"Angkat, Nilam," suruh papa. "Tapi jangan bilang macam-macam, Papa sudah sewa pengacara juga kok," kata papa lagi.
Aku segera mengangkat telepon darinya, mungkin ada hal penting yang harus orang itu katakan.
"Halo," ucapku padanya.
"Halo, Nilam, apa kabar?" timpal orang yang di seberang sana, suara itu ternyata suara Kiara. Berati pengacara itu sedang berada di penjara.
"Hemm, tentu baik, ngapain Anda telepon saya?" tanyaku heran.
"Aku ingin minta maaf, Nilam, maafkan segala kesalahanku, jujur saja aku khilaf," ungkap Kiara membuatku tambah keheranan. Sebab kami tidak saling bertatap muka, jadi tidak tahu sebenarnya Kiara tulus atau tidak.
"Khilaf? Tapi dua kali loh, apa papamu juga khilaf?" cecarku merasa aneh.
"Aku benar-benar nggak tahu kalau papa melakukan hal yang sama, tolong maafkan aku ya," lirih Kiara.
Aku terdiam bertanya pada papa dan Mas Arlan dengan bahasa isyarat bibir dikomat-kamit.
"Kalau aku sudah maafkan, lalu apa lagi?" tanyaku seperti menantang.
"Nggak ad