“Kamu menikahiku untuk melunasi utang, bukan? Maka jangan pernah berharap kuperlakukan seperti istri!” Amara tak pernah menyangka hidupnya akan berubah hanya dalam satu hari—dari guru sederhana menjadi istri kontrak seorang CEO dingin demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Arga Baskara tak percaya cinta. Ia hanya tahu satu hal: balas dendam dan kontrol. Tapi tubuhnya tetap menuntut haknya sebagai suami… meski hatinya menolak memberi lebih. Ketika gairah tak bisa ditekan, dan masa lalu datang menghantam, siapa yang akan kalah dalam permainan hati ini? Perjanjian ini ditulis dengan tinta kesepakatan. Tapi mampukah cinta tumbuh di antara tanda tangan dan luka?
View More“Utangnya atas nama siapa?”
Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang pengacara menyodorkan salinan lain. Amara melihatnya. Tak bisa membantah. Itu tulisan tangan Rendy. Lututnya melemas. Ia nyaris menjatuhkan map itu, tapi menggigit bibir, menahan air mata. Tak boleh menangis. Bukan saatnya. Bukan di sini. “Apa kalian datang untuk menyita rumah saya?” tanyanya lirih. “Saya masih tinggal bersama Ibu, dan rumah itu satu-satunya milik keluarga kami.” Wanita itu saling pandang dengan asistennya, lalu menghela napas. “Kami tidak berniat menyita rumah, Ibu Amara. Justru kami… menawarkan penyelesaian alternatif.” Amara mengerutkan kening. “Penyelesaian?” Dia bergumam. Detik berikutnya pintu ruangan terbuka. Seorang pria masuk. Setelan jas arang, dasi abu gelap, dan jam tangan hitam yang nilainya mungkin bisa membayar gaji Amara selama sepuluh tahun. Langkahnya tenang. Matanya tajam seperti tidak punya waktu untuk buang emosi. Dan satu kata lagi untuk mengakhiri semua itu adalah tampan. Pria itu tampak dingin dan sangar tapi … tampan. “Amara R. Kusuma?” tanyanya singkat. Amara menoleh. “Iya, saya—” “Ayo kita langsung saja. Saya Arga Baskara, CEO CitraKredit. Adik Anda berutang pada perusahaan saya dan menghilang. Tidak ada jaminan aset. Hanya jejak digital yang bodoh.” Nada suaranya dingin, tajam, tanpa ampun. Amara mengerjapkan matanya berulang kali, panik. “Saya bersedia mencicil, Pak. Saya bisa bekerja dua kali lipat. Saya—” “Satu-satunya hal yang membuat saya tertarik mengurus kasus kecil ini adalah karena saya tidak suka ditipu,” potongnya. “Dan Anda, kebetulan, memiliki sesuatu yang bisa dibayar dengan cara lain,” sambar Arga membuat Amara membeku. “Apa maksud Anda?” Arga menoleh ke pengacara. “Keluarkan draft perjanjian.” Pengacara menyerahkan map merah marun. Amara membukanya pelan-pelan… dan napasnya tercekat. Perjanjian Nikah. “Ini tidak masuk akal,” bisiknya. “Masuk akal bagi saya,” jawab Arga, menatapnya lurus. “Saya butuh istri untuk urusan tertentu. Legalitas. Warisan. Citra bisnis. Kebutuhan Seksual. Tapi saya tidak punya waktu mencari pasangan hidup.” Pria itu berjalan pelan, menghampiri jendela besar dan menatap keluar. “Saya sudah muak dengan permainan cinta. Saya ingin kesepakatan. Dan Anda, dalam situasi ini… tidak punya pilihan.” “Pernikahan bukan lelucon,” ucap Amara mulai marah. “Ini hidup saya.” Dia menaikkan intonasi. “Dan Anda pikir adik Anda memikirkan itu ketika menggadaikan masa depan keluarganya demi judi kripto?” balas Arga cepat dan tajam. “Saya beri waktu dua jam. Setelah itu, utang akan dialihkan ke jalur hukum dan kolektor akan bergerak.” Amara berdiri. Napasnya berat. