Sany, seorang wanita muda dengan wajah secantik malaikat tapi luka sedalam neraka, terjebak dalam hidup yang ia benci namun tak bisa ia hindari. Menjadi simpanan Panji, seorang polisi tampan dan berkuasa, membuatnya bak burung dalam sangkar emas—diberi nafkah, namun tak diberi hak untuk bahagia. Cinta tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Tubuhnya dimiliki, tapi jiwanya terkubur dalam ketakutan dan kekecewaan. Hidupnya makin rumit saat Aslan, adik ipar Panji yang dingin dan penuh dendam, datang ke dalam hidupnya. Bagi Aslan, Sany bukan wanita biasa—ia adalah perusak rumah tangga kakaknya, simbol dari kehancuran yang tak bisa ia terima. Niatnya hanya satu: balas dendam. Namun dendam adalah permainan berbahaya, apalagi jika hati ikut terseret. Saat Aslan menyiksa batin Sany demi sebuah balasan, hatinya sendiri mulai goyah. Di balik air mata Sany, di balik pemberontakan dan luka, ia melihat seorang wanita kuat lebih dari sekadar simpanan—ia melihat kekuatan, ketulusan, dan cinta yang tak terbatas untuk anak-anaknya, ia tidak pernah sangka cinta akan tumbuh dari kebencian. Sementara itu, Sany berjuang membebaskan diri dari cengkeraman Panji, demi anak-anaknya dan dirinya sendiri. Tapi bisakah ia benar-benar lepas dari jerat masa lalu ketika cinta yang datang justru dari pria yang seharusnya membencinya? "Berawal dari Cinta yang Kucuri" adalah kisah penuh luka, dendam, dan cinta tak terduga. Sebuah pertarungan batin antara harga diri, luka masa lalu, dan keinginan untuk mencintai dan dicintai—meski dengan cara yang salah.
Lihat lebih banyak“Mas, mau minum dingin?” tanyaku pelan, suaraku nyaris seperti bisikan, mencoba terdengar lembut di tengah keheningan kamar sempit yang hanya diterangi lampu meja berwarna kekuningan. Mataku menatap wajah Panji yang bersimbah peluh. Wajah itu selalu terlihat tegas, penuh wibawa, namun di baliknya… ada bara api yang kapan saja bisa menyala.
Tanganku meraih tisu dari meja kecil di sisi ranjang, menyodorkannya dengan gerakan pelan, nyaris ragu, seolah takut salah membaca suasana hatinya malam ini.
“Enggak. Aku mau langsung pulang. Besok anak bungsuku mau liburan,” jawabnya singkat, berdiri, lalu melangkah ke kamar mandi kecil di pojok ruangan. Suara gemericik air langsung terdengar, bercampur dengan bayangan pikiranku yang melayang ke mana-mana.
Beberapa detik kemudian, suaranya menyusul dari dalam kamar mandi, datar dan dingin, “Oh, iya. Jangan lupa minum pil-nya. Aku nggak mau kamu hamil.”
Aku terdiam. Jantungku bergetar, tapi wajahku tetap datar, seolah kalimat barusan adalah hal lumrah yang tak perlu membuatku terusik. Padahal, di dalam hati… ada perih yang mencabik pelan.
“Iya, Mas,” sahutku tanpa banyak kata, mencoba meredam rasa kecewa yang hampir tumpah dari nadaku.
Pintu kamar mandi terbuka. Panji keluar dengan tubuh yang sudah segar, rambutnya sedikit basah, mengenakan handuk di leher, dan aroma sabun maskulin masih menempel kuat di udara.
“Besok nggak mampir?” tanyaku pelan, mencoba menahan nada kecewa yang mengendap, seolah berharap ia berubah pikiran.
“Enggak. Aku udah janji sama istriku,” jawabnya sambil mengenakan pakaian. Aku buru-buru meraih pakaian bersih dari lemari plastik di sudut kamar, menyerahkannya padanya.
Pakaian kotornya kulempar ke tumpukan di pojok ruangan, seperti rutinitas yang sudah jadi bagian hidupku. Kamar ini kecil, lembab, dengan tembok cat yang mulai mengelupas. Tapi inilah ruanganku. Penjaraku.
“Eh, kemarin jadi beli seragam buat Falen?” tanyanya sambil menatap cermin kecil di atas meja, memeriksa rambutnya. Tubuh tegapnya terlihat sempurna dalam kaus putih polos yang kuberikan tadi.
Falen… putriku. Hasil dari pernikahan yang kini hanya menjadi kenangan pahit yang membekas dalam ingatan.
“Belum. Mungkin besok,” jawabku lirih, menahan getir yang nyaris pecah dari dalam dada.
Panji mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dari dompet kulit hitamnya, meletakkannya di atas nakas kecil di samping ranjang reyotku.
“Ini, buat beli seragam Falen sama Zio,” ucapnya singkat, seolah semuanya mudah dibeli dengan uang.
“Makasih, Mas,” kataku pelan sambil menyisir rambutku yang kusut, mencoba tetap terlihat ‘layak’ di hadapannya.
“Besok jangan ke mana-mana,” ucapnya lagi, nada suaranya berubah lebih tegas. “Kalau kamu nekat ke rumah mantan suamimu lagi dan ketahuan, awas aja. Ingat, tubuh ini cuma milik gue. Gue nggak mau bagi-bagi sama siapa pun.”
Aku terdiam, jari-jariku yang masih memegang sisir nyaris gemetar. Panji, lelaki seragam cokelat itu, lembut di satu sisi… tapi bisa jadi bara api saat cemburu. Dia bisa memeluk dengan hangat, tapi dalam waktu yang sama, dia mengikatku tanpa tali, tanpa ampun.
“Tapi, Mas… besok aku mau jemput anak-anak dari rumah ayah mereka. Sudah waktunya mereka balik tinggal sama aku,” ucapku hati-hati, mencoba memberi pengertian.
“Belum sebulan kan mereka sama bapaknya? Biarin dulu. Sampai sebulan. Gue nggak mau ribet,” jawabnya santai, seolah itu hanya masalah teknis biasa.
“Baiklah… nanti aku kabarin Falen,” aku mengalah, lagi-lagi menyerah tanpa daya.
Dia selesai berpakaian, menyelipkan pistol ke pinggang, gerakan khasnya sebagai anggota polisi. Senjata itu, lambang kekuasaan yang sering kali membuatku takut.
“Aku pulang dulu. Besok kami mau liburan keluarga ke Bali. Mumpung gue cuti,” katanya sambil merapikan jaketnya.
“Oh… iya, Mas.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Tadi gue udah bayarin kontrakan ini tiga bulan ke depan. Gue juga beliin beras satu karung. Jadi inget… jangan ke mana-mana,” ucapnya sekali lagi sebelum melangkah keluar.
Aku mengantarnya sampai depan pintu. Motor Ninja hitamnya sudah terparkir rapi. Dia naik ke atasnya, suara mesin menderu, lalu menghilang dalam gelapnya malam yang pekat.
Malam itu, tidurku tak tenang. Kamar sempit ini rasanya lebih dingin dari biasanya. Suara motor Panji masih menggema di telinga, seperti gema luka yang tak pernah sembuh. Tubuhku terbaring di ranjang tipis, tapi jiwaku seperti berdiri di tepi jurang.
Aku menatap lembaran uang di atas nakas. Lima ratus ribu rupiah. Harga tubuhku malam ini. Harga diamku. Harga ketakutanku yang dipelihara bertahun-tahun.
Kubuka ponsel. Pesan dari Falen muncul.
Kapan jemput kami? Aku kangen…Tenggorokanku tercekat. Ingin rasanya kujawab: Besok, Sayang. Ibu akan jemput kamu dan Abang. Kita akan hidup lebih baik. Tapi… nyaliku ciut. Bukan karena tak cinta. Tapi karena aku tak punya pilihan. Hidupku sudah seperti jalan buntu.
Pagi menjelang. Matahari mulai menyusup dari sela-sela tirai kusam. Tapi hatiku tetap gelap, tak ada cahaya yang bisa menembusnya.
Aku berdiri di depan cermin kecil, memandang bayanganku sendiri. Ada lingkar hitam di bawah mata. Lelah. Kusut. Namun… masih ada secuil harapan di sana. Harapan yang belum sepenuhnya mati.
Aku nekat. Hari ini, aku akan menjemput Falen dan Zio. Risiko? Tentu. Tapi diam lebih lama hanya akan menjadikanku boneka selamanya. Hidup itu seperti air, harus terus mengalir, meski kadang kita harus melawan arus.
Saat melihatku di depan gerbang, Falen berlari memelukku erat, seolah takut aku hilang lagi. Zio juga ikut berlari, wajah polosnya menatapku penuh rindu. Air mataku nyaris tumpah.
“Ayo pulang,” ucapku mantap, menggenggam tangan mereka erat. Hari ini, aku tak akan takut.
Tapi aku tak langsung ke kontrakan. Aku bawa mereka ke rumah ayahku. Sudah lama aku putus kontak dengan ayah karena malu. Tapi hari ini, aku butuh tempat berpijak. Butuh seseorang yang bisa menarikku dari lumpur ini.
Dengan jari gemetar, aku menekan nomor ayah di ponsel. Jantungku berdebar kencang, takut ditolak.
“Ayah… boleh aku datang ke rumah?” tanyaku pelan, suaraku nyaris patah.
Suaranya lembut, hangat, sangat berbeda dengan ibuku yang hanya peduli uang.
“Datanglah. Bawa anak-anak. Kita bicara nanti,” jawabnya.
Aku menangis sepanjang perjalanan. Bukan karena takut. Tapi karena aku melanggar sumpahku sendiri: tak akan pernah lagi mencari ayah. Tapi lihatlah… hidup telah menamparku terlalu keras. Kadang, luka adalah cara Tuhan mengingatkan kita untuk pulang.
Sore hari. Ponselku berdering.
Mas Panji.
Kutatap layar ponsel itu lama. Nafasku tercekat. Tapi untuk pertama kalinya, aku berani. Kutekan tombol matikan panggilan.
Beberapa detik kemudian, pesan masuk.
[Kamu di mana?]
Aku tak membukanya. Tapi notifikasi terus berdatangan.
[Apa kamu nemuin mantan suamimu?]
[Angkat telepon sebelum aku cari kamu.] [Jangan bikin gue gila.] [Gue bisa bunuh lo kalo lo nekat.]Tubuhku menggigil. Tapi hati ini… tidak. Aku telah cukup lama menjadi tawanan ketakutan.
Ini hidupku. Ini tubuhku. Ini jalanku.
Aku akan hadapi apa pun yang datang. Demi Falen. Demi Zio. Demi diriku sendiri. Demi hidup yang lebih layak. Karena terkadang… keberanian terbesar bukan melawan orang lain, tapi melawan rasa takut dalam diri sendiri.Aku tahu… badai akan datang. Tapi kali ini, aku tidak akan lari. Biarlah malam ini menjadi awal dari pertempuran panjang… antara aku dan belenggu bernama Panji.
Karena satu hal yang selalu aku yakini…
Terkadang, yang harus kita lawan bukan hanya orang, tapi juga luka masa lalu yang selalu berusaha menarik kita jatuh. Dan aku… tak mau jatuh lagi.Bersambung
Akhirnya, lelaki itu keluar juga dari kamar mandi. Bau sabun yang segar masih menempel di udara, memenuhi ruangan hotel mewah itu. Tubuhnya tinggi dan tegap, kaos berbahan t-shirt berwarna navy melekat sempurna di dadanya, menonjolkan lekuk otot-ototnya yang kekar. Lampu kamar yang remang-remang semakin mempertegas garis rahangnya yang tegas.Aku terdiam sejenak, menahan detak jantungku yang tiba-tiba saja berdentum tidak beraturan. Ada sesuatu pada lelaki itu yang selalu berhasil membuatku kehilangan kendali—meski aku mati-matian menyangkalnya.“Tidak mandi?” Aslan menatapku tajam. Tatapan dinginnya yang khas, seperti mampu menembus seluruh dinding pertahanan yang kuciptakan. Seolah dia tahu apa yang kutakuti, apa yang kusimpan.“Iya… mandi,” jawabku cepat. Aku berusaha tidak terlalu lama mengunci pandangan pada wajahnya. Segera, aku mengambil pakaian ganti dari tumpukan belanjaan butik tadi. Tak sempat mencucinya, tak sempat memeriksa bahannya—hanya asal ambil. Mau bagaimana lagi? D
Setelah puas berbelanja pakaian dan mengisi perut di sebuah restoran khas Prancis yang aroma rotinya masih terbayang di hidungku, Aslan mengajakku kembali ke hotel tempatnya menginap selama di Paris. Langit mulai memudar, warna jingga keemasan menggantung di ufuk barat, seolah kota ini belum mau menyerahkan malam begitu saja.Mobil hitam yang kami tumpangi melaju melewati jalanan Paris yang masih ramai. Di luar, orang-orang sibuk lalu-lalang, menikmati senja yang mulai turun. Bangunan-bangunan klasik berdiri megah, memantulkan bayangan cahaya lampu jalanan. Kota ini… meski indah, tetap tak mampu mengalihkan pikiranku dari satu hal—rahasia besar yang selama ini kusimpan.Namun suasana di dalam mobil justru berubah dingin. Bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tatapan Aslan yang mendadak kosong. Wajah tenangnya yang biasanya penuh percaya diri kini tertutup kabut gelisah. Matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mencengkram setir erat, seolah ada ses
Udara Paris mulai menghangat, tapi hatiku justru makin mendidih. Matahari yang baru saja muncul dari balik awan tipis seperti tak mampu menenangkan kepalaku yang panas karena ulah Aslan.Sudah cukup dia mengerjaiku pagi ini. Mulai dari pil yang katanya vitamin—padahal cuma akal bulus dia biar aku nggak panik soal kehamilan—sampai ejekan soal perut cacingan tadi. Semua itu membuat sumbu emosiku habis terbakar.Akhirnya... aksi nekat itu pun terjadi.Dengan langkah mantap, aku berdiri di tengah area taman dekat kafe, tempat orang-orang berlalu-lalang, dan berteriak sekeras mungkin, “Ibu, Bapak! Salaki ku dijual! Saha wae anu hoyong?!”(Suamiku dijual! Ada yang mau?!)Suara teriakanku memecah keramaian pagi itu. Burung-burung yang tadinya bertengger di ranting pohon pun beterbangan kaget. Orang-orang sekitar menoleh, beberapa bahkan berhenti melangkah.Walau kemampuan berbahasa Sunda-ku terbatas, tapi rasa nekat ini jauh lebih besar dari rasa malu. Gila? Biarin! Kadang perempuan harus gi
Kota Paris memang tak pernah kehabisan alasan untuk membuat orang jatuh cinta—sayangnya, bukan itu yang memenuhi pikiranku saat ini.Kata-kata Aslan tentang kehamilan masih terngiang-ngiang, memicu alarm panik dalam kepalaku. Tanpa sadar, pikiranku langsung melayang ke kalender haidku. Rasanya seperti dihantam kenyataan. Aku baru selesai datang bulan beberapa hari lalu. Persis sama seperti saat aku dulu mengandung Haikal.“Oh, gila…! Aku nggak mau,” ucapku spontan, suara nyaris tercekat. Tubuhku menegang, detak jantungku berpacu lebih cepat.Aslan yang berjalan di sebelahku ikut menoleh, wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Ada yang ketinggalan di atas?” tanyanya, nadanya mulai cemas.Aku menoleh cepat, menarik lengan jaketnya. “Ayo ke apotek orang Indonesia,” kataku buru-buru. Aku tak mau dia tahu niat asliku—mencari pil pencegah kehamilan sebelum semuanya terlambat.Aslan mengerutkan kening, wajahnya bingung setengah mati. “Lho, kenapa harus apotek Indonesia?”“Apotek luar nggak akan
Setelah puas menyusuri tempat indah itu, aku berhenti. Langkahku terhenti di depan pagar besi yang mulai berembun karena udara dingin yang menyusup lewat celah-celah kain gaun tipisku.“Pinjamkan aku ponselmu, dong. Aku ingin mengabadikan momen indah ini. Aku tak tahu... entah nanti aku masih bisa melihat ini lagi atau tidak,” ucapku pelan, nyaris berbisik, tapi cukup untuk membuat pria di sampingku menoleh.Tanpa banyak tanya, Aslan menyerahkan ponselnya.“Password-nya apa?” tanyaku, menatapnya sekilas.“Tanggal lahirmu.”Aku tertegun. Dada ini seperti dipukul kenangan. Dulu, empat tahun lalu, dia memang memakai tanggal lahirku sebagai sandi. Tapi... kupikir itu sudah berlalu. Ternyata, ia masih menyimpannya.Ah, mungkin saja dia baru menggantinya saat kami tak sengaja bertemu di pesawat tempo hari, batinku mencoba meredam gejolak aneh yang tiba-tiba tumbuh dalam hati.Aku memang terpaksa meminjam ponselnya. Tas tanganku entah kemana—raib sejak Aslan menghukumku sore itu dengan caran
Setelah melahap dua potong kebab yang ukurannya hampir sebesar lengan bayi—dan setengah lagi milik Aslan—aku bersandar di kursi dengan perut kekenyangan. Malam Paris yang dingin menyelimuti tubuhku, tapi perutku terasa penuh dan hangat.“Ayo pulang. Aku sudah kenyang,” ujarku, berdiri sambil menyeka ujung bibirku dengan tisu. Lampu-lampu jalan berpendar, menciptakan bayangan samar di trotoar yang basah sisa hujan sore tadi.Namun langkahku terhenti seketika saat menyadari tangan kiriku masih terikat tali kecil ke tangan Aslan. Aku mendengus. Bukan rantai besi, memang, tapi tetap saja menjengkelkan. Tali itu seperti yang biasa digunakan orang tua untuk anak-anak mereka saat ke mal, agar tidak hilang. Bedanya, tali ini pakai kunci pengaman. Dan yang pakai... aku.“Aslan, ini menggelikan. Lepaskan tali ini. Aku bukan anak TK,” keluhku, menggerak-gerakkan tanganku.Namun pria itu justru menatapku dengan mata cokelat yang menyala antusias, serupa bara api kecil yang siap membakar segalanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen