Sahabat macam apa yang bisa-bisanya ngerebut calon suami sahabatnya sendiri? Dia bilang katanya, ngarep aku datang dengan muka kusut, sedih dan meraung-raung. Namun sayangnya, dia salah. Aku gak seperti itu, aku justru datang dengan senyum, dan calon suami baru yang membuat semua mata terpaku.________________________________________
view more[https//VirtualInvitation!/ Happy-Wedding-Marsha-Rey.]
Jemari Kay gemetar saat membuka pesan itu di grup W******p alumni SMA. Tidak ada yang salah dengan linknya, tetapi nama yang tertera di dalamnya yang membuat jantung Kay mendadak berdebar hebat. Reynaldi Prayoga dan Marsha Harsila. Apakah hanya nama mereka saja yang kebetulan sama?
Perlahan jemari Kay mengklik link berwarna biru tersebut. Hatinya masih berharap jika itu adalah Reynaldi yang lain, bukan Rey miliknya. Namun, ketika link terbuka, bertambah hancur dan remuk redam hatinya. Foto-foto itu tak bisa lagi dipungkiri, semakin memperjelas jika Kay dikhianati dua orang terdekatnya. Senyum cerah pada bibir Marsha---sahabat karibnya, merekah indah, di sampingnya Rey merangkul mesra pinggang Marsha. Dia berdiri gagah dengan jas warna hitam.
Hati yang perih membuat Kay mengurungkan niatnya untuk langsung pulang. Apalagi dalam link undangan tersebut, hari pernikahan Rey dan Marsha ternyata akan dilaksanakan tiga hari lagi. Berarti hari ini, di rumah Marsha yang berhadap-hadapan dengan rumahnya, semua sedang bersiap menyambut hari itu tiba.
“Tega sekali kamu, Cha. Padahal dua minggu lalu, kita masih mengobrol melalui telepon. Pantas saja kamu terkejut ketika mendengar aku akan pulang.” Kay duduk pada taksi yang sudah dipesannya. Dia meminta pengemudi taksi itu melaju ke arah Jakarta Pusat, bukan ke Depok di mana rumahnya berada. Kay ingat, ada seorang teman SMA-nya yang tinggal di sana. Kay segera menghubungi nomornya. Meskipun belum dijawab, Kay tetap mengarahkan taksi ke arah sana.
“Ke mana Belinda, sih?” Kay membuang napas kasar. Hingga turun dari taksi, pesan pada Belinda masih centang dua warna hitam.
Beberapa menit, Kay mematung di tepi jalan raya. Lalu perlahan dia menarik koper menyusuri tepi jalanan yang ramai. Di depannya ada beberapa orang yang berjalan tergesa. Kay perlahan berbaur dengan serombongan pejalan kaki itu, tampaknya mereka mau menyebrang di lampu merah depan. Kay berjalan di tengah terik dengan pikiran yang kosong.
“Cha … kenapa kamu setega ini? Bukankah kamu tahu … Rey dan aku telah ….” Tenggorokkan Kay tercekat. Tiba-tiba bayangan tujuh tahun lalu, saat malam naas itu terjadi, perlahan terputar kembali.
****
Tujuh tahun lalu
“Kak, Rey? Kenapa aku ada di sini?” Kay terperanjat dan melirik ke kanan kiri. Ini bukan kamarnya, tetapi kamar Rey.
“Ada apa, Kay?” Suara berat Rey membuatnya tersentak. Apalagi sepasang netra Kay melihat pakaian yang teronggok tak jauh dari tempat mereka berbaring.
“Kak Rey, kenapa b—bisa begini?” Kay mulai menangis sesenggukkan. Meskipun dia dan Rey sudah bertunangan satu bulan lalu, tepat ketika pengumuman beasiswa kedokteran Edinburgh Global Undergraduate Scholarship di University Of Edinburg, Skotlandia itu diterimanya. Rey meminta mereka meresmikan hubungan yang sudah terjalin sejak SMA itu sebelum kepergian Kay ke sana. Sore tadi, Rey mengajaknya untuk makan malam bersama sebagai tanda perpisahan. Kay tak menyangka tiba-tiba dia harus terbangun dengan keadaan seperti sekarang.
Rey terlihat tak merasa bersalah. Dia menenangkan Kay dan memeluknya.
“Aku hanya ingin kau tak berbuat macam-macam di sana, Kay. Kamu hanya milikku seorang.” Rey berbisik sambil memeluk erat tubuh Kay, seolah benar-benar takut kehilangan.
****
“Awaaaassss!!!!” Suara teriakkan beberapa orang membuat Kay terperanjat. Dia terkejut, ternyata dia sudah berada di tengah-tengah jalan, hanya saja belum genap kesadarannya datang, suara mobil yang menabrak pembatas jalan terdengar.
Beruntung jalanan ramai lancar dan mobil lainnya masih sempat menginjak rem dengan aman. Hanya mobil naas itu yang melaju dengan tak terkendali. Kay bengong menatap hal itu dan tak berkata apa-apa, lutut dan semua persendiannya terasa lemas. Beberapa orang memburu Kay dan membawanya ke tepi. Sebagian lainnya memburu pengemudi mobil yang sepertinya tak sadarkan diri. Beruntung bagi Kay, pengemudi mobil itu membanting stir tepat waktu. Jika tidak, mungkin kini dirinya hanya tinggal nama.
Polisi datang. Kay masih melongo sambil menatap pria dari dalam mobil itu dievakuasi ke ambulance. Kay masih terpegun ketika mobil yang ringsek bagian kanannya itu dibawa tim kepolisian. Kay masih mematung, sampai seorang polisi menghampirinya dan memintanya ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Pada saat itulah dia tahu jika lelaki yang mengalami luka berat itu bernama Prabu, berusia empat puluh tahun, terpaut lima belas tahun dari Kay yang kini baru berusia dua puluh lima tahun. Dia sudah ditangani di sebuah rumah sakit sekarang. Kay sempat meminta alamat rumah sakitnya. Rasa bersalah menggelayuti hatinya kian hebat.
Kini di sebuah lorong rumah sakit Kay berada. Kay berdiri mematung menatap nomor ruangan. Sebuah ruangan VVIP yang semakin mempertegas jika Prabu---orang yang hampir menabraknya bukan orang biasa.
Kay menelan saliva. Dia menyeret koper miliknya perlahan. Lalu, jemarinya yang gemetar mendorong daun pintu. Tampak di dalam ruangan seorang lelaki terbaring di atas ranjang rawat dengan kaki dan tangan di perban.
“S—Selamat sore, P—Pak!” Kay memberanikan menyapa, meski suaranya tercekat, hampir tak terdengar.
Lelaki itu menoleh dan menatap penuh tanya ke arah Kay. Kay seolah mengerti arti tatapan itu. Dia pun memperkenalkan diri.
“S—Saya Kay, orang yang tadi menyebrang i—itu. S—Saya ….” Kay tak bisa melanjutkan kalimatnya. Tatapan mata Prabu membuatnya benar-benar merasa terintimidasi.
“Perempuan memang selalu membuat masalah! Mau apa kamu?!” Suara ketus dan dingin itu terdengar.
Kay mendekat. Dia kini berdiri di samping ranjang rawat Prabu.
“S—Saya … saya m—mau m—minta maaf.” Kay menunduk dan meminta maaf dengan penuh rasa bersalah. Lidahnya yang kelu, akhirnya bisa menyelesaikan kalimat itu dengan susah payah.
Lelaki itu tersenyum miring, sepasang netranya menyipit memindai wajah Kay.
“Kamu pikir, semua bisa selesai hanya dengan minta maaf, hah?!” Sorot mata beriris biru itu menatap tajam ke arah Kay, membuat detikan berjalan terasa sangat lambat sekarang.
“S—saya akan melakukan apapun agar Bapak bisa m—memaafkan saya.” Satu kalimat akhirnya lolos lagi. Satu kalimat yang mungkin, akhirnya akan Kay sesali. Kalimat itulah yang menyeretnya pada problematika baru dalam kehidupan Prabu.
“Oh, ya? Apapun?” Lelaki itu tersenyum miring sambil menilai Kay yang berdiri dengan perasaan kacau.
Siska tersenyum lega. Dia meminta assitennya mengambilkan tas berisi alat-alat medis miliknya yang selalu ia bawa. Lalu segera memeriksa kondisi Kay, lalu menyipit dan bertanya. “Kamu kapan terakhir datang bulan?” Kay terdiam, semua seperti dejavu. Dulu ketika hamil Pangeran, satu pertanyaan yang sama dari Prabu yang membuatnya tersadar, jika sudah terlewat tiga minggu dan ternyata dia hamil. Kali ini, pertanyaan dr Siska membuatnya mengerjap mengingat-ingat. “Ya Tuhaaan, jangan-jangan ….” Kay menutup wajahnya. Dia baru ingat, kesibukkan dan antusiasme menyambut ulang tahun Pangeran, membuatnya bahkan tak mengingat dengan benar jadwal datang bulannya. "Sepertinya kamu hamil lagi, Kay."Seisi ruangan terdiam sejenak sebelum Prabu berbicara sambil mengangkat satu alisnya. "Berarti gak sia-sia kerja keras kita selama ini, Honey?"Sontak semua yang hadir tertawa melihat tingkah Prabu yang jenaka. Sementara itu, wajah Kay merona. Dia mendelik dan mencubit perut Prabu. “Mas, ish … janga
Mentari pagi menembus tirai putih di kamar utama kediaman Prabu dan Kay, menciptakan cahaya keemasan yang lembut. Di tengah ruangan yang nyaman itu, suara tawa kecil terdengar, menggema dalam harmoni kebahagiaan. Pangeran, bayi kecil yang kini sudah berusia lima belas bulan, berdiri dengan kaki mungilnya yang masih goyah, ditopang oleh tangan lembut Kay."Ayo, Sayang, satu langkah lagi ...." Kay berjongkok di depan Pangeran, kedua tangannya terentang, siap menangkap buah hatinya jika terjatuh. Mata Kay berbinar penuh haru melihat anak lelakinya yang mulai berani melangkah tanpa bantuan.Jehan tak kalah bersemangat. Dia berlutut di samping Kay, wajahnya penuh antusias sambil bertepuk tangan. "Ayo, Adek! Adek! Adek!" Namun, Pangeran kembali terjatuh. Kay dan Jehan kompak tertawa. Prabu yang sejak tadi duduk di sofa, menikmati pemandangan istri dan anak-anaknya, tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Dia menutup laptopnya, bangkit, lalu bersila dan mengambil mainan yang berwarna. "J
Marsha menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan. Hatinya terasa seperti dipelintir, diremuk menjadi kepingan-kepingan kecil yang mustahil untuk diperbaiki lagi. Tanpa menunggu lebih lama, dia berlari ke tepi jalan lalu mencegat sebuah angkot dan segera meninggalkan tempat tersebut dengan luka yang menganga dan perih yang kian dalam. Angkot mulai melaju, meninggalkan kemegahan rumah sakit yang kini hanya menjadi saksi betapa hancurnya hati seorang perempuan yang dulu merasa menang, tetapi ternyata telah kalah sejak awal.Sementara itu, Kay yang baru saja selesai menggunting pita menyerahkan kembali gunting kepada tim EO yang sejak tadi sigap melayani mereka. Lalu sebuah mic disodorkan padanya. Kay menerimanya sambil menyeka sudut matanya yang basah. Namun, tanpa disangka, Prabu mengambil tissue dari sakunya dan menghapuskan air mata sang istri. Sontak sorakan segenap kaum hawa yang merasa iri terdengar riuh. “Saya speechless, gak tahu harus menyampaikan apa.”Kay menjeda. Dia mene
“Ainsley Grup cabang Depok kali ini, lebih dari istimewa. Penyelesaiannya sengaja disesuaikan dengan momen ulang tahun pernikahan saya dengan istri tercinta. Satu lagi yang tak kalah penting. Seluruh akta dan asset dalam rumah sakit cabang Depok ini, bukan lagi milik saya, sejak hari ini … semua ini resmi saya hadiahkan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan pertama saya dengan istri tercinta, Kayshila Aghnia Khansa!” Tak hanya hadirin yang terkejut, Kay dan keluarganya juga.Riuh tepuk tangan menggema. Beberapa berdecak kagum, ada yang menggeleng takjub, ada juga yang memegang dadanya sendiri, ikut bahagia. Seseorang menatap sendu, tetapi tangannya digenggam hangat oleh Fredi. Dialah Firly yang akhirnya datang menghadiri peresmian kantor cabang. Namun, dua orang dari masa lalu Kay terperanjat luar biasa ketika melihat sosok mungil yang terlihat berkelas dan menawan, menghampiri lelaki gagah yang tadi memanggilnya. Lalu, Prabu mengecup punggung tangan Kay dengan romantis, sesaat set
“Ya ampuun, Non Jehan, Mbak sampe khawatir.” Dia tergopoh mendekat. “Kenapa, Mbak?” Kay menatap Leni. “Tadi sibuk beli-beli ini, Bu. Katanya buat adek bayi. Nah itu sendoknya dibawa kabur duluan.” Leni menunjukkan kantong belanja yang ditentengnya. Kay dan Prabu saling bertukar pandang, lalu mereka memeluk Jehan bergantian. Rupanya dia begitu antusias ketika diberi tahu akan punya adik. Langsung membeli beberapa mainan dan sendok-sendok kecil untuk hadiah dedek bayinya nanti. Malam itu mereka habiskan dengan penuh suka cita. Sebuah kebahagiaan baru menyelinap hadir. Harapan Prabu kian deras mengalir. Dia ingin memiliki banyak anak dan membuat suasana rumah menjadi ramai. “Habis ini, nanti bisa gak kita program bayi kembar, Honey? Biar cepet banyak,” bisik Prabu yang dihadiahi cubitan kecil di perutnya oleh Kay. *Waktu terus bergerak. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya rumah sakit cabang Depok yang Prabu siapkan untuk kejutan, kini sudah selesai. Bangunan megah itu ber
“Astagaa, jadwal datang bulanku kelewat tiga mingguan. Apa jangan-jangan?” Kay meraba perutnya dengan pandangan masih tertuju pada tanggalan yang ada di kalender meja. Suara pintu yang terbuka membuat Kay menoleh, Prabu sudah berdiri sambil memperhatikannya. “Kenapa?” “Enggak, kok.” Kay tak hendak membuat Prabu berharap, tetapi dia sendiri sudah menaruh curiga jika kemungkinan dia sedang hamil, apalagi perubahan emosinya terasa begitu jelas akhir-akhir ini. “Masih marah?” Pertanyaan Prabu membuat Kay menatap pekat wajah lelaki itu, lalu menggeleng, “Aku cuma gak suka Mas urusin perempuan itu.” Prabu membuang napas kasar. Jika biasanya, dia sudah menarik Kay ke dalam dekapan. Namun, saat ini tampaknya Kay sedang mode garang. Jadinya Prabu memilih menjatuhan tubuhnya ke tepi tempat tidur dan menatap Kay. “Yang urus dia siapa? Kerjaan aku aja banyak, Honey.” Prabu berbicara dengan raut muka serius kali ini.“Dia datang ke rumah kita, Mas.” Kay akhirnya buka suara. “Firly?” Prab
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments