"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang.
"Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur.
"Tapi kamu mau," balas daddy menatapku.
"Dipaksa, Dad."
"Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan.
"Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran.
"Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut.
"Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama.
"Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.
Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te