Langit Jakarta masih berwarna kelabu ketika Dinda turun dari bus yang membawanya kembali dari Semarang. Jejak hujan semalam masih melekat di aspal, memantulkan bias cahaya lampu kendaraan yang berlalu-lalang. Suara klakson, desah angin, dan aroma khas pagi kota menyambutnya dalam keheningan batin.
Ia berdiri di pinggir jalan terminal, menunggu taksi online dengan ransel tergantung di bahu. Tangannya menggenggam ponsel, bergetar pelan oleh notifikasi yang masuk satu demi satu. Ada ucapan selamat pagi dari rekan kerja, dua pesan dari Rayhan yang menanyakan kabarnya… dan satu pesan dari nomor asing yang membuat langkahnya seketika tertahan.
“Terima kasih sudah datang, Din. Maaf untuk segalanya. — Ibu Dita”
Dinda menatap pesan itu lama. Bibirnya bergerak, namun tak satu kata pun terucap. Dadanya sesak, tapi juga lapang dalam waktu yang bersamaan. Ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan—seperti membuka jendela setelah sekian lama terkurung dalam ruangan pengap. Udara masuk, meski masih