Malam itu, aku dan Panji masih duduk berdua di ruang tamu apartemen kecil yang menghadap langsung ke gemerlap malam Paris. Di luar sana, kota cahaya tetap hidup, seolah tak pernah mengenal lelah. Kilau lampu jalanan dan nyala Menara Eiffel yang megah terlihat dari balik jendela kaca besar, membingkai pemandangan yang selalu menjadi impian banyak orang.
Namun, di dalam ruangan ini, waktu seakan berhenti. Lampu temaram memantulkan bayang-bayang sendu di dinding putih apartemen, seperti lukisan luka lama yang tak pernah selesai.
"Sany, tolong... jangan membenciku. Maafkan aku," ucap Panji pelan, nadanya dalam, nyaris bergetar. Seperti ada sesuatu yang selama ini ia pendam terlalu lama, menumpuk seperti kabut di dada.
Aku menarik napas, menatap matanya yang terlihat rapuh, seperti kaca yang siap retak. "Aku sudah melupakan Mas. Saat ini, aku hanya berusaha menjalani kehidupan yang lebih baik. Mas juga tahu kan, aku dan Aslan masih berstatus suami istri, walau... hanya status."
Panji menga