Dalam gerakan cepat, Galtero mengambil pil KB dari tangan Sofia. Tatapannya menjadi bengis ketika melihat pil itu tersisa sedikit. Bara yang sudah menyala kini menjadi kobaran api.
Dengan suara dalam dan dingin, dia bertanya, “Sejak kapan?!”
Tubuh lemas Sofia makin gemetaran melihat reaksi sang suami. Dia sungguh tidak menyangka hari sial ini benar-benar datang. Bahkan sekarang dalam benaknya, kata-kata saling berbenturan, tetapi tidak satu pun lolos dari mulut.
Hening dan senyap tercipta di antara mereka. Embusan udara dari pendingin ruangan seharusnya menyegarkan, justru saat ini terasa panas dan sesak.
Sofia menunduk, jari-jarinya saling menggenggam erat, dan kukunya mencengkram kulit telapak tangan.
Galtero tidak bertanya lagi melihat keterdiaman Sofia. Namun, bukan berarti ini telah usai. Sorot mata menusuknya masih membelenggu wanita itu.
Sebelum menjawab, Sofia memejamkan mata sejenak, seolah memungut keberanian dari kehancuran hatinya. “Dari … pertama kali kita berhubunga