“Tadi itu ‘kan Pak Prabu di kamar mandi, tapi kursi rodanya kenapa ada di tepi tempat tidur, ya? Harusnya ‘kan dia ke kamar mandi bawa kursi roda. Terus, gimana caranya dia pergi ke kamar mandi tanpa kursi roda sedangkan kakinya ‘kan lumpuh?”
Beragam pertanyaan yang menyelimuti batin Kay, membuatnya reflek kembali memutar tubuh dan melangkah cepat menuju kamar Prabu. Kay ingin tahu, bagaimana cara Prabu bisa ke kamar mandi dan kembali ke tempat tidur, tanpa kursi roda.
Klik halus terdengar ketika Kay memutar kunci, lalu pintu didorongnya perlahan dengan dada berdebum hebat. Kay merasa, jika Prabu sudah membohonginya. Seiring dengan pintu yang terbuka lebar, sepasang netra Kay membeliak, tenggorokkannya tercekat.
“Hey, tutup pintunya!” Suara Prabu terdengar datar.
Kay buru-buru menutup pintu dengan menggeleng kepala.
“Astagaaa, mataku tern*da.” Kay merutuki dirinya sendiri. Sepagi ini sudah disuguhkan pemandangan yang membuat jantungnya melompat-lompat. Ketika pintu itu dibukanya, bukan hanya onggokkan kursi roda yang dia lihat, tetapi tubuh kekar Prabu yang sedang berganti pakaian.
Kay masih menenangkan debar jantungnya ketika pintu kamar terbuka. Wajah Prabu yang terlihat segar muncul. Sepasang mata dengan iris biru itu menatapnya lekat. Dia sudah duduk di atas kursi roda dengan pakaian lengkapnya.
“Sepagi ini kamu mencari saya, ada apa?” tanyanya dingin.
Kay menoleh dan menatap lekat wajah Prabu. Sialnya bayangan ketika dia duduk di kursi roda dan seteangah tidak berpakaian, kembali terbayang dan membuat rona merah jambu menyapu wajah Kay.
“Ada yang ingin saya tanyakan pada Pak Prabu! Boleh masuk?” tanya Kay dengan pandangan penuh rasa curiga.
Prabu menautkan alisnya. Dia pun memundurkan kursi rodanya. Lalu dibantu Kay dia kembali masuk ke dalam kamar.
“Bapak itu, pura-pura lumpuh ‘kan?” Kay menatap wajah Prabu dengan sepasang netra menyipit. Dia menatap wajah lelaki berusia empat puluh tahun itu yang terlihat menautkan alis.
“Kamu sudah membuat saya celaka! Sekarang kamu menuduh saya tanpa bukti, hmmm … bagus, mau kamu apa?” Prabu menatap wajah Kay dengan senyum miringnya.
“Tanpa bukti, coba sekarang jawab pertanyaan saya. Kalau Bapak benar-benar lumpuh, bagaimana cara Bapak ke kamar mandi tanpa kursi roda, hmmm?” Kay bersedekap dan menatap wajah Prabu dengan tajam.
“Begitu saja nanya! Tuh!” Prabu terkekeh sambil mengarahkan pandangan ke arah samping lemari dengan sudut matanya. Kay reflek mengikuti arah mata Prabu dan terlihat dua buah tongkat penyangga tersandar di sana.
“Kamu pikir, kursi roda bisa masuk ke kamar mandi! Udik boleh, bodoh jangan!” kekeh Prabu terdengar mengejek Kay.
“Ya Tuhaaan, aku gak kepikiran dia punya tongkat juga. Iya juga, ya, kursi roda ‘kan memang gak bisa masuk ke kamar mandi. Duh, gara-gara pikiran kacau, kenapa aku jadi bodoh gini, ya? Semua ini gara-gara Kak Rey. Otakku masih saja dipenuhi dia. Hmmm … cuma … melihat kondisinya yang kelihatan segar, aku gak yakin memang kalau dia beneran patah kakinya! Gimana caranya biar aku bisa memeriksa kakinya, ya?” Kay sibuk berbicara dalam hati.
Melihat Kay terdiam, Prabu merasa di atas angin. Dia menatap wajah Kay dan berbicara.
“Karena kamu sudah menuduh saya yang bukan-bukan, hari ini, kamu saya hukum! Hukuman pertama suapi saya sarapan!” ketus Prabu sambil menyerahkan piring miliknya pada Kay.
“Ehhhh!” Sepasang netra Kay membeliak. Dia menghembuskan napas kasar. Namun, dia tak bisa menolak. Bukankah memang dia di sana untuk penebusan dosa. Dengan wajah manyun, Kay menyuapi Prabu pelan-pelan. Sementara itu, dia sibuk menelpon seseorang.
“Fred! Gimana, perempuannya sudah dapat?” tanyanya dengan nada tak sabar. Lalu ia menjeda, sambil mengunyah makanan yang disuapkan oleh Kay.
“Tolong dipercepat, Fred! Saya harus membawa dia ketemu mama. Setidaknya mama gak akan terus-terusan mempertahankan Renata. Minggu ini bisa?”
Kay hanya melirik sesekali sambil sibuk memikirkan cara untuk bisa melihat l*ka di kaki Prabu.
