Cahaya lentera kertas merah berkibar lemah di sudut Kuil Dewa Bumi yang telah runtuh, menciptakan bayangan-bayangan menari di antara reruntuhan batu yang dipenuhi lumut.
Rong Tian duduk bersila di atas tikar jerami lusuh, punggungnya bersandar pada pilar naga yang telah retak, mata kehitamannya menatap kosong ke arah altar yang sudah tidak tersisa selain puing-puing batu dan dupa kuno yang membusuk.
Tujuh hari telah berlalu sejak pembantaian di hutan dekat Jiuyuan Cheng.
Tujuh hari dimana ia berkelana tanpa tujuan di gang-gang sempit ibukota, tidur di kuil-kuil tua yang ditinggalkan, berbagi tempat dengan para gelandangan dan pengemis yang hidupnya tergantung pada belas kasihan orang lain.
Jubah hitamnya yang dulu gagah kini compang-camping dan kotor, rambutnya kusut seperti sarang burung, wajahnya dipenuhi janggut tipis yang tidak terawat.
Aroma kemenyan basi bercampur dengan bau urin dan kotoran manusia yang menguar dari sudut-sudut kuil. Suara tetesan air hujan yang masuk melalui g