Share

9. Memacu Adrenalin

Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.

Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.

Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.

Ruri : Kiraaaan!

Kiran : Apaan sih?

Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?

Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.

Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.

Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.

Kiran : Gak tertarik.

Ruri : Yakin?

Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.

Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana rumah hantu yang berada dekat dengan sekolah kami. Hanya butuh lima menit perjalanan dari sekolah untuk mengunjungi destinasi untuk merasakan pengalaman horror tersebut.

Kiran : Iya deh, siapin cepat bukumu. Aku kirim malam ini juga.

Aku bisa melihat wajah semringah Ruri ketika berhasil mengumpulkan buku yang berisi pekerjaan rumah untuk pelajaran Kimia. Dia kemudian beralih menatapku.

"Makasih banyak Kiran," ujar Ruri lalu merogoh sesuatu dari saku rok abu-abu yang dipakainya.

Sebuah lolipop kini terpampang di hadapanku. Aku tentu tergiur melihat warna ceria dan meriah pada lolipop tersebut. Bisa kubayangkan bagaimana rasa manis yang akan memenuhi setiap sudut indera perasaku.

"Hari ini cuma kita berdua yang ke rumah hantu?" tanyaku memasukkan lolipop dari Ruri ke dalam tas. Akan kunikmati ketika menonton film atau drama Korea nantinya.

Ruri mengangguk pelan. "Soalnya wahana rumah hantunya, kita bakal naik kereta. Bukan jalan kaki."

Aku mengangguk pelan. Bisa kubayangkan bagaimana suasana dan atmosfir rumah hantu tersebut. Aku sebenarmya bukanlah perempuan yang pemberani-rani amat, tetapi kapan lagi bisa mengunjungi tempat horror seperti itu? Tidak selamanya wahana rumah hantu itu ada di kota ini.

Suasana kelas menjadi sunyi kala pelajaran Bahasa Jepang memasuki waktunya, tepat pada jam terakhir. Bagi mereka yang menyukai menonton anime atau dorama Jepang, maka pelajaran ini akan terasa menyenangkan. Siapa tahu ad adi antara teman sekelasku bakal jadi translator atau dubber Bahasa Jepang. 

Namun berbeda denganku dan Ruri yang masih kesulitan mengingat dan membedakan huruf katakana dan hiragana. Padahal aku telah mempelajarinya selama tiga tahun terakhir. 

"Aku bahkan belum mahir membedakan beberapa kata baku dan tidak baku ketika menulis esai Bahasa Indonesia, lalu apa sekarang?" keluh Ruri membuatku menahan tawa.

Kali ini kami disuruh mengisi beberapa pertanyaan memakai Bahasa Jepang, setelah kami diberi materi berupa beberapa contoh penggunakan partikel dalam kalimat. Kulirik Guru Bahasa Jepang kami sedang menerima telepon, sehingga keluar dari ruangan kelas.

"Apa setan Sadako juga akan muncul di wahana rumah hantu nanti?" tanyaku dengan nada berbisik. Aku terus fokus menulis dan memandang hasil tulisanku.

Suara kekehan kecil Ruri lalu terdengar. "Sadako kan bisa dibilang wujud kuntilanak yang geraknya ngesot, lalu keluar dari sumur dan bisa tembus dari layar televisi," balasnya terdengar polos.

"Jadi kau tidak takut nih?" tanyaku kini menoleh.

Kulihat Ruri menghentikkan tulisannya. Kepalanya ikut menoleh. "Tidak dong. Mereka yang jadi hantunya kan cuma manusia yang memakai kostum dan riasan."

Aku mengernyitkan dahi tidak yakin. Obralan kami kemudian berakhir, ketika Guru Bahasa Jepang kembali masuk ke dalam kelas dan meminta yang sudah selesai agar mengumpulkan tugasnya.

Tepat setelah pulang sekolah, aku dan Ruri memakai taksi daring untuk menuju wahana rumah hantu, tetapi rasa lapar yang tidak dipenuhi dengan baik pada saat jam istirahat, membuatku dan Ruri memutuskan menikmati pentol yang mana mas-mas jualan sedang mangkal dekat pintu masuk.

"Hm, ini enak loh Mas," puji Ruri setelah menghabiskan goceng untuk membeli pentol. "Kalau aku beli lima ribu lagi, boleh ditambah dua gak?" 

Mataku membulat mendengar bujuk rayu Ruri. Kini aku mengerti, kenapa Ruri tidak langsung membeli pentol seharga sepuluh ribu alias ceban sepertiku tadi.

Suara Mas Penjual Pentol terkekeh kecil. "Iya deh Neng, nanti Mas tambahin."

"Yes!" pekik Ruri dengan girang.

Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat tingkat Ruri. Perut kekenyangan membawa kami pada akhirnya masuk ke wahana rumah hantu. Aku mengira bentuk bangunan rumah hantu akan seperti rumah kosong, tetapi aku lupa bahwa nantinya kami akan memakai kereta. 

Jadinya bangunan rumah hantu tersebut didesain terlihat memanjang. Adanya tirai besar dan panjang di bagian depan sebelum masuk membuatku tidak bisa menebak bagaimana penampakan awal di sana. Apalagi antrean cukup panjang, bahkan bagiku dan Ruri yang sudah memegang tiket.

"Kiran?"

Sebuah suara familier membuatku berbalik badan. Betapa terkejutnya aku melihat Deril berdiri tepat di belakangku.

"Deril."

Ruri yang tadinya berdiri di depanku, kini mensejajarkan dirinya denganku sambil ikut berbalik badan.

"Kalian mau masuk?" tanya Deril dengan alis terangkat.

Aku mendengus pelan. "Iyalah, gak mungkin kan aku dan Ruri antre kalau gak mau masuk."

