Share

10. Minggu Sempurna

08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh. 

Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan.

"Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.

Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.

Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.

Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?

Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.

Kak Evan♡ : Kerja laporan.

Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku melirik rumah depan dan terlihat beberapa lampu masih menyala.

Kiran : Kak Evan sudah makan malam? 

Kak Evan♡ : Pertanyaan apa itu? Kenapa tidak berbobot sama sekali.

Mataku membulat membacanya. Seketika aku menghela napas frustrasi. Pikiran bahwa Evan akan menganggap pemikiranku sangat dangkal membuat suasana hatiku berubah dratis, yang tadinya berbunga-bunga kini seolah berkabut.

Kiran : Siapa tahu Kak Evan terlalu sibuk kerja sampai lupa makan :(

Kak Evan♡ : Kiran … kalau manusia lapar pasti instingnya cari makan. 

Jawaban yang terdengar ilmiah, tetapi menohok membuatku melempar ponsel ke atas tempat tidur, lalu ikut melempar tubuhku dalam posisi tengkurap. Aku menenggelamkan wajahku ke bantal, lalu membalik kembali tubuhku.

"Apakah jawaban seperti itu juga akan diberikan Kak Evan kepada pacarnya?" gumamku merasa bahwa pertanyaan sederhana tersebut sering muncul dalam percakapan via telepon antar pasangan kekasih.

Aku bahkan mengakui bahwa beberapa bulan menjalin hubungan dengan Fahmi, maka pertanyaan seperti itu kebanyakan yang muncul. Namun sepertinya melihat usia Evan yang lebih dewasa, pertanyaan seperti itu sudah tidak relevan lagi baginya.

"Sepertinya aku harus sering membaca dan menonton berita terkini, mungkin Kak Evan suka membahas tentang hal begitu," ucapku merasa bahwa membuka obrolan dengan Evan lebih sulit dibandingkan mencari materi untuk mengerjakan makalah.

Hari minggu datang juga, dengan menyetel alarm, aku tidak terlambat untuk bangun. Aku bahkan masih sempat membantu ibuku untuk menyiapkan sarapan, sedangkan ayah sudah pergi lari pagi.

"Tumben bangun cepat," sapa Kanaya dengan wajah bantalnya. Bahkan sapaan paginya sangat menyebalkan.

Aku menaruh mangkuk besar berisi nasi goreng ke atas meja makan. "Hari ini mau jalan sama Kak Evan," ujarku dengan nada sombong.

Kulihat Kanaya mendelik. "Benar Kak Evan mengajakmu jalan?"

Aku mengangguk dengan cepat. "Iya dong. Pembukaan restoran Jepang yang didirikan oleh temannya."

Kanaya kemudian menyungging senyuman miring. "Oh gitu … paling Kak Evan membawamu, karena akan menggunakanmu sebagai alasan untuk pulang dengan cepat."

Aku menggeram, langsung duduk di depan Kanaya dan segera mengambil nasi goreng dan memakannya dengan emosi. Kulirik kakak perempuanku itu menahan senyum dan makan dengan santainya.

Mencoba tidak terpengaruh dengan ucapan Kanaya, setelah sarapan dan mencuci piring, segera aku kembali ke kamar dan memilih pakaian yang akan kugunakan nanti.

Aku membuka lemariku dan memandang pakaian yang biasa aku pakai untuk jalan-jalan. Aku mengeluarkan blouse kuning dan rok panjang putih bercorak bunga. 

"Ouh, ini terlihat terlalu kuno dan kolot," komentarku mengangkat gantungan kedua jenis pakaian tersebut dan melihatnya dengan saksama. Otakku membayangkan ketika memakainya dan berdiri di samping Evan yang mungkin tampil dengan keren. Sangat tidak sepadan.

Kemudian ada jaket denim dan celana jeans biru. Aku menyipitkan mata dan merasa terlalu tomboy apabila mengenakannya nanti. Pilihanku akhirnya jatuh kepada blouse orange dengan kerah ruffled dan celana kulot. Selesai memilih pakaian membuatku berlanjut memasukkan dompet dan ponsel ke dalam sling bag yang biasa aku gunakan untuk berjalan-jalan singkat dan santai.

Tanpa membuang waktu agar nantinya bisa berdandan yang santai, aku segera mandi. Jika biasanya aku akan menghabiskan waktu hampir satu jam di dalam kamar mandi, maka kali ini setengah jam cukup.

Pakaian sudah, tas sudah, oh … sepatu. Masih dengan memakai baju mandi dan handuk pada rambutku yang basah, aku segera menuju rak sepatu yang terdapat di dekat pintu depan. Namun begitu sampai di sana, aku baru menyadari bahwa sepatu ballet flat milikku rusak. Hanya tersisa sneakers dan boots yang tidak mungkin aku pakai nanti.

Mataku lalu menangkap flatform sandals milik Kanaya. Aku melirik sekitar sekilas, memastikan Kanaya tidak berada di sana ketika aku membuka pintu kaca rak sepatu.

"Kalau dia mau murka setelah jalan-jalanku bersama Kak Evan, maka tidak masalah," ucapku lalu menegak saliva dan mengambil sandal Kanaya tersebut, lalu masuk ke dalam kamar.

Setelah berpakaian, aku mulai memoles wajahku dengan hanya memakai hiasan sederhana, tetapi tetap menonjolkan beberapa bagian. Seperti pipi yang blush  warna merah mudah, bibir dengan liptint, maskara dan eyeliner. Pemakaian BB cream membuat wajahku cerah tanpa noda, namun terlihat tidak berat dibanding memakai foundation yang biasa dipakai ibuku.

Kurang dari sepuluh menit, aku mendapat notifikasi pesan dari Evan. Kali ini bukan lagi via pesan pada umumnya, melainkan WhatsApp dan itu membuatku senang.

Kak Evan♡ : Ayo kita berangkat sekarang.

Aku pun segera membalasnya. Takut Evan akan mengira bahwa aku belum siap dan lelet.

Kiran : Oke, aku segera ke sana.

Aku bukan berlari atau berjalan terburu-buru, ketika keluar kamar. Melainkan waswas, takut Kanaya akan melihatku memakai salah satu sandal kesayangannya. Namun melihat Kanaya tidak berada di ruang tengah dan ruang tamu membuatku berasumsi bahwa perempuan itu berada di dalam kamarnya.

Senyum bahagia langsung tersungging di wajahku. Namun senyuman itu sirna, begitu aku membuka pintu dan berpapasan dengan Kanaya yang kelihatannya baru akan masuk ke dalam rumah.

"Kau darimana?" tanyaku spontan.

Alis Kanaya terangkat sebelah. "Buang sampah."

Aku yang tidak berharap pandangannya akan tertunduk, nyatanya sudah dilakukan oleh Kanaya sekarang dan membuatku tegang sekaligus menegak saliva.

"Pantas aku tidak melihat sandalku itu di rak sepatu tadi," ujarnya kembali menatapku.

"Biarkan aku meminjamnya hari ini," pintaku berusaha menunjukkan wajah memelas.

Kanaya menghela napas sejenak. "Pastikan tidak rusak," balasnya lalu berjalan mendahuluiku.

Mendapat izin sudah menggunakan sandal membuatku segera menuju rumah depan dan kulihat lampu mobil milik Evan telah menyala. Artinya lelaki itu sudah berada di dalam mobil.

Begitu aku membuka pintu mobil bagian depan di sebelah pengemudi, aroma parfum maskulin langsung menyeruak.

"Wah Kak Evan harus sekali," ujarku spontan lalu segera naik duduk.

Aku melihat Evan hanya menyeringai kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan aku hanya menggenggam tali sling bag milikku. Bibirku terasa keluh untuk membuka obrolan kali ini, karena melihat penampilan lelaki di sebelahku yang begitu keren dan terlihat semakin tampan.

Evan hanya memakai jaket berkerah abu-abu dengan dalaman kaus oblong hitam, celana denim hitam dan sepatu kulit. Namun itu sudah menyihir mataku agar terus meliriknya dari samping.

Untung saja jarak restoran yang cukup dekat, sehingga kami cepat sampai dan membuatku tidak berhalusinasi lebih lanjut. Perasaan kagum itu kemudian berganti dengan gugup, melihat banyaknya orang yang datang.

Setelah berhasil masuk ke dalam restoran. Evan langsung memberi selamat kepada temannya dan aku hanya bisa berdiri di belakangnya sambil memandang sekitar. Evan sempat memperkenalkanku dengan sang pemilik restoran yang bernama Figo.

"Ayo kita bergabung ke sana," ajak Figo yang menjadikan Evan berjalan menuju salah satu meja yang terdapat lima orang dan semuanya adalah laki-laki.

"Woy Evan, kirain kau tidak datang." Salah satu pria dengan senyuman langsung menyambut dan menjabat tangan Evan.

Evan tertawa pelan. "Tentu saja aku datang. Figo mengirimkan undangannya langsung."

"Kukira kau hanya akan datang sendiri  seperti kami." Pria lainnya kemudian melihat ke arahku.

Evan ikut berbalik badan sekilas. "Ayo duduk," ajaknya mendorongkan kursi keluar.

"Wah baiknya Evan ini," celetuk pria pertama yang mengajak Evan bicara tadi.

"Oh ya, namanya siapa?" tanya salah satu pria yang duduk di depanku sambil tersenyum lebar.

Aku hanya mengerjapkan mata sebentar. "Kiran," balasku singkat.

"Aku Raka." Lelaki bernama Raka itu lalu mengulurkan tangannya. Namun ketika aku akan menjabat tangannya, tiba-tiba dari arah samping Evan menepis tangan lelaki tersebut.

"Tidak usah modus sembarang. Kiran adalah adikku."

Aku terkejut sekaligus bingung apakah harus senang, karena tepisan tangan Evan atau sedih, karena seolah menegaskan bahwa dia hanya menganggapku sebagai adiknya.

Pria lainnya tertawa. "Sudah kuduga bahwa Kiran bukan pacarmu. Dia terlihat terlalu muda untukmu. Iya kan Kiran?"

Aku mengangguk singkat. "Aku baru berusia tujuh belas tahun."

"Lihatlah, Kiran masih anak SMA dan di bawah umur," balas Raka sambil menghela napas.

Aku melirik Evan tersenyum tipis. "Tapi dia bukan anak di bawah umur. Kau sudah punya KTP bukan?" tanyanya menoleh padaku.

Sekali lagi aku menganggukkan kepala. "Aku bukan lagi anak-anak."

Evan tersenyum simpul. Dia tersenyum seperti itu sambil menatapku untuk pertama kalinya. Sebuah senyuman yang terlihat tulus dan membuat dadaku berdebar kencang saat ini.

Tidak lama kemudian pelayan membawakan kami makanan dan membuat Evan kembali menghadap ke depan. Disertai Figo yang datang ke meja kami.

"Makanlah yang banyak semuanya. Termasuk Kiran," ucap Figo dengan ramah. 

Aku pun mengangguk spontan. "Terima kasih Kak Figo."

"Ini." Sebuah sumpit kemudian diberikan Evan padaku. Aku menoleh memandangnya yang mulai sibuk mengaduk ramen di dalam mangkuknya.

Aku tersenyum tipis. "Selamat makan Kak Evan."

Evan ikut menoleh dan menatapku untuk beberapa saat. "Kau terlihat manis hari ini." Dia kemudian mulai menyeruput mie ramennya. Sedangkan aku masih terpaku oleh perkataannya tadi.

Deg.

Rasanya jantungku akan copot hari ini. Setelah senyuman tadi, kini Evan memujiku dengan nada berbisik. 

Aku … benar-benar bersyukur datang ke restoran ini bersamanya. Sepertinya aku semakin jatuh hati kepada Evan. Perlu usaha yang lebih keras lagi, semangat Kiran!

***

♡♡♡

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status