Namun ketika Dikta membuka pintu kontrakan dan melangkah keluar menuju teras, langkahnya terhenti seketika.
“Dikta?”
Suara itu membuat jantungnya mencelos. Ia menoleh cepat. Di sana, berdiri Bu Sinta—ibunya—dengan daster bunga-bumga dan wajah penuh curiga. Rambutnya yang sebagian memutih digulung seadanya, dan mata tuanya menatap ke arah ransel besar yang tersampir di punggung anak satu-satunya itu.
“Lho… kamu bawa-bawa tas segede itu, mau ke mana?” tanyanya dengan nada cemas.
Dikta menghela napas dalam dan mencoba tersenyum, meski wajahnya masih terlihat tegang. “Aku… mau pergi, Ma. Temen ngajakin kerja di luar kota. Katanya ada lowongan di pabrik, gajinya lumayan…”
“Lho! Kok mendadak banget?” Bu Sinta maju beberapa langkah. “Kamu enggak cerita apa-apa sebelumnya."
"Kan aku udah bilang kalah ini dadakan, Ma."
"Tapi ini udah malem loh Dikta," Bu Sinta mendekati Dikta. Ekspresi cemas tergambar di wajahnya. "Kamu mau kerja di mana?"
"Ma aku juga belum tau di mana pastinya. Tapi yang jel