Mendengar Aksen berteriak, aku langsung berlari memeluknya, tak peduli dengan reaksi Suseno yang diam membisu.
"Ma ... aaf, tuan," katanya terbata-bata. Puas aku melihatnya yang gugup.
"Lain kali jaga sikapmu, aku tidak segan-segan memberimu pelajaran!" tegas Aksen. Suseno ingin melanjutkan ucapannya. Namun, Aksen memotong, dia tidak peduli dengan permintaan dari Suseno.
"Aku tidak punya waktu meladenimu," ucap Aksen lagi. Ternyata seram juga melihat Aksen marah.
Dia menggandengku untuk jogging bersama. Aku yang melihatnya hanya bisa senyum tidak jelas.
"Lain kali kalau tidak sama abang jangan jogging." Aksen masih terlihat begitu marah.
"Tenryata bisa marah."
"Untung tidak aku tembak kepalanya," balas Aksen. Aku bergidik ngeri mendengar Aksen yang seperti mafia kalau marah.
Sampai rumah, Aksen belum terima perlakuan si Suseno. Dia terus mengomel tidak jelas.
"Sudah, Sayang. Jangan diladenin," kataku menenangkannya.
"Lain kali kalau kemana-mana sama Abang," balasnya.
"Memangnya a