Pagi menyapa Jakarta dengan matahari yang malu-malu menembus tirai jendela kamar utama.
Arga membuka mata lebih dulu. Ia masih memeluk Amara dari belakang, hangat tubuh perempuan itu masih terasa. Tapi ia tahu, hangat itu bukan karena cinta yang sama seperti dulu.
Setidaknya belum kembali seperti dulu.
Amara masih terlelap. Wajahnya damai, tapi jejak sembab di bawah matanya belum sepenuhnya hilang.
Arga mengecup pelan pelipis Amara, lalu turun dari tempat tidur. Ia pergi ke dapur, menyeduh teh hangat kesukaan istrinya dan menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur rebus, dan potongan buah.
Tak lama kemudian, Amara turun. Rambutnya sudah disisir rapi, namun wajahnya tetap murung.
“Pagi…,” sapa Arga pelan.
Amara hanya mengangguk. Tak ada senyum. Tak ada pelukan pagi seperti biasanya.
Arga menarik kursi untuknya. “Aku buatkan teh jahe, sama roti. Kamu harus makan, kata bi Eti kemarin kamu enggak makan malam… kasian anak kita, Ra.”
Amara duduk. Mengambil gelas. Menyeruput