“Ya, ya, tolong Fred! Sudah mu*k dengan perempuan bermuka dua itu. Kamu tahu sendiri ‘kan seperti apa li4rnya dia? Sayangnya, aktingnya terlalu sempurna. Di depan mama, dia adalah sosok bidadari tanpa cela.” Prabu menjeda. Merasa suapannya terhenti, Prabu menyenggol lengan Kay yang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Kay menoleh, Prabu membuka mulut tanpa suara. Kay manyun dan menyuapkan kembali nasi uduk dari piring yang dipegangnya. Dia tak sadar, sesekali Prabu meliriknya sambil menggeleng pelan.
“Ya, masih! Akting ‘kan harus dibalas dengan akting!” kekeh Prabu sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.
Hening tercipta di antara keduanya. Kay memilih diam sambil sesekali melirik dua kaki Prabu yang dililit perban. Tiba-tiba ide cemerlang melintas di kepalanya.
“Pak, sebagai permintaan maaf saya. Boleh saya bantu ganti perbannya?” tanya Kay. Dia tersenyum sambil menatap wajah Prabu. Dia sudah bisa mengendalikan emosinya sekarang.
“Ganti Perban?” Prabu memicing dan menatap Kay.
“Ya, ganti perban! Khawatir luka di kaki Bapak memiliki risiko infeksi tinggi. Jika begitu, perban harus diganti setiap hari, Pak. Biar lukanya tetap bersih dan tidak menjadi sarang bakteri!” jelas Kay sambil menatap perban yang melilit kaki Prabu.
“Hmmm, sebaiknya kamu tak menambah masalah dengan saya, Kay! Saya khawatir l*ka saya bukannya sembuh kalau kamu yang tangani, malah semakin parah! Kalau kamu mau berbuat baik, kebetulan badan saya pegal-pegal! Bisa pijit?”
“Hah?” Kay reflek menelan saliva. Bayangan Prabu setengah tanpa pakaian kembali terbayang.
“Kamu mikir apa, Kay! Saya hanya pegal bahu, bukan pijit yang lain!” ketus Prabu sambil meminta Kay yang sudah selesai menyuapinya untuk memijitnya.
Mau tak mau, Kay pun duduk di tepi tempat tidur dan menarik kursi roda Prabu mendekat. Dia malas kalau harus berdiri, pegal juga dari tadi.
Kay mulai memijit bahu Prabu yang duduk di kursi roda dengan setengah ikhlas. Sesekali Prabu mengarahkan titik yang dirasa pegal oleh dia. Sesekali, tangan Prabu tanpa sengaja menyentuh tangan Kay dan Kay menarik jemarinya spontan.
“Bapak arahkan saja, gak usah pegang-pegang!” hardik Kay.
“Jadi perempuan geer banget, siapa juga yang mau pegang kamu!” ketus Prabu tak terima.
“Buktinya, dari tadi kayak gitu!” oceh Kay.
Prabu yang kesal, sengaja meraih tangan Kay dan memegangnya, “Kalau megang itu, gini, Kay! Gini! Yang tadi itu---,”
Klik!
Dan pada saat itu, pintu kamar terbuka, tepat ketika Prabu memegang tangan Kay. Sepasang netra Renata menatap curiga pada Kay dan Prabu.
“Heh, kamu! Lancang sekali pegang-pegang suami saya! Kamu mencoba menggoda suami saya, ya? Sadar! Kamu itu pembokat, gadis ud*k, gak sepadan! Jangan mimpi bisa menggoda suami saya!” hardik Renata penuh kemarahan.
Kay menggeleng dan reflek menarik tangannya yang masih digenggam Prabu. Namun, melihat Renata marah, Prabu malah memiliki ide g*la. Dia malah menarik lengan Kay ke d*danya.
“Kamu gak ada hak lagi ngatur aku, Re. Mau aku ngapain sama Kay, bukan urusanmu! Kay itu gadis baik-baik dan terhormat! Tolong jaga bicaramu!” tegas Prabu, si*lnya bagi Kay, lelaki itu seperti sengaja memanfaatkan momen. Dia tak melepaskan tangan Kay meski susah payah dia menariknya.
“Eh, Mas! Dia itu cuma pembantu di sini! Kamu malah belain dia, sih? Sadar, Mas! Sadar, dia itu cuma upik abu!” Renata menatap tajam ke arah Prabu. Dia mendekat dan hendak mendorong Kay, tetapi satu tangan Prabu yang lain menahannya.
“Sayangnya, bagiku, Kay lebih baik dari pada kamu! Ingat Re, Kita sudah cerai! Bahkan tanpa perlu menunggu masa iddah kita selesai, aku bisa menikahi siapapun, termasuk Kay, dan kamu tak bisa mengatur-ngaturku lagi!” tutur Prabu dengan suara dingin dan tegas.
“Ya Tuhaaan, Pak Prabu ini apa-apaan, sih?” Bahu Kay melorot. Sadar sekali, lelaki itu sedang memanfaatkannya.
Seketika pintu dibanting dengan keras. Renata mendengus sebal dengan wajah memerah. Sementara itu, Prabu kembali mengucap kalimatnya dalam d*da, seperti baru tersadar akan satu hal.
“Kenapa baru kepikiran sekarang. Sepertinya Kay adalah gadis yang tepat untuk mengusir Renata dari hidupku. Jika Kay tak mau, kubilang saja akan kutuntut ke jalur hukum karena dia sudah menyebabkan aku c*cat. Hmmm … ide bagus! Semoga bisa berjalan dengan lancar!”