SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI

SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI

last updateLast Updated : 2025-07-29
By:  PandandutOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
39 ratings. 39 reviews
53Chapters
245views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Nadia, mahasiswi cerdas dan ceria di Fakultas Ekonomi, tak pernah menyangka bahwa cinta bisa menjadi senjata yang paling mematikan. Awalnya, Reza datang sebagai pelindung, tempat bersandar, dan cinta pertama yang mengubah dunianya. Tapi di balik perhatian manisnya, tersembunyi niat manipulatif yang perlahan menggerogoti harga diri Nadia hingga tubuh, nama baik, dan kepercayaannya direnggut habis. Ketika Nadia mulai bangkit dan bersuara, Reza tak tinggal diam. Dari sabotase penyebaran foto pribadi, ia menyerang habis-habisan demi satu hal: ingin membuat Nadia Menyerah dan kalah. Namun dari reruntuhan itu, Nadia perlahan berdiri. Dengan luka yang belum sembuh dan trauma yang masih basah, ia memutuskan melawan. Didampingi oleh Dimas sosok baru yang tidak mencoba menyelamatkannya, tapi berdiri di sisinya. Nadia berjuang mengungkap kebenaran. Tapi semakin dalam ia menghadapi kesadisan Reza yang ingin mencelakainya. Dunia yang selama ini ia percaya pun mulai retak. Nadia Hampir mengakhiri hidupnya. Ini bukan kisah tentang cinta yang menyembuhkan. Ini adalah kisah tentang seorang perempuan yang dihancurkan oleh orang yang dicintainya dan memutuskan untuk tidak hanya bertahan, dan bangkit dari keterpurukannya.

View More

Chapter 1

Bab 1 - Saksi dari Luka yang Tak Tertulis

“Ada dua cara kehilangan diri sendiri. Pertama: karena kau tersesat. Kedua: karena seseorang menggiringmu ke jurang itu sambil berkata, ‘aku mencintaimu.’”

---

Ruang Sidang Kampus

Suara hujan mengetuk jendela kaca ruang sidang. Tipis, berulang, menyelinap masuk seperti detak jantungku yang tak kunjung tenang. Gemetar, tidak stabil. Tapi tetap berdetak, entah bagaimana caranya.

Ruang itu penuh. Tapi dingin. Sangat dingin. Dingin bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tidak ada satu pun mata yang menawarkan kehangatan. Semua menatap, menilai, menghakimi dalam diam yang lebih tajam dari hinaan paling kasar.

Aku duduk di kursi saksi. Di sampingku, pengacara kampus. Di seberang ruangan, poster kode etik mahasiswa menempel rapi di dinding. Ironis, karena semua tulisan tentang moral dan integritas itu kini hanya jadi dekorasi. Kosong makna.

Hari ini, aku bukan mahasiswi berprestasi. Bukan ketua kelas. Bukan panitia seminar. Hari ini, aku hanya seorang perempuan yang akhirnya memilih bersuara.

Dan dia Reza duduk tak jauh dariku. Dengan kemeja biru muda yang terlalu formal untuk laki-laki yang baru saja dihantam laporan pelanggaran etik berat. Dasi hitamnya cocok dengan wajahnya yang dingin dan tenang, seolah sidang ini hanya formalitas kecil. Senyum tipis masih bermain di bibirnya. Menyebalkan.

Dia tidak berubah. Bahkan sekarang, saat semua ini terbongkar, dia masih bisa duduk santai seolah ini cuma kesalahpahaman kecil.

Tapi aku bukan lagi gadis yang bisa ditipu oleh senyumnya atau dibutakan oleh pujian manisnya.

Hari ini, aku berdiri. Bukan untuk mengemis keadilan, tapi untuk merebut kembali harga diriku yang sempat ia renggut tanpa ampun.

“Silakan sampaikan pernyataan pribadi Anda,” ujar Pak Arfan, dosen senior yang ditunjuk sebagai panelis utama. Suaranya netral, profesional. Tapi di balik itu, aku bisa rasakan atmosfer yang mendidih. Dosen-dosen lainnya duduk tegang. Beberapa mahasiswa BEM yang hadir sebagai pengamat hanya melirik cepat. Beberapa bahkan mencatat.

Aku berdiri. Kakiku gemetar, tapi aku paksa tetap tegak. Tanganku terasa dingin, tapi tidak ku sembunyikan. Biarlah mereka lihat aku apa adanya: rapuh, tapi tidak menyerah.

“Saya Nadia Azzahra, mahasiswi jurusan Manajemen Tahun 2022.”

Kalimat pertamaku lirih. Tapi setelah itu, aku menegakkan kepala. Mataku menyapu ruangan, memandang satu per satu wajah yang sebelumnya membuatku merasa kecil. Kini tidak lagi.

“Beberapa bulan lalu, saya menjalani hubungan dengan Reza. Saya pikir kami saling mencintai. Tapi kini saya tahu, yang saya jalani bukan hubungan cinta melainkan hubungan yang penuh kebohongan, manipulasi, dan eksploitasi emosional.”

Aku berhenti sejenak. Menelan ludah. Menstabilkan napas.

“Saya dibohongi. Saya dimanfaatkan secara finansial dan emosional. Saya diseret masuk dalam bisnisnya tanpa persetujuan. Dan yang paling menyakitkan… saya dibiarkan percaya bahwa semuanya atas nama cinta.”

Beberapa dosen saling melirik. Aku tahu, sebagian dari mereka mungkin menganggap ini drama. Tapi biarlah. Biarkan mereka menilai. Hari ini, aku tidak bicara untuk menyenangkan siapa pun.

“Reza bilang ayahnya bangkrut. Katanya dia kesulitan makan. Saya percaya. Saya bayari makan siang. Saya pinjamkan alamat rumah saya untuk pengiriman barang-barangnya. Bahkan saya ikut bantu membungkus barang dagangan saat dia bilang butuh bantuan. Karena saya pikir, saya pasangannya. Saya pikir, saya sedang membangun masa depan bersama.”

Suaraku mulai naik, tapi air mata belum tumpah. Aku tahan. Aku ingin mereka tahu: aku tidak datang untuk meratap. Aku datang untuk mengingatkan mereka bahwa harga diri bisa direbut kembali—bahkan dari puing-puing.

“Tapi ternyata saya salah. Saya bukan pasangan. Saya bukan penopang. Saya cuma alamat pengiriman. Saya hanya alat bantu. Saya cuma wajah yang dia pajang ketika butuh simpati, tubuh yang ia sentuh ketika butuh validasi, dan nama yang dia pinjam ketika butuh kedok legalitas.”

Dosen wanita di dekat hakim tampak menegang. Mahasiswa di bangku belakang yang tadi sibuk main HP kini menunduk, pura-pura menulis. Tapi aku tahu mereka dengar. Dan aku ingin mereka dengar.

Aku membuka map. Kertas-kertas itu terasa berat di tanganku, seolah setiap lembar membawa kembali malam-malam penuh luka.

“Ini bukti invoice. Email. Catatan pesanan dengan alamat rumah saya. Semua ini menunjukkan bahwa bisnis yang saya kira baru dirintis bersama, ternyata sudah jalan lama tanpa saya tahu. Saya bukan rekan. Saya bukan kekasih. Saya cuma tameng.”

Aku serahkan dokumen ke hakim.

“Reza bilang aku bagian dari masa depannya. Tapi nyatanya, aku cuma bagian dari strategi pemasarannya.”

---

Aku masih ingat jelas malam itu.

Reza meminjam laptopku. Katanya, butuh cek stok barang. Aku percaya. Seperti biasa. Seperti setiap kali dia bilang ‘percayalah, aku cuma butuh sedikit waktu.’

Tapi esok paginya, saat aku membuka laptopku, emailnya masih terbuka.

Aku tidak berniat mengecek. Tapi mata ini melihat sendiri: laporan penjualan bulanan, grafik pertumbuhan, detail pengiriman. Dan satu invoice mencantumkan: "Custom case promo by RZ Project. Dikirim via alamat Nadia. No label."

Tanganku membeku di atas touchpad. Rasanya seperti ditampar. Tapi tidak ada suara. Tidak ada darah. Hanya... hampa.

Malam itu, aku duduk diam di lantai. Menatap layar. Menahan tangis. Menahan kenyataan bahwa aku telah dipakai. Tanpa sadar.

Karena ternyata aku bukan pacar.

Aku adalah alamat.

---

Aku tahu bagian ini yang paling berat. Tapi aku harus ucapkan.

“Saya percaya pada kata-katanya bukan karena saya bodoh... tapi karena dia membuat saya merasa diinginkan. Diistimewakan. Dan ketika seseorang memperlakukan tubuhmu seperti miliknya dan kau biarkan karena kau pikir itu cinta... kau akan membenci dirimu sendiri saat tahu itu cuma permainan.”

Wajah-wajah di sekeliling mulai berubah. Beberapa menegang. Beberapa menunduk. Dosen wanita yang tadi mematung kini menggenggam jemarinya sendiri.

“Saya tidak akan membeberkan apa yang terjadi di balik pintu kamar. Tapi saya akan katakan ini: saya merasa hancur bukan hanya sebagai kekasih... tapi sebagai manusia. Karena saya merasa tubuh saya bukan lagi milik saya sendiri.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Dan rasa jijik itu... tidak hilang. Sampai sekarang. Setiap kali saya bercermin, saya lihat perempuan yang bodohnya percaya... bahwa disentuh berarti dicintai.”

Hening. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang berani bicara. Tapi aku tahu... kata-kataku menggema. Bukan dari mulut. Tapi dari luka. Dari bekas luka yang selama ini kubungkam.

---

Setelah Sidang

Aku melangkah keluar. Hujan masih turun. Langit seolah ikut menyeka luka-luka yang tak tampak. Tapi tubuhku masih kedinginan. Bukan karena udara, tapi karena trauma.

Di ujung lorong, Dimas berdiri. Dengan payung hitam. Tatapannya penuh tanya, tapi tidak menghakimi. Ia mendekat, membuka jasnya dan menutupkannya ke bahuku.

“Gimana rasanya?” tanyanya pelan.

Aku menghela napas. Suaraku nyaris tak terdengar.

“Kayak lari marathon sambil berdarah.”

Dia mengangguk pelan. Menatapku dengan sorot yang mengerti.

“Tapi kamu sampai.”

Aku tersenyum. Tipis. Rapuh. Tapi nyata.

“Aku gak tahu ini kemenangan atau bukan... Tapi aku lega. Itu cukup.”

---

Malam Itu Aku duduk di depan laptop. Folder “Cafe Notes” masih ada. Masih lengkap. Foto-foto Reza makan nasi padang di warung, selfie di taman kampus, screenshot chat penuh emoji lucu. Semua yang dulu membuatku tertawa, kini seperti pameran jenazah kenangan.

Aku menatapnya lama. Tidak menangis. Tidak lagi. Karena sekarang aku mengerti…

Begini rasanya disakiti orang yang kau cintai:

Bukan darah yang mengalir dari luka.

Tapi ingatan.

Kenangan.

Janji-janji yang dulu terasa manis tapi kini menyesakkan.

Dan kenyataan yang paling menampar: semua itu… tidak pernah nyata.

---

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

10
100%(39)
9
0%(0)
8
0%(0)
7
0%(0)
6
0%(0)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
10 / 10.0
39 ratings · 39 reviews
Write a review
user avatar
Anggun_sari
bacanya emosi ikut naik turun.
2025-08-11 00:12:31
0
user avatar
LilyAnnie
Jadi Nadia sakit, kita yang bacanya juga ikutan ngerasa nyesek
2025-08-07 06:46:56
0
user avatar
KiraYume
Ini beneran roller coaster emosi. Dibawa terbang sama awal pertemuan & kencan pertama yang manis, terus dijatuhin ke jurang pas cerita jadi rumit & penuh luka.
2025-08-06 22:38:11
0
user avatar
Henny Djayadi
Nadia, Reza, Dimas, kombinasi yang bikin penasaran
2025-08-04 19:42:41
0
user avatar
Razi Maulidi
cerita yang bagus kk. memang benar itu kk. kita harus bangkit dari keterpurukan.. semangat kk..
2025-07-30 21:23:20
0
default avatar
Vhera Nhanda Musa
Up-nya banyakin Thor... Penasaran nih sama lanjutannya
2025-07-30 11:15:30
0
user avatar
Manila Z
Lanjutkan kak
2025-07-27 12:20:52
0
default avatar
deVian
Ceritanya menyentuh hati, beda dari cerita yg aku baca sebelum-sebelumnya, jadi sedikit penasaran sama kisah Nadia ini Semangat update kak..
2025-07-26 09:43:38
0
user avatar
CH. Blue Lilac
mana lanjutannya thor? udah penasaran nih?
2025-07-24 09:04:22
0
user avatar
Luna Maji
Cerita yang menyentuh hati. Perjalanan Nadia untuk bangkit dan menjadi kuat.
2025-07-21 23:25:22
1
user avatar
Dwi Asti A
Kerena Kak, lanjutkan
2025-07-21 17:39:31
1
user avatar
Aprillia D
Bagus ceritanya kakak, beda dari yg lain. semangat menulis ya
2025-07-16 00:39:36
1
user avatar
lovelypurple
Awal baca udah jatuh cinta sama ceritanya. Auto maraton baca ah, semangat up-nya ya thor!
2025-07-07 11:00:08
0
user avatar
Black Eagle
Kak ini cerita pertama ya, keren, semangat up nya Kak, ceritanya bagus, dan untuk pembaca lain, aku saranin baca deh
2025-07-06 01:57:01
0
user avatar
luscie
ceritanya menarik, semangat baca
2025-07-05 19:29:24
0
  • 1
  • 2
  • 3
53 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status