Kay menatap layar ponselnya dengan pikiran gamang. Keraguan terpancar pada wajah imutnya. Sesekali ia menggigit bibir, rasanya masih begitu dilemma untuk memutuskan menerima tawaran Prabu, bekerja sama. Namun, semua sudah terucap begitu saja terdorong semua emosi yang tak bisa ia kendalikan. Terutama tamparan perih dari Renata yang membuatnya merasa diinjak kepala.
Waktu sudah menunjukkan bakda isya ketika Kay masih bergeming menatap gawainya. Sejak tadi, dia sibuk menimbang dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikabarkan pada keluarga. Jari-jari lentik Kay sibuk mengetuk-ngetuk layar gawai dengan irama tak menentu sebelum akhirnya ia menarik napas panjang dan memutuskan menghubungi Lilis, Ibunya.
"Assalamu’laikum, Bu," sapa Kay dengan suara pelan.
"Wa’alaikumsalam, Kay, panjang umur. Abang kamu baru saja kelar nelepon Ibu juga, tadi nanyain kamu, " jawab suara lembut dari seberang telepon.
“Kan maren-maren juga baru ketemu, Bu. Lebay ih, Bang Guntur!” cebik Kay, sebetulnya men