Spin off Warisan Artefak Kuno, Universe Benua Longhai dan Benua Podura. Kisah pembalasan dendam pewaris Raja Kelelawar Hitam, dengan Kultivasi Iblis
View MoreRong Tian melangkah mundur ke bagian terdalam kamarnya dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Suara kaki empat sosok tinggi besar mengenakan topeng terasa mengancam.
Dia tahu, ini mungkin akan menjadi malam terakhirnya...
>>>
Kota Biramaki perlahan tenggelam dalam keheningan malam. Jalanan yang ramai tadi siang kini sepi, hanya diterangi oleh lentera-lentera temaram yang bergoyang ditiup angin.
Suara langkah petugas penjaga malam berderap di kejauhan, mengumumkan bahwa waktu kentongan pertama telah tiba.
Teng – teng – teng. Suara kentongan bergema, menandakan awal malam yang panjang.
Namun, di sebuah kamar sempit dan sederhana di belakang rumah megah Wakil Menteri Adat dan Budaya Kekaisaran Bai Feng, Rong Tian masih terjaga. Kamar itu, meskipun kecil, menjadi saksi bisu kegelisahan yang menggerogoti hatinya.
Hari ini, pengumuman ujian negara telah diumumkan, dan Rong Tian dinyatakan gagal.
Sebagai anak kusir kereta wakil menteri, kehidupan Rong Tian sebenarnya terbilang cukup terpelajar.
Sejak usia delapan tahun, dia sering mengikuti pelajaran sastra dan musik yang diajarkan oleh guru khusus Nona Zhao Hua, putri Wakil Menteri Zhao Ming. Hubungan mereka awalnya hanya sekadar pertemanan, namun seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka.
Rong Tian pernah berjanji pada Zhao Hua bahwa dia akan lulus ujian negara dan menjadi pejabat kekaisaran, agar layak melamarnya.
Namun, nasib berkata lain. Meskipun Guru Hui Yan, pengajar sastra dan seninya, yakin bahwa kemampuan Rong Tian lebih dari cukup untuk lulus, kenyataan pahit harus diterimanya.
Di kejauhan, suara penjaga malam terdengar keras, memecah kesunyian malam.
“Kuncilah pintu rapat-rapat! Jangan beri peluang pada pencuri! Periksa lagi api di dapur, ini musim panas. Jangan biarkan api membakar rumah kalian!”
Tiba-tiba, suara ketukan pintu memecah keheningan.
Tok – tok – tok.
Jantung Rong Tian berdegup kencang. Adrenalinya langsung memuncak. “Zhao Hua?” pikirnya, harap-harap cemas.
Seharian setelah pengumuman kegagalannya, Rong Tian berusaha menahan diri untuk tidak menjumpai kekasihnya. Dia tak ingin Zhao Hua melihatnya dalam keadaan lemah dan penuh kekecewaan.
Dan, malam ini, seperti biasa, mereka seharusnya bertemu di taman belakang, diam-diam, untuk berbagi cerita.
NGIIK! Suara pintu berderit ketika dibuka.
Namun, kata-kata Rong Tian terhenti di ujung lidah. Bukan Zhao Hua yang berdiri di depan pintu.
Empat sosok pria bertubuh tinggi besar menghalangi pandangannya. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajahnya tertutup rapat, hanya menyisakan mata yang memancarkan aura dingin dan mengancam.
“Si–siapa kalian?” Rong Tian bertanya, suaranya gemetar, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tenang. Ia berjalan mundur di kamarnya yang kecil. Namun tak ada ruang lagi untuk melarikan diri.
“Siapa kami?” suara serak salah satu pria bertopeng menjawab, dingin dan tanpa emosi. “Kamu akan tahu setelah dibawa pergi dari kediaman wakil menteri!”
Kalimat itu menjadi hal terakhir yang didengar Rong Tian sebelum segalanya berubah gelap. Sebuah pukulan keras mendarat di batang lehernya, menghilangkan kesadarannya seketika.
Keempat pria bertopeng itu bergerak cepat dan terlatih.
Mereka menyeret tubuh Rong Tian dengan hati-hati, seolah menghindari meninggalkan jejak yang tidak perlu.
Yang mengejutkan, mereka tampak sangat akrab dengan tata letak kediaman wakil menteri. Mereka melewati lorong-lorong sempit, bahkan area yang jarang dilewati oleh penjaga sekalipun, seolah sudah menghafal setiap sudutnya.
Tak lama, mereka tiba di bagian belakang kediaman. Di sana, sebuah kereta kuda sudah menunggu, ditarik oleh dua ekor kuda yang tampak kuat dan terlatih.
Keempat pria itu melemparkan tubuh Rong Tian ke dalam kereta dengan gerakan cepat namun terukur.
Tanpa membuang waktu, kereta itu segera bergerak, melesat ke arah barat, meninggalkan kediaman wakil menteri tanpa jejak.
Malam yang sepi pecah oleh derap kaki kuda yang berirama, membawa sosok Rong Tian menjauh dari segala yang dia kenal. Tak ada yang melihat, tak ada yang mendengar, dan tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya, kediaman wakil menteri gempar. Rong Tian dinyatakan hilang.
Banyak yang berspekulasi bahwa dia, putus asa karena kegagalannya dalam ujian negara, memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Lautan Donghai, lautan luas di sisi utara Kota Biramaki.
Namun, tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi pada pemuda itu.
>>>>
Rong Tian terbangun, sinar matahari menyilaukan matanya.
“Kepalaku sakit. Apa yang terjadi?” bisiknya pelan, mencoba meluruskan tubuhnya yang pegal.
Namun, seketika dia terkejut. Tangan dan kakinya terikat erat dengan tali tambang yang kasar.
Lebih mengejutkan lagi, dia menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam kereta kuda yang berguncang, melaju ke suatu tempat yang tidak dia ketahui.
“Bagus! Kamu sudah bangun,” suara serak yang familiar terdengar dari sudut kereta.
Rong Tian menoleh ke arah suara itu dan melihat tiga sosok pria berpakaian serba hitam. Kali ini, mereka tidak lagi mengenakan topeng, memperlihatkan wajah-wajah yang keras dan tak bersahabat.
“Aku ditawan. Entah oleh siapa? Dan aku tak tahu apa kesalahanku...” gumamnya pelan, mencoba mengingat-ingat kejadian semalam.
Sebagai seorang terpelajar, Rong Tian tahu dirinya dalam bahaya. Namun, dia berusaha tetap tenang, mencari celah untuk berpikir jernih.
“Tuan, apa salahku? Mengapa aku ditawan? Aku bukan orang penting. Tolong lepaskan aku...” katanya, mencoba membujuk dengan nada merendah.
Namun, bukannya belas kasihan yang dia dapat. Sebaliknya, salah satu pria dengan bekas luka di wajahnya menghampiri dan menamparnya keras.
PLAK!
“Bocah tak tahu diri! Sudah syukur kami tidak diperintah membunuhmu. Masih saja bertanya-tanya, apa kesalahanmu!” pria itu meludah ke wajah Rong Tian setelah melepas tamparannya.
Rong Tian terdiam, menahan rasa sakit yang menyebar di pipinya. Tamparan itu begitu keras, hingga sebagian giginya terasa goyah. Dia bahkan bisa merasakan aroma amis di mulutnya, pertanda bahwa darah mulai mengalir.
Meskipun begitu, dalam keheningan, tatapan mata Rong Tian melotot tajam ke arah pria yang menamparnya. Tidak ada ketakutan di matanya, hanya keinginan untuk tahu, untuk memahami mengapa ini terjadi padanya.
Pria itu tampak semakin marah. “Kamu menantangku, bocah?” suaranya menggeram, tangannya sudah mencabut belati dari pinggangnya, siap menggorok leher Rong Tian.
Namun, pria bersuara serak yang tampaknya adalah pemimpin kelompok itu segera menahan tangan pria berbekas luka.
“Hentikan! Kita diminta hanya membuangnya di Gurun Hadarac! Tidak untuk menghabisi dia di sini! Biarkan dia disantap serigala lapar atau hewan buas lainnya di padang gurun! Dia tetap akan mati!”
Mendengar kata-kata itu, bulu kuduk Rong Tian berdiri.
“Gurun Hadarac? Tempat terkutuk itu?” pikirnya, jantungnya berdegup kencang.
Pemimpin kelompok itu mendengus dingin. "Mengapa terkejut? Orang miskin sepertimu berani berhubungan dengan gadis bangsawan. Bukankah Gurun Hadarac tempat yang pantas untuk menghukum rakyat jelata sepertimu?"
>>>
Gurun Hadarac bukan sekadar padang pasir gersang. Konon, tempat itu dihuni oleh makhluk buas, binatang iblis, dan bahkan hantu-hantu gentayangan yang lapar.
Siapa yang tega memerintahkan pembunuh bayaran untuk membuang Rong Tian ke tempat seperti itu? Pertanyaan itu menggelayut di hatinya, membakar rasa penasaran dan ketidakrelaannya.
“Setidaknya beri tahu siapa yang memerintahkan ini, dan apa motifnya membuatku sengsara begini. Aku tak rela mati dalam keadaan penasaran!”
Bersambung
Putih. Segala sesuatu berwarna putih menyilaukan yang membuat mata perih ketika pertama kali terbuka. Tidak ada suara, tidak ada wangi, tidak ada rasa apa pun kecuali kekosongan yang menyeluruh. Seperti berada di dalam pangkuan alam semesta sebelum segala sesuatu tercipta. Perlahan, mata yang tadinya tidak bisa melihat apa-apa mulai menyesuaikan diri dengan cahaya putih yang lembut. Bentuk-bentuk samar mulai muncul dari keputihan itu, berubah menjadi kontur yang familiar namun berbeda dari yang terakhir kali dilihat. Rong Tian terbangun dengan napas terengah-engah, dadanya naik turun cepat seolah baru saja berlari jarak jauh. Matanya berkedip beberapa kali, berusaha memfokuskan pandangan pada lingkungan di sekitarnya. Yang pertama ia rasakan adalah udara yang bersih dan segar, sangat berbeda dari bau darah dan kematian yang menjadi hal terakhir yang ia ingat. Ia duduk perlahan, merasakan tanah yang lembut di bawahnya. Bukan tanah kering yang dipenuhi tulang, tetapi rumput hijau ya
Angin malam berdesir dengan suara yang menyayat jiwa di Padang Jiwa Terkoyak yang kini sunyi seperti kuburan raksasa. Bulan sabit menggantung tipis di langit kelam, cahayanya redup seolah enggan menyinari tragedi yang telah terjadi.Udara dipenuhi dengan bau darah yang mengering, tercampur dengan wangi bunga kematian yang tumbuh di antara tulang-tulang berserakan.Langkah kaki tua dan berat bergema perlahan di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.Imam Zhang Wuji berjalan dengan jubah Tao putihnya yang ternoda debu dan darah, matanya yang bijaksana kini dipenuhi kesedihan mendalam. Setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya putih samar, qi spiritual yang murni berusaha memurnikan tanah yang telah dikotori oleh begitu banyak kematian.Di tengah kawah yang dalam, sosok yang pernah dikenalnya sebagai murid yang penuh potensi kini berdiri membeku dalam keheningan abadi.Rong Tian masih dalam posisi tegak, seolah bahkan dalam kematian ia tidak mau menyerah kepada nasib. Jubah hitam yang
Sementara itu, di langit di atas Kota Heifeng, Tian Yuxiao berdiri di atas phoenix putihnya sambil mengamati kehancuran di bawah. Ia bersiap mengumumkan kemenangan final aliran putih ketika tiba-tiba langit mulai berubah aneh.Awan-awan tebal berwarna hitam keunguan mulai berkumpul dengan cepat, berputar membentuk pusaran raksasa yang menakutkan.Angin bertiup kencang dari segala arah, membawa serta bau belerang dan sesuatu yang membusuk."Apa yang terjadi?" gumam Tian Yuxiao sambil menatap ke atas dengan wajah khawatir.Tiba-tiba langit seolah terkoyak seperti kain yang disobek. Dari retakan itu muncul cahaya perak yang menyilaukan, diikuti oleh sosok yang turun perlahan dari ketinggian.Sosok itu mengenakan jubah perak yang berkilau seperti logam cair, wajahnya tersembunyi di balik kabut putih yang berputar-putar.Ketika sosok berjubah perak itu mendarat di udara lima puluh meter di atas kota, tawa mengerikan bergema ke seluruh Kota Heifeng. Suara tawa itu dingin dan mengejek, membu
Ketika debu mulai mengendap, sosok Rong Tian terlihat terbaring tidak bergerak di tengah kawah. Jubah hitamnya compang-camping, topeng giok di wajahnya retak di beberapa bagian, namun seruling iblis masih tergenggam erat di tangan kanannya.Mata keemasannya yang biasanya berkilat kini redup dan kosong."Tuan Muda!" teriak Mo Qianmian dari Sekte Baibian Men sambil berlari mendekat. "Tidak mungkin... Tuan Muda tidak mungkin..."Hun Tunshi yang masih terluka parah merangkak dengan susah payah menuju kawah. "Raja... Kelelawar Hitam... tidak boleh... mati..."Xu Ying Ming dari Sekte Teratai Bulan Perak jatuh berlutut sambil memukul tanah dengan tangan yang gemetar."Tanpa Tuan Muda, kami semua akan musnah!"++++Kematian Rong Tian menciptakan gelombang keputusasaan yang menghancurkan moral seluruh pasukan aliran iblis. Mereka yang tadinya berjuang dengan semangat membara kini berdiri terpaku, menatap sosok pemimpin mereka yang terbaring kaku di tengah kawah dengan mata kosong yang menatap
Langit di atas Benua Qitu Dalu berubah menjadi kanvas kiamat ketika dua sosok legendaris meluncur menembus awan dengan kecepatan yang mencabik udara.Rong Tian, dalam wujud Raja Kelelawar Hitam, terbang dengan naga es Azure yang sudah terluka parah, sementara Tian Yuxiao dari Sekte Tianjian Ge mengejarnya dengan phoenix putih yang sayapnya berkilau seperti pedang cahaya.Pertarungan dimulai di atas Padang Jiwa Terkoyak, namun kini telah menyeret mereka melintasi seluruh benua.Dari utara yang bersalju hingga selatan yang tropis, dari gurun pasir barat hingga pegunungan timur, jejak kehancuran mereka tercipta di langit seperti luka terbuka yang mengeluarkan darah merah pekat."Daxia tidak akan bisa melarikan diri!" teriak Tian Yuxiao sambil mengayunkan pedang cahaya sucinya. "Pedang Cahaya Surgawi, Kilat Pemurnian Jiwa!"Puluhan kilatan cahaya putih kebiruan meluncur dari pedangnya, memotong udara dengan suara mendesis seperti ular raksasa. Setiap kilatan meninggalkan jejak panas yang
Padang Jiwa Terkoyak kini benar-benar menjadi tempat yang sesuai namanya. Ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana, baik dari kultivator hidup maupun jiangshi yang akhirnya hancur.Bau darah dan mayat yang membusuk memenuhi udara, bercampur dengan asap dari berbagai ledakan qi yang masih mengepul.Di berbagai sudut medan perang, para pemimpin sekte dari kedua aliran terlibat dalam duel mematikan yang menentukan nasib perang ini. Satu per satu, tokoh-tokoh penting mulai berjatuhan.Luo Qing Xian dari Sekte Kabut Jade Abadi tergeletak tidak bernyawa setelah duel dengan Bai Yuanfeng dari Sekte Shennong Gu.Wanita berambut hijau kebiruan itu tewas setelah racun buatannya sendiri berbalik menyerangnya, sementara Bai Yuanfeng terbaring sekarat dengan meridian yang hancur akibat terkena Kabut Jade Mematikan.Xu Ying Ming dari Sekte Teratai Bulan Perak berhasil mengalahkan Qin Hua, wakil pemimpin Sekte Shennong Gu, namun ia sendiri terluka parah. Darah perak mengalir dari luka di dadanya, sem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments