“Besok pagi-pagi kita pergi, sekalian olahraga. Nggak jauh dari sini kok. Malamnya baru acara pertunjukan Fashion Show-nya, kamu masih punya waktu untuk bersantai. Biar otak kamu juga refreshing sedikit,” ujar Melisa sambil menyeruput kopi hangatnya di balkon apartemen.
Jam dua belas malam di Paris—waktu ketika kota ini bersinar dan bernafas dalam sunyi—berarti sudah jam delapan pagi di Jakarta. Perbedaan waktu delapan jam yang awalnya membuatku bingung, kini malah kupikirkan matang-matang. Waktu yang pas untuk menelepon Ayah dan Zio. Rasa rindu menggumpal di dada, aku memilih video call agar bisa melihat wajah mereka.
“Halo, San! Kamu lagi di mana toh, Neng? Kok gelap banget,” ucap Ayah tampak kebingungan.
“Di balkon apartemen Melisa, Yah. Di sini malam, di sana kan pagi. Kita beda waktu delapan jam. Ayah sehat-sehat saja, kan?”
Aku mengarahkan kamera ke lampu supaya Ayah bisa melihat wajahku lebih jelas. Suara di ujung sana terdengar lebih pelan, tapi kurasakan ada keresahan dalam na