih banyakHari pertama kuliah selalu penuh dengan berbagai perasaan gugup, antusias, canggung, bahkan sedikit takut. Nadia merasakan semuanya saat ia melangkah melewati gerbang Universitas Bina Cendekia. Ini adalah awal dari perjalanan barunya, dunia yang benar-benar berbeda dari masa sekolah.
Langit pagi cerah, tapi udara terasa sedikit gerah. Di sekelilingnya, mahasiswa baru berlalu-lalang, beberapa tampak sudah saling mengenal, sementara yang lain berdiri sendirian dengan raut canggung. Nadia menyesuaikan tali tasnya dan menarik napas dalam. Ia diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, jurusan Manajemen sesuatu yang sejak lama menarik perhatiannya, meskipun ia sendiri masih belum sepenuhnya yakin ingin bekerja di bidang apa setelah lulus nanti. Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis berdiri megah di sisi timur kampus, dengan arsitektur modern yang didominasi kaca di beberapa bagian dindingnya. Lantai marmer yang mengilap memantulkan sinar matahari pagi, membuatnya sedikit silau. Nadia melirik jadwal di ponselnya kelas Pengantar Ekonomi berada di lantai tiga, ruang 3.12. "Oke, semoga nggak nyasar," gumamnya sambil menaiki tangga. Di lorong, beberapa mahasiswa tampak mengobrol akrab, mungkin mereka sudah saling mengenal sejak masa orientasi. Sayangnya, Nadia bukan tipe orang yang mudah berbaur. Ia lebih nyaman mengamati dari kejauhan sebelum akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan suatu kelompok. Begitu memasuki ruang 3.12, ia melihat sebagian besar kursi masih kosong. Beberapa mahasiswa sudah duduk berkelompok, tertawa dan berbicara dengan penuh semangat. Nadia memilih duduk di barisan tengah, cukup strategis tidak terlalu dekat dengan dosen, tapi juga tidak terlalu jauh di belakang. Ia mengeluarkan buku catatan dan bolpoin dari tasnya, berusaha terlihat sibuk sambil menenangkan rasa gugupnya. Saat sedang memeriksa materi di ponselnya, seorang gadis tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya. Wajahnya cerah dengan rambut sebahu yang tertata rapi. Ia tampak ramah dan bersemangat. "Hai! Aku Rina," sapanya dengan senyum lebar. "Boleh duduk di sini?" Nadia tersenyum kecil dan mengangguk. "Tentu. Aku Nadia." "Senang ketemu kamu! Jujur aja, aku agak gugup karena belum punya teman di sini," kata Rina sambil terkekeh. Nadia tertawa kecil. "Sama. Aku juga belum kenal siapa-siapa." Obrolan mereka mulai mengalir, membicarakan hal-hal ringan seperti asal daerah dan kesan pertama tentang kampus. Tak lama kemudian, seorang gadis lain duduk di kursi di depan mereka. Rambutnya panjang dengan poni tipis, dan kacamata hitam bertengger di kepalanya. Pakaiannya lebih fashionable dibandingkan Rina dan Nadia, dengan tas bermerk tergantung di bahunya. "Hei, boleh kenalan? Aku Sarah," katanya, menyodorkan tangan. Nadia dan Rina menyambutnya dengan senang hati. "Kalian berdua dari mana?" tanya Sarah sambil menyesap minuman dingin dari botolnya. "Aku dari Bandung," jawab Rina. "Aku dari Bekasi," kata Nadia. "Kalau kamu?" "Jakarta. Tapi aku udah terbiasa bolak-balik ke kota lain juga sih. Aku seneng jalan-jalan," ujarnya dengan bangga. Nadia dan Rina saling melirik sebelum tertawa. "Seru dong!" kata Rina. "Iya, tapi capek juga," sahut Sarah. "Apalagi kalau udah kebiasaan naik kendaraan pribadi, terus sekarang harus sering pakai transportasi umum. Tapi ya udahlah, demi pendidikan." Obrolan mereka semakin seru, hingga tiba-tiba seorang laki-laki menarik kursi di samping Nadia dan duduk begitu saja. Ia tidak menyapa siapa pun, hanya sibuk mengeluarkan buku catatan dan bolpoin dari tasnya yang terlihat sedikit usang. Nadia melirik sekilas. Pemuda itu berbeda dari kebanyakan