“Kita bermain tanpa pengaman. Bagaimana kalau kamu hamil?” Belum lama dikhianati tunangannya, Sofia malah terjebak malam panas dengan seorang pria asing yang tanpa aba-aba ingin menikahnya. Tidak hanya itu, pria tersebut juga menuntut anak darinya! Tanpa Sofia tahu, pria itu jauh lebih berbahaya dan punya kekuasaan tak terhingga. Mampukah Sofia bertahan, atau justru hancur lebih dalam saat tahu suaminya menyimpan terlalu banyak rahasia?
View More“Tubuhmu lebih jujur dari lidahmu,” bisik pria asing itu sambil menyeret jemarinya di sepanjang kulit Sofia yang mulus dan lembut.
Sentuhan itu benar-benar membakar langsung ke seluruh saraf. Sofia menggeliat gelisah tatkala sapuan hangat berembus pada ceruk lehernya.
“Hngh ….”
Dia mengangkat tangan untuk mendorong pria itu dari atasnya, tetapi justru ujung jari-jarinya bagai tersengat aliran listrik merasakan kulit dada yang kokoh dan panas. Namun, dia tidak kuasa menjauhkannya seolah-olah terdapat magnet di antara mereka.
Sofia menggeleng. “Jangan lakukan itu,” tolaknya dengan bibir bergetar hebat karena sensasi luar biasa yang baru diterimanya.
Sial, ucapannya sama sekali tidak berguna, bahkan pinggangnya didekap erat oleh sepasang lengan yang makin mendekatkan satu sama lain tanpa celah sedikit pun.
Sofia menggigit kuat bibirnya bersamaan dengan air mata yang merembes keluar saat bagian dari raganya dikoyak tanpa ampun.
Sungguh Sofia ingin memaki pria itu, tetapi dia justru melenguh beberapa saat setelahnya, seakan meresapi setiap dinamisme yang tercipta.
Entah bagaimana, tubuhnya benar-benar berkhianat.
Padahal sebelumnya, dia hanya menenggak sedikit minuman beralkohol.
Dalam hati, Sofia mencurigai bahwa seseorang mencampur minumannya dengan obat.
Samar-samar dia mengingat seorang pria tambun membawanya secara paksa ke dalam kamar, menjatuhkannya tepat di hadapan seorang pria yang berdiri menjulang di depannya.
Dia tidak menyangka niatnya untuk melepas kegundahan hati karena ulah sang tunangan berujung kelam. Calon suaminya ternyata sudah menikah dengan wanita lain, dan parahnya lagi mereka akan memiliki anak. Selama ini dia ditipu oleh tunangannya, dua tahun lamanya.
Dan kini, Sofia terjebak dalam malam panas bersama seorang pria asing....
**Pagi itu, Sofia terbangun dengan tubuh yang terasa remuk. Kilasan kejadian semalam membayang, membuat hatinya ikut terasa nyeri.
Dia mengedarkan pandangan dan menatap jijik pada pakaiannya yang tercecer di atas karpet. Bahkan tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Pria semalam sudah pergi.
Ya, bukankah pria berengsek akan pergi begitu saja setelah mendapatkan yang dia mau?
Dengan perasaan hancur luar biasa, Sofia mencoba bangkit kendati rasa nyeri menyerang tubuhnya. Baru saja duduk, kepala wanita itu langsung berdenyut hebat dan perutnya mual. Tubuhnya ambruk kembali ke kasur. Dia menutup mata, berusaha mengatur napas yang agak sesak.
Mungkin pengaruh obat semalam belum hilang sepenuhnya.
Entah berapa lama berlalu, barulah perlahan dia bisa menggerakkan tubuh, meskipun nyeri menusuk di setiap ruas tulang.
Ketika Sofia memunguti pakaiannya, dia mendengar suara seorang pria dari arah kamar mandi.
“Itu … bereaksi.”
Sofia meremas pakaiannya. Apa maksud ucapan pria itu?
Sungguh, dia ingin membuat perhitungan karena orang itu sudah merenggut kehormatannya.
Dengan tertatih, Sofia melangkah menuju kamar mandi dan membuka pintu.
Seketika dia membelalak melihat tubuh atletis pria berbalut kain handuk putih di depan cermin besar sedang memegang ponsel.
