Setelah Jolin berjalan pergi, raut wajah Tiffany baru berubah datar. Dia mengangkat kakinya, lalu berjalan ke toilet.
Bondan meraih pergelangan tangannya. Sepertinya dia merasa lucu. “Aku ingin tahu apa benar kamu meminjamkan uang kepadanya?”
“Meminjamkan uang?” Tiffany tersenyum dingin. “Aku lebih pengen tampar dia, boleh?”
Suara tawa Bondan semakin keras lagi. Kedua matanya tampak berkilauan. “Sepertinya kamu hebat juga. Kenapa kamu bisa kalah sama dia?”
Tatapan Tiffany seketika menjadi muram. Dia pun berkata dengan nada menyindir, “Karena aku merasa cinta itu mesti tulus dari lubuk hati.”
Kemudian, Tiffany tersenyum. “Sebenarnya siapa juga yang bodoh. Hanya saja, ada yang tak berhenti bermain siasat dan trik, mengira mereka sangatlah hebat, lalu mempermainkan orang lain!”
Bondan mengangguk. “Masuk akal! Kalau begitu, baguslah kita bisa bersama. Kamu selalu berpikir dengan kepala dingin dan sangat pintar!”
Tentu saja Tiffany mengerti maksud Bondan. Mereka tidak akan saling mencintai,