cowok di kelas yang tampak mengikuti tren dengan pakaian rapi dan sepatu mahal. Ia hanya mengenakan kaos polos abu-abu, celana jeans longgar, dan sneakers yang sudah agak usang. Rambutnya agak panjang dan terlihat berantakan, seolah ia tidak terlalu peduli dengan penampilannya. Nadia mencoba tidak terlalu memperhatikannya. Ia kembali berbicara dengan Rina dan Sarah, hingga laki-laki itu tiba-tiba membuka suara. "Ini kelas Pengantar Ekonomi, kan?" tanyanya singkat. Nadia menoleh dan mengangguk. "Iya." Pemuda itu menghembuskan napas lega. "Syukurlah. Hampir aja gue salah masuk kelas," katanya dengan senyum kecil. "Gue Reza." "Nadia," jawabnya singkat. Sarah yang sejak tadi memperhatikan, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Nadia dan berbisik pelan. "Kayaknya dia bukan tipe yang peduli sama fashion, ya?" Rina ikut terkikik. "Iya, dia agak beda." Nadia hanya tersenyum kecil. Ia tidak ingin cepat menilai orang hanya dari penampilan. Kuliah pun dimulai. Seorang dosen masuk, pria berusia sekitar lima puluhan dengan ekspresi serius. Ia langsung menjelaskan materi tanpa basa-basi. Reza tampak serius mendengarkan, mencatat dengan rapi di buku tulisnya. Nadia sesekali melirik ke arahnya, sedikit penasaran. Meski tampilannya sederhana, ia terlihat cerdas dan cukup fokus pada pelajaran. Sementara itu, Sarah dan Rina masih sesekali berbisik tentang berbagai hal, termasuk mahasiswa lain yang menarik perhatian mereka. "Eh, Nad, menurut lo cowok yang duduk di sebelah Reza itu cakep nggak?" tanya Rina sambil melirik seorang pemuda yang memakai jam tangan mahal. Nadia melirik sekilas. "Lumayan, tapi kayaknya sombong." Sarah tertawa kecil. "Nah, iya! Tadi aja pas masuk kelas dia langsung ngelirik cewek-cewek yang dandan maksimal. Mungkin dia tipe yang suka cari perhatian." Nadia mengangguk setuju. Kuliah berlangsung cukup lama, dan akhirnya setelah hampir dua jam, dosen mengakhiri pertemuan pertama dengan beberapa tugas yang harus dikerjakan. Saat jam kuliah berakhir, Reza berdiri lebih dulu dan melangkah pergi tanpa banyak bicara. Nadia menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Mungkin ini hanya pertemuan biasa. Mungkin besok mereka akan duduk di tempat lain, dengan orang yang berbeda. Setelah kelas berakhir, mahasiswa mulai berkemas, memasukkan buku dan alat tulis mereka ke dalam tas masing-masing. Suasana kelas menjadi lebih santai, dengan beberapa mahasiswa saling berbicara, bertukar kesan tentang dosen pertama mereka. Nadia, Rina, dan Sarah masih duduk di tempat mereka, enggan beranjak terlalu cepat. Mereka merasa nyaman satu sama lain, meski baru pertama kali bertemu. "Eh, sebelum kita keluar, gimana kalau kita tukeran nomor?" usul Rina sambil mengeluarkan ponselnya. Sarah langsung mengangguk setuju. "Setuju! Supaya kalau ada info kuliah atau tugas bisa saling update. Lagian, kalau mau jalan-jalan atau jajan, bisa bareng juga." Nadia tersenyum dan mengeluarkan ponselnya. "Iya, bener. Biar gampang kalau mau janjian ke kampus bareng." Mereka pun saling menyebutkan nomor masing-masing, mencatatnya dengan cepat. "Udah semua?" tanya Rina setelah memastikan kontak mereka tersimpan. "Udah," jawab Sarah. "Kita bikin grup aja, deh. Biar gampang kalau mau ngobrol bertiga." "Setuju!" sahut Nadia. Sarah segera membuat grup chat dan mengetikkan nama grupnya dengan cepat. ‘Geng Manajemen’ "Udah, gue tambahin kalian semua," katanya. "Nanti kalau ada yang nemu tempat nongkrong enak di sekitar kampus, share di sini, ya." Nadia tertawa kecil. "Jadi grup ini buat kuliah atau buat jajan, nih?" "Dua-duanya," sahut Rina sambil tertawa. Setelah memastikan semuanya sudah tergabung dalam grup, mereka akhirnya bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelas bersama. Saat mereka hendak keluar, tiba-tiba Reza yang sejak tadi diam di bangkunya menghampiri mereka. "Nadia," panggilnya singkat. Nadia menoleh, agak kaget karena tidak menyangka akan dipanggil oleh Reza. "Iya?" Reza menggaruk tengkuknya sebentar, lalu berkata, "Boleh minta nomor lo?" Nadia sempat terdiam sejenak sebelum menjawab. "Eh... buat apa?" "Ya, siapa tahu nanti ada tugas atau info penting yang kelewatan. Gue nggak mau ada drama ‘nggak tahu tugas’ di awal semester," jawab Reza santai. Sarah dan Rina saling melirik dengan tatapan penuh arti, sementara Nadia akhirnya mengangguk dan menyebutkan nomornya. Reza mencatatnya di ponselnya, lalu berkata, "Thanks. Lo juga ya, Rina, Sarah. Biar gampang kalau ada info." Rina dan Sarah tertawa kecil tapi tetap menyebutkan nomor mereka juga. "Wih, Reza ternyata perhatian juga ya," goda Sarah setelah Reza pergi. Nadia hanya tersenyum tipis. Ia tidak tahu apakah Reza benar-benar hanya ingin tukeran nomor karena alasan akademis, atau ada maksud lain. Namun, ia tidak mau berpikir terlalu jauh. Baginya, hari pertama kuliah ini sudah cukup menyenangkan dengan bertemu teman-teman baru. Yang jelas, pertemuan hari ini hanyalah awal dari kisah panjang yang akan terjadi di antara mereka.Malam itu langit Jakarta mendung. Tapi di dalam apartemen Reza, semuanya hangat. Senyuman Nadia tidak pernah selembut itu. Dan Reza… Reza terlihat seperti pria yang siap menatap masa depan bersama. Mereka tertawa kecil di atas karpet, membicarakan target bisnis, liburan impian, dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Dan saat malam menua, obrolan menjadi bisu. Reza memegang tangan Nadia. Lalu membelai pipinya, dengan cara yang tak terburu-buru. Tatapan mereka saling bertemu dalam, lama, dan penuh isyarat. Lalu bibir mereka bersentuhan. Tidak seperti ciuman pertama. Ini bukan tentang ragu. Tapi tentang menyerah pada rasa percaya. Nadia tak mengatakan "aku siap". Tapi ia tidak mundur. Mereka melangkah ke ranjang. Bukan dengan gairah yang meledak-ledak, tapi dengan tenang dan penuh kesepakatan diam. Setiap sentuhan adalah janji tanpa kata. Setiap tarikan napas adalah harapan yang disulam perlahan. Malam itu, Nadia menyerahkan sesuatu yang tak bisa diambil ulang kepercayaan yang ut
Beberapa Minggu Kemudian Hidup Reza berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia mulai terbuka pada teman-temannya, bahkan ikut jadi pengisi seminar kecil tentang kewirausahaan mahasiswa. Beberapa dosen mulai memperhatikannya, dan salah satu menawarkan program inkubasi bisnis dari fakultas. Nadia tak langsung kembali seperti dulu. Tapi ia hadir dalam percakapan singkat selepas kelas, dalam kehadiran diam saat Reza butuh semangat, dan dalam senyum kecil yang kini mulai muncul lagi saat mereka saling bertemu. Hubungan mereka tumbuh kembali, kali ini lebih pelan, tapi nyata. Suatu malam, setelah selesai membantu persiapan acara kampus, Reza dan Nadia duduk berdua di bangku taman dekat gedung F. Tak banyak kata, hanya obrolan ringan soal tugas dan rencana semester depan. "Lo tahu, Nad…" Reza berkata sambil menatap bintang, "Gue dulu pikir gue harus jadi orang lain biar lo suka." Nadia tersenyum tipis. "Dan sekarang?" "Kalau lo bisa terima versi Reza yang dulu, apalagi sekarang… gu
Sejak hari itu, Reza tak lagi melihat Nadia sesering dulu. Ia mencoba menghubungi, tapi pesan-pesannya hanya dibaca, tak pernah dibalas. Di kampus, Nadia bersikap biasa, tapi ada jarak yang jelas. Tak ada lagi obrolan panjang di kantin, atau sekadar duduk diam di taman bersama. Namun Reza tidak tinggal diam. Ia mulai memperbaiki sikapnya. Ia berhenti menerima traktiran siapa pun. Mulai membawa bekal dari rumah, dan terlihat lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus, terutama yang berkaitan dengan sosial dan kewirausahaan. Ia bahkan mulai mengajar adik tingkat tentang manajemen keuangan sederhana. Banyak yang memuji perubahan Reza, tapi ia hanya berharap satu hal: dilihat kembali oleh Nadia. Sampai akhirnya, suatu sore, Nadia menerima sebuah pesan singkat dari Reza. > Reza: "Besok sore, dateng ke aula belakang gedung F kalau kamu masih punya sedikit rasa percaya. Cuma lima belas menit. Kalau kamu nggak datang, gue ngerti." Nadia menatap pesan itu lama. Rasa kecewa masih ada
Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Pikirannya terus memutar kejadian demi kejadian. Kebaikan Reza, perhatian yang ia berikan, semua tampak begitu tulus. Tapi kenapa ada rasa ganjil yang makin lama makin sulit diabaikan? Keesokan harinya, di kampus, Nadia memilih untuk menyendiri di perpustakaan. Ia butuh waktu memikirkan semuanya. Namun, tak lama kemudian, Rina datang menghampiri, membawa dua cup kopi instan. "Aku tahu kamu pasti di sini," katanya sambil menyerahkan satu cup pada Nadia. Nadia tersenyum tipis. "Thanks, Rin." Rina duduk di sampingnya, lalu bertanya hati-hati, "Kamu lagi mikirin Reza, ya?" Nadia menoleh, kaget. "Kok kamu tahu?" "Karena kamu akhir-akhir ini kayak… terlalu mikirin dia. Dan kamu beda. Terlihat bingung." Nadia menghela napas. Ia akhirnya menceritakan semua—tentang pengakuan Reza, kebiasaan makan yang berubah, tapi juga soal hal-hal mencurigakan yang ia lihat belakangan ini. Rina mendengarkan tanpa menyela, lalu berkata pelan, "Nad, kamu tahu kan, aku
Sejak insiden dengan Ardi dan Agnes, Nadia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Reza. Awalnya, ia berpikir bahwa kedekatan mereka hanya sebatas persahabatan, tetapi semakin hari, Reza semakin menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Ia selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, dan entah bagaimana, kehadiran Reza membuatnya merasa lebih nyaman. Namun, semakin dekat dengan Reza, Nadia mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Suatu siang, saat mereka duduk di kantin bersama Sarah dan Rina, Nadia menyadari bahwa Reza hanya membeli air mineral. "Za, lo nggak makan?" tanyanya sambil menatap cowok itu dengan alis berkerut. Reza tersenyum tipis. "Nggak laper." Sarah yang duduk di seberang langsung menimpali. "Hah? Lo tadi pagi juga nggak makan pas di kelas, kan?" Rina mengangguk setuju. "Iya, biasanya lo yang paling doyan makan. Ada apa sih?" Reza hanya terkekeh dan mengangkat bahu. "Lagi nggak nafsu aja, guys." Namun, Nadia merasa ada yang janggal. Ini bukan pertama kaliny
Pencarian Ardi Ardi berjalan cepat menyusuri koridor kampus, matanya menelusuri setiap sudut dengan gelisah. Setelah kejadian tadi dengan Agnes, ia tahu Nadia pasti terluka. Ia tidak bisa membiarkan Nadia merasa sendirian dalam situasi ini. Setelah bertanya kepada beberapa teman Nadia, akhirnya ia menemukannya sedang duduk di bangku kosong di sudut kampus. Namun, bukan hanya Nadia yang ada di sana. Di sampingnya, Reza duduk dengan ekspresi datar, tapi dari caranya bersandar ke belakang dengan tangan terlipat, Ardi tahu bahwa cowok itu sedang dalam mode ‘protektif’. Nadia menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Reza melirik Ardi sekilas, lalu menghela napas. "Lo nyari dia?" tanyanya tanpa basa-basi. Ardi mengangguk. "Iya." Reza memutar bola matanya sebelum berdiri. "Gue kasih kalian waktu buat ngobrol," katanya. Namun, sebelum pergi, ia menepuk bahu Ardi dengan cukup keras. "Tapi jangan bikin dia nangis lagi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen