Aku masih dalam pelukan Rigen, merasakan detak jantungnya yang tak beraturan. Tubuhnya panas, napasnya cepat. Seakan seluruh kendali dirinya hampir meledak sejak tadi. Jemarinya menekan pinggangku, bukan menyakitkan, tapi… penuh tuntutan.
Dia menunduk, dan kuangkat wajahku secara refleks.
Dan dalam detik yang nyaris tak terasa...
Dia menciumku.
Bukan ciuman pelan. Bukan sentuhan lembut.
Melainkan ciuman yang rakus. Buas. Penuh kemarahan—dan cinta yang nyaris menyakitkan.
Bibirnya melumat milikku tanpa kompromi. Tangannya mencengkeram pinggangku lebih dalam, menarikku seakan tubuhku harus menyatu dengannya atau dia akan gila. Aku sempat terkejut, sempat ingin bicara—tapi lidahnya sudah menyerbu masuk, mencuri semua napas dan suara yang ingin kuberikan.
Aku mengerang kecil saat tubuhku terdorong ke dinding belakang. Dinginnya marmer menyentuh punggungku, tapi panas tubuh Rigen menelan semuanya.
"Aku cemburu, Ariella," bisiknya di sela ciuman, napasnya memburu, “Sangat