Pria itu memiliki postur tubuh tinggi juga tegap, dengan bahu lebar dan otot-otot keras yang tampak terpahat sempurna. Rambutnya cokelat tua, basah dan tergerai acak karena baru selesai mandi. Manik biru terangnya seakan bisa membaca isi hati Sofia hanya dengan sekali tatap. Meskipun ekspresinya datar, aura dominan dan misteriusnya membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.
“Mandilah!” titah pria asing itu berintonasi rendah.
Sofia mengerjap dan mengumpulkan keberaniannya. Dia mendekat dengan mata cokelat karamelnya yang memancarkan luka.
“Kamu!” tunjuk Sofia. “Apa yang kamu lakukan padaku? Kamu penjahat wanita!”
Sofia meluapkan amarah yang menggelegak dalam dada, dia memukuli pria itu dengan sisa tenaga dan air mata yang menerjang tanpa henti.
Anehnya, pria itu diam saja, dan justru memandang lekat wajah Sofia. Setelah pukulan Sofia melemah, pria itu mengunci tangannya.
“Aku sudah membayarmu,” sahut pria itu, nada bicara pelannya menusuk relung hati Sofia.
Dengan suara bergetar, Sofia menjawab, “Aku bukan wanita murahan! Aku tidak butuh uangmu itu, Tuan!”
Sudut bibir pria itu berkedut samar, lalu tangannya yang kasar menyentuh dagu lancip Sofia. “Model sepertimu, sudah biasa dibeli.” Pria itu menatap ke bawah, dan berbisik, “Kamu berhasil.”
Sofia sempat mengerutkan kening, tidak paham dengan perkataan pria itu. Namun, ketika pria itu hendak merengkuh paksa pinggulnya, Sofia mendorong keras tubuh kekar di depannya.
Pria itu tahu profesi yang dilakoninya selama tiga bulan ini? Sungguh mengerikan!
Pria itu bergeming dan tatapan tajamnya bagai ranjau yang siap menjerat mangsa di depan mata.
Sofia berusaha tidak gentar, dia kembali memukuli tubuh menjulang tinggi itu dengan kepalan tangannya untuk meluapkan amarah.
“Aku bersumpah tidak akan memaafkanmu!” sergah Sofia.
“Kita akan menikah,” ujar pria itu dengan intonasi dingin dan memaksa yang membuat kepalan tangan Sofia melonggar, lalu menatap tidak percaya.
Sontak saja dia menggeleng. Tidak, Sofia sama sekali tidak membutuhkan pertanggungjawaban macam itu. Dia juga tidak sudi diperistri pria iblis di hadapannya ini yang seenaknya mengucap pernikahan!
Lelaki yang sudah dikenal lama olehnya saja bisa berdusta, apalagi orang asing. Terlebih setelah apa yang terjadi semalam, itu membuat Sofia ingin pergi saja dari dunia ini.
“Jangan berani menolak, Sofia Morales!” Pria itu menyeringai dan membuat Sofia merinding ngeri, sebab sosok itu mengetahui namanya.
Ah, sudah pasti melihat dari tanda pengenal atau SIM-nya.
“Dengar, Tuan Arogan. Aku tidak mau menikah denganmu!” tolak wanita itu. Dia ingin pergi dari kamar ini secepatnya.
Akan tetapi, ketika dia berbalik, justru pria itu meraih pergelangan tangannya dan menariknya hingga tubuh Sofia yang masih setengah polos menabrak dada bidang keras dan hangat.
Aroma maskulin dari sampo dan sabun menyergap indera penciumannya. Seketika hawa panas seolah membakar seluruh permukaan kulitnya, tetapi dingin menghujam relung hatinya.
“Aku bisa memberimu uang lebih banyak,” bisik pria itu. Ucapannya menghantam logika Sofia.
Pria itu langsung menyerahkan beberapa lembar foto pada Sofia.
Mata wanita itu memanas dan penglihatannya mengabur oleh air mata. Ada wajah ibunya yang tergolek lemah di ranjang perawatan panti jompo, serta bukti hutang sang ayah yang menjaminkan rumah mereka.
Tubuh Sofia makin gemetar karena tidak menyangka pria arogan ini mengetahui semuanya.
Tak lama, telepon genggam Sofia bergetar di dalam tasnya. Dia melihat dagu pria itu terangkat seolah-olah memberinya perintah tanpa bicara.
Dia segera memeriksa ponselnya dan membelalak melihat pesan singkat dari pengurus panti jompo sang ibu.
[Nona Morales, kami mohon maaf tidak bisa merawat ibu Anda. Harap selesaikan tunggakan lebih dulu.]
Pandangan nanar Sofia yang semula tertuju layar ponsel, sekarang bergeser pada pria itu. Dia yakin semua ini bukan kebetulan semata.
Pria itu tampak puas melihat wajah lesu Sofia yang kini kehilangan seluruh keberaniannya.
“Kita bermain tanpa pengaman. Bagaimana kalau kamu hamil?”
Mendengar ucapan itu, dunia Sofia hancur berkeping-keping. Dia tidak boleh hamil. Apalagi anak orang asing. Hidupnya saat ini sedang susah, dan memiliki anak tanpa suami adalah kesialan baginya.
“Anda benar-benar licik, Tuan,” protes Sofia, dan tubuhnya hampir luruh karena seluruh tenaganya seakan tersedot habis berdebat dengan pria jahat ini.
Pria itu menjepit dagu Sofia dan mengangkatnya. “Kita menikah. Sekarang!”
Mereka memutuskan langsung pulang tanpa membeli crema catalana. Sofia masih menggigil, dan Galtero belum mengenakan apa-apa selain celana panjang. Bentley abu-abu yang dikemudikan Galtero membelah jalanan malam Barcelona. Lampu kota memantul di kaca jendela, menciptakan bayang-bayang kelabu di wajah Sofia yang diam menatap ke luar. Monte Sereno Nomor 1 menyambut mereka dalam kesunyian. Begitu mesin mati, Galtero langsung melepas sabuknya, lalu sabuk Sofia. Dia turun, mengitari mobil, dan membuka pintu untuknya. Sofia baru saja menurunkan satu kaki, masih mengambang di udara, ketika tubuhnya kembali terangkat. “Galtero…,” bisik Sofia pelan. Pria itu tidak menjawab. Hanya membawa Sofia masuk ke dalam dengan langkah panjang. Di dalam kamar, dia tidak menurunkan Sofia ke tempat tidur. Malah berjalan terus ke kamar mandi, menyalakan keran dan menyiapkan air panas. Butir-butir uap segera mengisi ruangan. “Air hangat bisa bantu merilekskan pembuluh darah,” kata pria itu, kini sudah dud
“Sofia.”Suara yang biasanya tegas itu kini terdengar agak gemetar, dihantam angin laut yang dingin menusuk.Bisik-bisik pengunjung pantai menghantam telinganya.“Kasihan banget … dia lagi hamil, katanya.”“Tapi perempuan cantik. Sayang banget kalau beneran bunuh diri.”“Katanya sih dia depresi .…”Galtero mengepalkan tangan. Tidak mungkin rasanya Sofia bertindak seceroboh itu.Sepatu boot Galtero melangkah mantap menerjang pasir. Mata biru terangnya terkunci pada satu pemandangan, dan tangannya sudah siap membelah kerumunan orang-orang.“Tunggu.” Intonasinya dingin, dominan, dan sedikit gugup.Dia menyingkirkan beberapa orang di depannya tanpa basa-basi. Seketika matanya melebar melihat sosok di atas tandu.“Silakan jalan lagi,” ucapnya pelan. Membiarkan tim SAR menjalankan tugas setelah memastikan wanita pucat itu bukan istrinya.Napas Galtero berembus kasar. Dia menyapu pantai dengan tatapan tegang. Hari sudah berganti gelap. Namun, dia tidak menunggu bantuan. Kakinya terus melangk
Sementara Sofia terus berjalan di atas pasir basah, pikirannya berkecamuk dengan berita-berita miring yang menyebar begitu cepat. Di sisi lain, seorang wanita berambut pirang tersenyum puas menatap layar telepon genggam. “Ini belum seberapa, Sofia Morales,” desisnya. Jari Isabel membuka file lain di ponselnya—berkas rahasia yang diambil diam-diam dari sekretaris pribadi CEO Lumière waktu itu. Tatapan Isabel penuh kebencian. Layar ponsel dalam genggamannya menampilkan bukti pembayaran fasilitas panti jompo Renata oleh Torres Lumière. Tanpa ragu, Isabel mengirimkannya ke seorang buzzer bayaran dengan nomor sekali pakai. Setelahnya, dia terbahak pelan. Tawa itu terhenti oleh suara dingin di belakangnya. “Apa yang kamu tertawakan?” Nicolas menyambar, begitu tajam. Pria itu hanya mengenakan handuk, tubuhnya basah bukan oleh air mandi, tetapi karena keringat. Isabel meringis. Dia bisa mencium sisa-sisa tubuh perempuan lain yang baru saja disentuh pria itu. Padahal dia sendiri yang memb
Sofia baru saja selesai mengganti pakaian. Dia mengenakan mantel rajut merah muda dengan celana jeans dan sepatu boots cokelat Milo. Rambutnya disisir rapi ke tengah, menciptakan belahan simetris yang mempertegas bentuk wajahnya. Helaiannya jatuh lurus menutup sebagian dada, dipoles serum hingga tampak berkilau seperti sutra. Bersama empat model lainnya, dia bergaya di depan kamera, mengikuti arahan fotografer, mengabaikan rasa ngilu di tangannya. Alina–Manajer baru berdiri tak jauh dari mereka. Sofia sempat diam-diam melirik wanita itu yang tampak mengarahkan kamera ponsel kepadanha. Belum sempat curiga lebih dalam, fotografer kembali memintanya berpindah gaya. Sofia tidak tahu bahwa rekaman singkat dan potret dirinya barusan sudah dikirim ke Madrid. Saat Sofia berjuang berdiri di depan kamera, di kota lain, seseorang memandangi wajahnya dengan kecemasan tersembunyi. “Tuan, Nyonya baik-baik saja.” Alonso menunjukkan layar telepon genggamnya pada Galtero yang baru saja menur
“Bibi!” seru Carlitos, matanya membulat dan wajahnya yang semula masam berubah mendung. Refleks anak itu mengulurkan tangan pada Sofia. Sedangkan Sofia yang tadi terkejut karena didorong berhasil menopang bobot tubuhnya dengan kedua telapak di atas karpet. Lengannya terasa nyeri. Bahkan jantungnya masih berdebar karena tidak sanggup kehilangan calon anaknya. Tangan Sofia bergetar. Dia dihantam antara fisik yang sakit, atau hati ditolak mentah-mentah. Sofia yang sedang hamil mudah sekali tersentuh. Sikap keras kepalanya tidak sebanding dengan kerisauan dalam dada. Mata karamelnya mengembun. Dia menatap Carlitos dengan pandangan tidak percaya. Namun, dia tak menolak uluran tangan bocah itu. “Terima kasih,” lirihnya, “tapi kenapa kamu dorong aku?” Carlitos menunduk dan menggeleng pelan. “Aku tidak mau punya adik bayi. Nanti Papa dan Bibi sayang adik, bukan aku.” Sofia tidak lagi menganggap ini sebagai kecemburuan biasa. Carlitos jelas bisa bertindak sejauh ini pasti ada sebabnya.
“Dia … bekerja di Torres Lumière,” jawab Sofia. Dia mulai merasa ada sesuatu yang janggal, sebab tidak biasanya Jose menyinggung tentang sang suami. “Berhati-hatilah, Sofia. Sebaiknya jangan mencari masalah, baik itu pada suamimu … atau Tuan Marquez.” Ucapan Jose membuat Sofia mengerutkan alis dengan dalam. Dia sungguh tidak mengerti. “Tuan Jose … kenapa Anda bersikap seolah-olah mereka itu monster?” Sofia ingin sekali memukul meja, tetapi tangannya hanya mengepal di pangkuan. Rahang wanita itu menegang. Dia tidak terima suaminya dikatakan tidak baik, setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Galtero belakangan ini. Jose tercengang sesaat, mendengar bahwa Sofia benar-benar tidak tahu siapa Galtero sebenarnya. Pria itu memejamkan mata, seolah sedang mempertimbangkan ucapan yang hampir keluar dari mulutnya. Dia mengembuskan napas pelan. “Ya, benar, aku berlebihan karena ingin melindungi semua modelku,” tanggap Jose akhirnya. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangan mempersilakan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments