Setelah berjalan jauh, Raisa menatap Clara dengan khawatir: “Clara… “
Clara menggelengkan kepala, lalu berkata: “Aku nggak apa-apa.”
Sejak Ervan dan ibunya bercerai, dalam hatinya, dia sudah bukan lagi ayahnya.
Dia hanya merasa sedih karena beban pamannya jadi bertambah, hanya karena berhubungan dengannya.
Dia juga bersedih karena cinta buta Edward.
Begitu teringat bagaimana Edward hanya memperhatikan Vanessa, demi Vanessa dia melawan Dylan dan pamannya, tanpa memikirkan perasaannya sama sekali, hatinya terasa seperti ditusuk pisau.
Sakitnya terasa hingga darah mengalir deras.
“Clara… “
Raisa memeluknya dengan kasihan.
Clara memaksakan diri tersenyum, tidak berbicara sama sekali.
Tidak apa-apa.
Dia sudah memutuskan untuk menyerah.
Hanya butuh sedikit waktu.
Dia pasti bisa.
“Ayo kita minum-minum?”
Raisa merasa Clara butuh waktu untuk menenangkan diri.
Clara menggelengkan kepala: “Nggak perlu.”
Dibandingkan meminum bir, dia lebih ingin pulang dan meneliti datanya.
Dengan begitu, dia bisa