Angin malam menyapu lembut wajah Yin Shan yang masih memerah.
Aroma arak Osmanthus berumur seratus tahun yang baru dia teguk di Pavilyun Bunga Peony masih menguar dari tubuhnya, bercampur dengan wewangian bedak safron dan minyak bunga peach dari para selir penghibur yang baru saja menemaninya.
Langkahnya sedikit sempoyongan saat ia melintasi jalan setapak berbatu yang mengarah ke pinggiran Kota Bian Cheng, kota yang terkenal dengan perdagangan sutranya.
"Sialan, kenapa harus malam ini?" gumamnya sambil menyeka keringat di dahi dengan lengan jubah sutranya yang berwarna merah marun.
Matanya yang setengah terpejam berusaha fokus pada sosok kecil berpakaian abu-abu yang bergerak cepat beberapa langkah di depannya, melompat ringan seperti burung walet di antara bayangan.
Mata-mata itu—seorang pria kurus dengan bekas luka melintang di pipi kirinya—sesekali menoleh, memastikan Yin Shan masih mengikuti. Wajahnya tanpa ekspresi seperti topeng kayu, kontras dengan wajah Yin Shan yang masih men