Langit buatan yang menjulang tinggi di atas Lembah Awan Hitam bukan lagi atap pelindung dari energi spiritual—ia telah berubah menjadi kanvas neraka, diwarnai merah gelap dan ungu pekat. Awan-awan racun berputar lamban seperti pusaran maut yang malas namun pasti, menggulung energi jahat di dalamnya. Petir menyambar acak, kadang muncul dari celah awan, kadang dari tubuh para petarung yang sudah meleburkan jiwa dan qi mereka ke dalam duel berdarah.
Tanah di bawah mereka retak-retak dan membara, seperti ingin membuka mulut dan menelan seluruh penderitaan yang tertumpah di atasnya.
Dari medan yang telah menelan belasan nyawa, kini hanya dua sosok yang tersisa berdiri—bagai dua pilar tak tergoyahkan di tengah badai kehancuran.
Kevin Drakenis.
Tubuhnya berlumuran darah, sebagian miliknya, sebagian musuh. Tapi matanya masih membara—bukan karena amarah, melainkan karena tujuan yang telah membentuk jalan hidupnya hingga titik ini. Aura spiritualnya bukan hanya terasa kuat—tapi kuno dan agung,