Nina Humaira dijodohkan oleh ayahnya bernama Reza Adytama. Nina merasa pernikahan ini sangat berat karena Reza penuh misteri hingga Nina tahu ternyata Reza memiliki anak. Siapakah sebenarnya Reza? Apa benar dia sudah pernah menikah ?
View MoreAroma rumah sakit menyeruak, sepertinya cukup lama aku tertidur. Aksen berada di sampingku. Tanganku dibelainya, apa segitu parahnya aku sampai dilarikan ke rumah sakit. Dia begitu setia, beberapa kali tanganku dikecupnya."Sudah bangun, Sayang," ucap Aksen. Tidak terlihat bunda dan daddy."Bunda dan Daddy baru saja pulang, abang yang memintanya.""Aku pingsannya lama, ya?" tanyaku, Aksen mengangguk pelan."Lumayan, seperti bayi yang tertidur pulas," katanya.Cukup lama aku mengingat sesuatu hingga akhirnya pikiranku tertuju pada Arvian. Iya, terakhir aku masih bersamanya."Arvian mana?" tanyaku."Dia dibawa ayahnya." Aku menarik napas, meski emosiku memuncak. Apa tidak ada rasa empati sedikit pun di hati mereka. "Apa Arvian tidak kasihan padaku, Bang. Disaat aku pingsan dia tidak menjagaku.""Kendalikan emosimu, Sayang. Arvian masih kecil dan labil," jawab Aksen."Anak sekecil itu labil, Bang? Rasanya sungguh aneh. Kenapa bunda dan daddy membiarkan.""Karena putusan pengadilan jat
"Bawa aku pergi dari sini, Bang. Kemana saja asal sama Abang." Aksen menitikkan air mata, kali ini tak bisa dipungkiri jika aku begitu mencintainya.Dia ingin mengatakan sesuatu, langsung aku memakai telunjukku agar dia tidak berbicara. Aku takut dia mengatakan sesuatu yang membuat hati ini menjadi lemah."Aku tidak ingin mendengar penolakan, Bang. Aku ingin bahagia bersama abang," lanjutku lagi.Kali ini wajahnya lebih berbinar, tidak semurung tadi. Jika pasangan lain begitu gampang bahagia, itu tidak dengan percintaanku."Arvian bagaimana?" tanyanya lembut, tak lupa jilbabku dielusnya."Nanti aku yang merayunya, saat ini aku ingin bersamamu, Sayang. Ingin bahagia."Pecah tangis kami berdua. Aksen mampu meruntuhkan dinding yang tebal di hatiku. Dinding yang sejak dulu hanya ada satu nama, siapa lagi jika bukan Brayen. Salahkah aku jika ingin merasakan bagaimana bahagia itu, layaknya pasangan lainnya."Kita pulang, kita bertemu dengan Arvian, ya." Aku menggenggam tangannya, merasakan
Perasaan AksenBaru saja bahagia itu kurasakan, Monica menerimaku dengan tulus, setidaknya perjuangan ini ada hasilnya. Namun, kenyataannya ternyata ujian itu datang dari arah yang lain. Tiba-tiba Arvian berubah pikiran, dia seperti tidak menginginkan kehadiranku. Apa selama ini aku salah? Apa aku terlalu percaya diri? Kupegang tangan Arvian yang dingin padaku, sebagai anak yang pernah mengalami broken home, aku tahu rasanya seperti Arvian. Aku tahu bagaimana untuk bertahan bahagia melihat orang tua dengan pilihannya sendiri. Itulah yang membuatku sangat menyanyangi Arvian, ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi ayah sambungnya."Dulu daddy juga bukan anak yang beruntung meski terlahir dari pewaris kaya raya." Aku masih menggenggam tangannya, meski dia terus menunduk.Arvian diam."Daddy sebenarnya tidak tertarik dengan orang tua daddy, tapi daddy sadar lahir dari rahim ibuku."Jujur mengulang kisah ini rasanya sakit. Inginku kubur semuanya, tapi nyatanya aku melihat sendiri Arvian
"Stop Arvian!" tanganku gemetar melihat Arvian yang berada di atas sendiri. Sekolah sebagus ini bahkan lepas kendali tidak melihat ada siswa sendiri yang di atas.Arvian hanya menatapku, aku merasa tatapannya terasa asing. Aku ingin mendekat, ternyata suara yang tidak asing itu terdengar."Jangan panik seperti itu, aku ada di sini," ucap abang Brayen yang tiba-tiba hadir.Aksen langsung menarikku agar aku tidak mendekat, suasananya begitu menegangkan. Untungnya sekolah ini sangat besar dan memiliki gedung yang tidak bisa dijangkau dengan siswa, jadi tidak ada yang bisa melihat kami. "Apa maumu?! Jangan jadikan anak sebagai korban obsesimu!" teriakku kembali. Rasanya tidak percaya melihat Arvian yang dijadikan alat oleh ayahnya sendiri."Kami hanya ngobrol, kenapa kamu sepanik itu," ucapnya enteng.Apa? Sepanik itu? Dia bahkan berani membawa Arvian untuk pasti dikelabui. Abang Brayen memang tidak bisa diprediksi. "Apa maumu tuan Brayen, semua maumu sudah kami turuti. Jangan jadikan
Arvian memelukku, menciumku beberapa kali. Menambah deretan perasaan yang tak menentu dariku. Sebenarnya apa yang sedang Arvian pikirkan, aku merasa ada hal yang Arvian sembunyikan dariku. Pikiranku tentu saja pada ayahnya--Brayen."Ikutlah dengan ayah, Arvian," ucap abang Brayen."Aku ibunya, aku lebih berhak!" Tak bisa kutahan segala yang mengganjal di hatiku. Fix, ini semua pasti abang Brayen terlibat."Beda ceritanya jika kamu belum menikah," balas abang Brayen lagi. Dia belum mau mengalah."Arvian butuh sosok ayah, tapi itu bukan kamu!""Jangan egois Monica! Tidak ada anak yang mau orang tuanya berpisah, kamu saja yang peka!""Lalu aku harus bersamamu? Harusnya anda introspeksi diri!" dia diam, kenapa masih ada bayang-bayang mantan, bukankah dia sudah mendapatkan semua yang diinginkan? Aksen memegang tanganku dengan lembut. Seperti memintaku untuk tidak melanjutkan lagi. Arvian yang melihat kami berseteru hanya diam, Aksen memeluknya dengan lembut."Jangan berdebat di depan anak
Aku akan terus berusaha agar bisa mendapatkanmu. Walaupum dengan cara kotor sekali pun. _Brayen"Sudahi Tuan, semakin tuan memaksa semakin tersakiti," ucap Fahmi asisten yang selalu menjagaku."Kamu mungkin tidak pernah merasakan yang namanya penyesalan.""Justru karena penyesalan itu harusnya tuan sadar jika nyonya Monica harus bahagia."Dia benar, tapi nyatanya hati ini terlanjur sakit. Bayangan aku yang menelantarkan Monica dan Arvian selalu menghantuiku. Rasa penyesalan ini sangat menyiksaku."Tuan Aksen bahkan membantu mengurangi beban kita yang hampir bangkrut." Iya, Aksen dengan sukarela membantu semua asetku yang bangkrut. Bagi Aksen jika aku terpuruk maka Arvian anakku juga terpuruk. Sebaik itu Aksen. Namun, aku justru sebaliknya.Aku sampai tidak menyangka jika ada laki-laki yang sebaik Aksen. Laki-laki yang tulus, tapi hatiku yang disakiti tetap saja menganggap Aksen jahat.Bagi Aksen yang penting Monica bahagia, tapi kenapa aku seperti tidak rela. Rasanya aku tak ingin dia
Puas sekali ketika melihat mantan kalah. Wajah marah abang Brayen tak bisa disembunyikan. Ah, memangnya aku pikirin, ternyata dia memang tak patut diperjuangkan. Sepanjang perjalanan aku tak henti tersenyum ditambah genggaman Aksen yang membuat hati meleleh. "Kondisikan senyumnya, manis," ledek Aksen mencubit hidungku."Lucu, Mas.""Apanya yang lucu?" tanya Aksen."Ada deh." Dia memang tidak peka sama sekali.Tanpa malu sepanjang jalan genggaman tanganku tak pernah lepas dari genggamannya. Seperti ini indahnya pernikahan, hanya berada didekatnya jantung ini tak bisa dikondisikan."Boleh panggil aku abang?" tanya Aksen tiba-tiba padaku. Aku menutup mulut tak percaya. Ternyata diam-diam ada yang ingin dipanggil abang."Alasannya?""Pengen aja, kayaknya seru dipanggil abang.""Harusnya jelas kenapa ingin dipanggil abang." Aku mulai mengomporinya, penasaran saja kenapa tiba-tiba ingin dipanggil abang."Biar romantis," jawabnya lagi."Itu saja?" "Karena aku cemburu ketika kamu manggil ma
Aku melirik Aksen agar tidak bertarung dengan mantan meresahkan, bukan tanpa sebab itu karena abang Brayen sangat jago main basket, tetapi sepertinya Aksen tidak peduli. Dia bahkan menantang balik."Santai saja, doakan yang terbaik," ucapnya sambil melirikku. Sekilas kulihat Abang Brayen mengepalkan tangannya. Cemburu sangat terlihat jelas di wajahnya. Memangnya aku peduli?Aksen bersiap bertanding dengan Abang Brayen. Apa dia mengintai kami sepanjang hari? Dia begitu sangat totalitas dalam menyiapkan pertandingan ini. Tak tanggung-tanggung dia juga menyiapkan suporter agar banyak pendukungnya. Ckck ... kelakuan mantan!"Mantan meresahkan," ucapku. Aksen tertawa geli melihatku yang berkata demikian."Itu artinya dia sebenarnya kalah, makanya cari-cari kesalahan.""Sepertinya.""Apa dia jago main basket?" tanya Aksen. Sebenarnya aku tidak ingin jujur, tapi aku harus mengatakan sebenarnya agar Aksen menyiapkan diri sebaik-baiknya."Iya, dia sangat jago, Mas.""Oh ...." Dia hanya ber oh
Pagi menyapa, selepas acara pesta kecil-kecilan aku tertidur pulas. Ditambah Aksen yang tak pernah puas sejak semalam, dia terus menggodaku. Hingga gelutan panas itu mewarnai permainan kami sampai pagi. Sebelumnya aku memang tak seberuntung orang lain, dimanja dan disayang sepenuh hati oleh pasangan. Bersamanya aku menemukan sesuatu yang berbeda, meski kuakui dia begitu perkasa di ranjang."Sudah bangun ratuku?" Aksen mendekatiku, tak lupa mengecupku."Sudah pagi ternyata," balasku yang masih malu karena telat bangun.Aksen terlihat rapi dan siap untuk berangkat ke masjid. Baju koko putih menambah kesan gagah di wajahnya. Dia begitu bersinar membuat debaran di hatiku semakin kuat."Aku tinggal sebentar, ya, mau ke masjid dulu sama Arvian," ujarnya."Siap sayang.""Pulang-pulang sudah cantik, ya.""Mau kemana?""Mau jogging sayang," balasnya lembut. Dia memang selalu menjaga pola hidupnya."Aku ikut.""Beneran?" selidiknya tak percaya."Beneran, lah, masak aku bohong," balasku."Oke."
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.