Deril terkekeh kecil. "Bukan itu maksudku, tapi menurut pengalaman orang yang sudah masuk di sana, suasananya cukup menyeramkan."

"Masa sih?" tanyaku sedikit ragu.

"Benar loh, bahkan Kakak perempuanku yang sudah kuliah sampai menangis," sahut seorang lelaki yang berdiri di belakang Deril. Melihat seragam SMA-nya, membuatku yakin bahwa lelaki itu adalah satu kelas Deril yang tidak kuketahui namanya.

"Oh ya, dia Lintang. Teman sekelas," ujar Deril yang mungkin menyadari tatapan bingungku dengan Ruri.

Aku dan Ruri kemudian berjabat tangan dengan Lintang sebagai perkenalan diri. Ketika suara pengumuman agar antrean maju ke depan, aku dan Ruri kembali berbalik badan. 

Ketika tubuh kami berdua melewati tirai, mataku melotot melihat pintu gerbang sesungguhnya untuk masuk ke dalam wahana rumah hantu. Bagian atasnya terdapat patung tengkorak besar dan suara-suara menyeramkan mulai terdengar menggema.

"Silakan naik kereta ini," ujar petugas wahana setelah Ruri menyerahkan tiket kami. Begitu pula dengan Deril dan temannya yang menyusul di belakang.

Kereta mulai berjalan pelan, diiringi oleh suara-suara yang mampu membuat bulu kudukku berdiri. Aku dan Ruri berada pada bangku belakang, sedangkan di depanku terdapat Deril.

"Haaaa…," teriakku dan Ruri ketika mengetahui bahwa jalur kereta bukan hanya lurus dan datar. Melainkan berkelok dan bergelombang.

Aku tidak bisa menyebut wahana ini sebagai rumah hantu, lebih tepatnya lorong hantu. Suasananya sangat gelap dan sebagian besar hanya memakai lampu yang cahaya seolah dibiarkan redup.

Kurasakan kereta seolah melambat, membuat tanganku spontan menggenggam tangan Ruri. Kulirik Deril juga berusaha mengedarkan pandangannya dengan waswas.

"Itu pocong Kiran," seru Ruri menunjuk sesuatu yang telah berdiri di depan kami.

Namun baru saja fokus kami memandang takut ke arah pocong tersebut, tiba-tiba terdengar suara cekikan wanita dan begitu aku menoleh, terlihat kuntilanak baru saja merangkak dari sebuah lubang buatan.

"Aaahhh, gila," teriakku spontan memukul punggung Deril.

Kami melewati pocong dan kuntilanak tersebut dengan tenaga yang hampir terkuras, karena berteriak. Begitu kereta berbelok, dua pasang tangan dengan kuku yang panjang seolah akan menampar wajah dua lelaki di depanku dan Ruri.

"Anjir apaan nih," seru Lintang terkejut.

Melihat reaksi Lintang membuatku dan Ruri tertawa pelan. Kulirik Deril tampak tidak bergeming dan malah menggeleng-gelengkan kepalanya memandang temannya itu.

Perjalanan berlanjut hingga terlihat kabut asap di bagian depan. Mataku terbelalak begitu kini mendengar suara tangisan bayi. Ini melebihi bayanganku, bahwa wahana ini hanya sedikit menakutkan. 

Benar saja, penampakan hantu satu per satu mulai muncul. Bukan hanya jenis hantu yang biasa ada di film, tetapi juga mulai merambah negara lain. Bahkan Sadako dan Valak pun menyambut hangat kereta kami yang lewat.

"Gila gila, aku gak akan mau masuk lagi," ujar Ruri begitu kami berhasil keluar.

Aku sendiri merasa sedikit pusing, karena kebanyakan berteriak dan telah merasakan keringat pada punggungku, akibat mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencoba kuat di dalam.

Deril terkekeh kecil. "Bayangkan jika kalian hanya berdua di dalam."

"Aku bahkan juga tidak bisa membayangkan diriku sendirian di dalam," sahut Lintang yang kurang lebih sama terkejutnya denganku dan Ruri.

"Kok bisa sih, kau tidak takut?" tanyaku heran kepada Deril. Seolah lelaki itu berteman dengan hantu-hantu di dalam.

"Mereka kan cuma sekadar cosplay hantu, ditambah suara-suara aneh. Aku bahkan kecewa, karena tidak menakutkan apa yang dibicarakan orang-orang," balas Deril dengan tenang.

Aku mendengus kesal. "Aku datang ke sini berniat melepas penat sebelum akhir pekan, tapi kenapa malah membuang energiku."

Aku lalu memikirkan bahwa ajakan makan bersama Evan hari minggu untuk mencoba membuat mood-ku kembali tenang.

Eh, bagaimana ya kalau aku dan Evan memasuki wahana ini bersama? 

Apakah lelaki itu penakut atau seberani Deril? Atau aku bisa memeluk lengannya saat ketakutan, seperti yang kulakukan kepada Ruri tadi?

"Kiran, mukamu merah sekali? Saking takutnya ya?" ujar Ruri membuat imajinasi liarku tersadarkan.

"Apaan sih, ya sudah kita pulang yuk?"

Baru saja aku menarik tangan Ruri untuk keluar dari pekarangan wahana rumah hantu, tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menahanku.

"Kiran, biar aku antar. Kebetulan aku dan Lintang bawa mobil ke sini," ucap Deril yang ternyata menahan tanganku.

Aku mengerjap sekali menatapnya dan kulirik wajah semringah sekaligus terkejut dari Ruri. Bisa kubayangkan apa yang ada di kepala perempuan itu.

♡♡♡

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status