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya. “Saya bukan barang.” Suaranya tercekat. Arga berbalik. “Saya juga tidak butuh mainan. Hanya seseorang untuk mengisi kolom ‘istri’ dalam dokumen hukum. Selama setahun. Tidak lebih. Tidak kurang.” Pria bertubuh tinggi atletis itu mendekat. Suaranya merendah, nyaris seperti bisikan. “Dan tubuh Anda akan menjadi jaminannya.” Amara menampar meja. Tapi Arga hanya menatapnya datar. Tidak terguncang. Tidak marah. Seolah sudah terbiasa melihat orang jatuh di hadapannya. *** Di toilet umum masih di gedung yang sama, Amara mengunci pintu, menatap cermin. “Ini bukan hidup yang kamu impikan, Ra. Tapi ini satu-satunya jalan.” Amara melirih, akhirnya dia mengambil keputusan. Tangannya gemetar ketika mengetik pesan untuk adiknya. Kak Amara : Kamu berhasil menghancurkan hidupku, Rendy. Tapi aku enggak akan biarkan ibu ikut hancur. Sebentar lagi, aku bukan hanya kakakmu. Aku akan menjadi istri dari laki-laki yang kamu utangi. Amara tidak peduli pesan itu terkirim atau tidak karena sejak dalam perjalanan ke sini dia sudah menghubungi adik dakzal-nya itu dan tidak pernah tersambung. Akhirnya Amara memiliki kekuatan untuk keluar dari dalam toilet, dia kembali ke ruangan yang tadi sang pengacara dan sang CEO mengintimidasinya. Arga dan pengacara masih ada di sana. Amara melangkah masuk diiringi tatapan Arga dan pengacara setelah tadi gadis itu tiba-tiba mual lalu berlari keluar menuju toilet. Dia duduk di tempat tadi. “Kalau saya setuju… ada satu syarat.” Wajah Amara tampak pucat, tatapannya setengah memohon. Arga menatapnya. “Sebutkan.” “Ibu saya. Stroke. Saya merawatnya sendiri. Kalau saya harus tinggal di tempat Anda, maka saya ingin perawat profesional untuk beliau. Setiap hari. Penuh waktu.” Pengacara mencatat, tapi Arga mengangguk duluan. “Sudah saya urus. Perawat dari klinik kami akan datang malam ini.” Itu bukan simpati. Hanya efisiensi. Amara menggigit bibir, lalu menunduk. “Dia udah menyiapkan semua.” Amara membatin. “Baiklah, kapan kita menikah?” Amara bertanya setelah mendongak menatap lekat pria tampan tapi dingin yang akan menjadi suaminya. “Besok. Jam sembilan pagi. Nikah. Di firma hukum ini.” Sang pengacara yang menjawab. FLASBACK ON “Ayah beri waktu dua minggu, Arga. Kalau kamu belum menikah, Ayah akan umumkan pertunanganmu dengan Alena Wibisono.” Gunawan Dirgantara berdiri di depan jendela besar, menatap Jakarta dengan tangan disilangkan di punggung. Suaranya pelan tapi penuh tekanan. Arga menyandarkan tubuh ke kursinya, rahangnya mengeras. “Ayah masih berambisi aliansi bisnis dengan keluarga Wibisono?” tanyanya, datar. “Merger. Dan penggabungan lini kredit mikro dengan dana investasi milik keluarga Wibisono. Kamu tahu betapa kuatnya posisi mereka di OJK.” “Ayah tahu aku tidak tertarik pada perjodohan. Dan setelah yang terakhir… aku makin yakin, cinta pun bisa menghancurkan,” balas Arga, nada suaranya mulai tajam. “Cassandra adalah masa lalu. Dan kamu perlu bersikap dewasa soal citra perusahaan.” “Atau Ayah ingin aku jadi boneka yang bisa ditukar kapan saja?” “Ayah ingin kamu jadi CEO yang tahu bagaimana menjaga posisi, saham, dan nama keluarga. Dunia tidak peduli kamu pernah disakiti. Mereka hanya peduli siapa di sebelahmu saat konferensi pers.” Gunawan berbalik, menatapnya dingin. “Kamu harus menikah dalam dua minggu. Pilihannya ada padamu—kamu yang memilih siapa perempuannya atau Ayah yang akan memilihkan untukmu.” Pintu tertutup pelan setelah Gunawan pergi. Arga terdiam beberapa detik. Matanya menatap langit Jakarta yang kelabu. Lalu ia menekan tombol interkom. “Zeno. Ruanganku. Sekarang.” Zeno langsung masuk ke ruangan Arga tanpa mengetuk pintu. “Ayah mau gue menikah. Carikan solusinya. Cepat, legal, tanpa keterlibatan emosional.” Arga langsung mengutarakan maksudnya memanggil Zeno. Zeno tersenyum kemudian mengotak-atik tablet dan menyodorkannya ke depan Arga. “Gue punya kandidat. Amara R. Kusuma. Guru. Kakak dari Rendy Ramadhan nasabah kita yang gagal bayar. Tapi Amara stabil secara kepribadian. Enggak narsis, enggak dramatis. Tanggung jawabnya tinggi. Dan… dia mungkin akan mempertimbangkan kontrak.” “Bukan gold digger?” Arga sedang memindai biodata dan foto Amara. “Enggak. Justru sebaliknya. Dia terlalu realistis.” Arga membaca cepat, lalu mengangguk sekali. “Siapkan semuanya.” Arga memerintah. “Lo yakin?” Zeno bertanya hanya untuk memastikan. “Pastikan dia enggak akan meminta lebih karena gue enggak akan memberi lebih.” “Siaaaap!!!” FLASHBACK OFF *** Rumah kecil di pinggiran Jakarta itu sunyi, hanya suara mesin oksigen pelan di sudut kamar yang menyertai Amara ketika ia duduk di sisi ranjang ibunya. “Ibu kelihatan lebih segar hari ini,” gumam Amara sambil menyisir rambut ibunya. Sumiati tersenyum kecil. “Kamu capek, ya?” “Enggak kok, kenapa Ibu bertanya seperti itu?” Suaranya pelan, meski begitu wajahnya tak bisa menyembunyikan kelelahan batin. Sumiati menggenggam tangannya. “Ibu enggak tahu kenapa melihat kamu akhir-akhir ini tampak begitu lelah. Tapi kamu anak yang baik. Apa pun yang kamu pilih, Ibu percaya itu demi kita.” Tangis Amara nyaris pecah. Tapi ia tersenyum dan mencium tangan ibunya. Amara menoleh ke pintu, seorang wanita berpakaian seragam perawat masuk. “Bu, kenalin ini Ima … perawat yang akan bantu Amara jagain Ibu di rumah. Orangnya baik. Ibu jangan takut.” “Selamat pagi Bu ….” Ima menyapa Sumiati penuh hormat. “Pagi ….” Sumiati tersenyum kaku. “Kenapa seperti kamu mau pergi jauh?” Sumiati mengerutkan kening menatap Amara. “Enggak jauh, Bu… cuma enggak bisa pulang tiap hari.” “Pekerjaan baru? Menjadi guru ‘kan enggak menginap …,” cecar ibunya curiga. “Iya Bu, ada pekerjaan tambahan … gajinya cukup besar ….” Amara tidak memberitahu Ibu tentang hutang pinjol adiknya yang kini kabur entah ke mana. “Oh … Rendy mana? Kenapa belum pulang?” Ibu bertanya lagi. “Rendy sedang ada pekerjaan di luar kota … nanti Rendy pasti hubungi Ibu.” Sumiati mengangguk lemah. “Aku pamit, ya Bu.” Tangannya gemetar saat menggenggam koper kecil berisi beberapa helai pakaian. Dan di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah kamar ibunya yang telah tertutup. “Maaf, Bu… karena aku akan jadi istri seseorang. Tapi bukan karena cinta.”Arga berdiri di samping ranjang, berpakaian rapi. Kemeja putih tergulung di lengan, celana krem casual yang dipadukan dengan sepatu sneakers—pakaian yang terlalu ‘santai’ untuk kunjungan rumah sakit, tapi terlalu serius untuk sekadar jalan-jalan. Amara tahu itu.“Ra, aku harus pergi,” ucap Arga lembut.Tak ada jawaban.Amara hanya membelakangi tubuhnya. Diam. Tanpa gerakan.“Fitting… buat pernikahan itu,” lanjut Arga dengan suara semakin pelan, seolah malu pada kalimatnya sendiri.Tubuh Amara tetap tak bereaksi. Hari Sabtu datang tanpa kehangatan. Cahaya pagi merambat pelan di dinding kamar rumah sakit, namun tak membawa secuil pun rasa tenang bagi Amara yang masih terbaring diam di tempat tidurnya.Udara sejuk dari pendingin ruangan tak mampu menenangkan dada yang sesak, apalagi menyembuhkan luka yang terus menganga.Arga menunduk, mendekat, dan menyingkap sedikit selimut dari bahu Amara. Ia membungkuk, melabuhkan kecupan panjang di sana—kecupan yang ingin menyampaikan serib
“Kamu enggak ke kantor?” Amara menatap Arga yang hendak duduk di tepi ranjang setelah bagian catering yang mengantar makan siang, pergi.“Enggak, nanti Zeno datang bawa kerjaan.” Arga menyahut sembari membuka plastik pelindung makanan.“Kamu makan siang dulu ya ….” Arga mendekatkan sendok ke mulut Amara.Amara membuka mulut, tidak protes karena sang janin butuh asupan gizi.“Ga, boleh aku telepon Ima?” Arga menatap ragu.“Aku ingin tahu apakah ibu juga melihat berita ini?” “Nanti kamu kepikiran ….” Arga menolak secara halus.“Tapi aku juga harus tahu dan bagaimana keadaan ibu setelah melihat berita itu.” Amara mulai ngegas.Akhirnya Arga mengeluarkan ponselnya dari saku celana.Amara mengotak-ngatik ponsel Arga mencari nama Ima namun jempolnya berhenti ketika melihat panggilan keluar dan ada satu nama kontak yang menarik perhatian.My Lovely Wife.Amara menekan nama itu lalu muncul nomor yang sangat dia kenal, nomor ponselnya.Jantung Amara bergetar hebat, dia mematung
Berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya cara untuk Amara bisa bertahan hidup dan membiayai berobat ibunya.Jadi meski hati sakit dan kecewa tapi Amara tetap membuatkan sarapan untuk Arga mengingat pria itu masih suaminya dan membiayai hidupnya juga ibu.“Bu, istirahat saja … biar saya yang masak sarapan buat Ibu dan bapak,” tegur Bi Eti dari arah belakang sembari membawa sapu.“Enggak apa-apa Bi, sebentar lagi selesai.” Amara menuang sup ke mangkuk besar lalu membawanya ke ruang makan diikuti bi Eti dengan membawa teman nasi yang lain.“Bu, nyalain ya tvnya? Biar enggak sepi … lagian tv di ruang makan enggak pernah di nyalain, nanti rusak lho Bu.”Amara tertawa pelan. “Nyalain aja, Bi … palingan Bibi mau nonton gosip ya?” Bi Eti menyengir. “Iya Bu, lagi nungguin up date proses kasus perceraian artis.” Dia mengaku.Tidak lama Arga datang dengan pakaian kerja rapih namun lengan kemeja yang belum di kancing.Langkahnya sampai di samping Amara sampai dia bisa menghirup aroma
Suasana ruang kerja Arga hening. Hanya suara detak jam dinding dan sesekali notifikasi email yang berbunyi di laptopnya. Arga baru saja kembali dari pertemuan membosankan bersama keluarga Wibisono dan WO. Baru saja duduk, ponselnya berdering.Nama “Alena Wibisono” terpampang di layar.Dengan malas, Arga mengangkat. “Kenapa?”“Aku enggak terima, Ga.” Suara Alena terdengar tajam dan panas, bahkan tanpa salam.Arga menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Alena, aku lagi kerja—” Kalimat Arga menggantung.“Justru karena kamu kerja di depan publik itulah aku telepon sekarang!” potong Alena. “Kamu pikir semua orang di ruangan tadi enggak lihat sikap kamu? Kamu malu-maluin aku, malu-maluin keluarga aku, dan buat WO itu bingung harus bagaimana.”“Lagian aku enggak suruh kalian bikin pesta besar-besaran,” sahut Arga datar.“Kamu enggak bisa terus bersikap kayak gitu, Ga!” suara Alena meninggi. “Aku ngerti kamu cinta sama Amara, aku ngerti kamu enggak mau nikah sama aku, tapi kamu udah sep
“Hati-hati di jalanya, Bu … yang sabar ya, Bu.” Kalimat Ima itu terlontar ketika mengantar Arga dan Amara hingga teras rumah.Amara mengangguk disertai senyum tipis sementara Arga menatap Ima dingin dan gadis itu balas menatap dingin ketika tatapannya bertemu dengan Arga, seolah menantang.Arga mengembuskan nafas panjang, dia menoleh ke samping sambil melangkah beriringan lalu menggenggam tangan Arga.“Minggu depan kita kontrol ya,” kata Arga sembari mengendik ke perut Amara dan Amara hanya balas mengangguk tanpa antusias.Begitu sampai di depan gang, ternyata mobil yang mengantar Amara masih ada di sana menunggu mereka.Sepertinya tadi Arga meminta driver menjemputnya untuk di antar ke sini.Arga membukakan pintu untuk Amara bahkan melapisi puncak kepala Amara agar tidak terbentuk bingkai pintu.Setelahnya baru Arga masuk dari pintu lainnya di kabin belakang.Kemacetan imbas dari jam pulang kerja belum surut meski hari sudah malam.Amara menyandarkan kepalanya dan berusaha m
Sore hari ketika langit Jakarta mulai meredup. Mobil yang mengantar Amara dan ibu Sumiati berhenti tepat di depan gang rumahnya.Ima turun duluan untuk mengeluarkan kursi roda dibantu driver lalu Amara membantu ibu Sumiati turun dan duduk di kursi rodanya.“Terimakasih Pak,” ujar Amara kepada sang driver.“Sama-sama Bu, tapi kata bapak sebelum ada instruksi—saya tetap tinggal di sini untuk nantinya mengantar ibu pulang ke rumah.” Sang driver memberitahu.“Oh … oke, saya cuma sebentar kok.” “Enggak apa-apa, Bu … santai aja.” Amara mengangguk sambil tersenyum lalu mengikuti Ima yang duluan mendorong kursi roda ibu.Sepanjang perjalanan tadi Amara melamun, pikirannya masih dipenuhi wajah-wajah masa lalu dan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan.Hingga kini dia menyusuri gang rumahnya pun, pikiran-pikiran tersebut belum enyah dari benaknya.“Bu, saya masak dulu ya …,” kata Ima pamit.“Ima … kita beli aja ya, kasian kamu capek seharian menemani ibu ke rumah sakit,” kata Ama
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments