Share

Cerita

Cafe di kota kecil ini sangat berbeda dengan cafe di Jakarta. Meski begitu, tetap saja estetika tampilannya tak mengecewakan. Terutama Cafe Ananda yang kini aku—kami—singgahi.

Aku menyesap es kapucino bertabur granula kecoklatan di atasnya dengan perasaan senang. Seorang pemuda merangkap vampir paruh waktu di depanku tengah menatap sekumpulan gadis-gadis bercelana pendek di seberang tempat kami duduk. Gadis-gadis yang sebagian besar mengenakan atasan minim itu cekikikan saat sadar Saga mengawasi mereka.

“Yang benar saja.” Saga mendengus ke atas minuman mirip es selasih warna hijau di bawah hidungnya. “Cewek-cewek itu kira aku sedang mengagumi mereka atau bagaimana. Pakaian mereka kekurangan bahan.”

Aku tertawa. “Kau ini kolot sekali, Saga. Berapa sih umurmu?”

Saga cemberut. “Aku baru berumur satu tahun!”

Hampir saja aku menyemburkan cairan espreso susu ke mukanya.

“Jangan bilang itu benar!” pekikku tertahan.

Saga memutar mata bosan. “Aku baru jadi vampir tahun lalu. Umurku tujuh belas waktu itu.”

Kuteguk sisa minumanku dalam sekali sedot. Aku sudah menantikan Saga membahas tentang bangsanya dari beberapa belas menit yang lalu. Setelah mencoba mengunci kembali pintu rumah, Saga memboncengku dengan sepeda motornya dan mengendarai benda itu sampai ke sini.

Aku menolak, sungguh. Namun, semuanya terpatahkan saat aku ingat aku sedang ingin tahu akan hubungan antara keluargaku dengan … vampir dan segalanya itu. Alhasil, di sinilah aku sekarang. Dengan cemas memeriksa arloji terus-terusan; takut Kakek pulang lebih dulu.

“Apa kau sekarat waktu itu?” Aku bertanya dengan suara berbisik.

Saga tertawa geli. Beberapa gadis di seberang menoleh.

“Kau kebanyakan nonton film vampir, Bara.” Saga cengar-cengir. “Apa yang kau harapkan? Kisah terciptanya versi vampir ala Edward Cullen atau Jasper Hale? Emmet?”

Aku hampir tersedak. “Kok kau tahu nama-nama itu?”

“Saudara angkatku fans berat seri Twilight,” jawab Saga jengah. Ia melambaikan tangan tak acuh. “Aku tidak sekarat. Aku hidup, sehat walafiat.”

Alisku bertaut. Ini bukan percakapan yang kucari sebenarnya, tapi tak ada salahnya juga.

“Jadi … kau minta diubah.” Aku memutuskan.

Saga menggeleng. “Aku diubah … karena terpaksa.”

“Kok bisa?” tanyaku heran.

Saga mengangkat bahu. Suaranya terdengar santai. “Aku anak buangan. Sejak bayi aku diasuh oleh orang tua angkat yang … ternyata vampir. Hukum vampir di Indonesia tidak memperbolehkan seorang vampir mengadopsi anak manusia. Kalau tetap ngotot, mereka harus menyetujui perjanjian yang ada dan tak boleh tidak dilakukan.”

Mataku melebar. “Orang tua kandungmu tega sekali, Saga. Ngomong-ngomong, perjanjian macam apa yang harus disetujui?”

“Aku tak pernah memikirkan orang tua kandungku, jadi itu tak jadi masalah.” Saga menyeruput minumannya, lalu melanjutkan. “Perjanjiannya adalah; vampir mana pun dilarang membiarkan anak manusia yang diadopsi bicara macam-macam tentang keberadaan vampir. Jadi, harus menerapkan penjagaan lebih ketat. Lalu, saat pelaku teradopsi sudah berumur minimal tujuh belas tahun dan maksimal lima puluh tahun, pelaku pengadopsi harus merubahnya menjadi vampir. Kalau tidak dilakukan, maka akan dianggap melakukan kejahatan.”

Aku melongo mendengar penjelasannya. Kalau dia bercanda, karangannya bagus sekali. Kalau dia serius, kedengarannya aneh sekali.

“Kenapa sih kalian tidak mempublikasikan diri di dunia ini?” kataku ingin tahu. “Dan ya, ampun. Memangnya hukum vampir benar-benar ada? Bagaimana mungkin aku sampai kelewatan?”

Saga menyeringai. “Bara, manusia bakal benci kalau melihat kami benar-benar ada di dunia ini! Dan lagi, hukum itu benar-benar ada. Hanya saja, cuma para vampir yang tahu.”

Aku bersandar dengan sikap kurang puas.

“Tapi, kau lihat? Kami menyukai film dan cerita tentang vampir karena terlihat keren. Mana ganteng dan cantik-cantik pula! Jadi, kenapa tidak?” Aku mencoba mendebat berdasarkan riset pasar dadakan dalam kepala.

Tawa Saga menyembur keluar. Gadis pelayan yang sedang lewat sampai menoleh penasaran.

“Coba bayangkan,” bisik Saga seraya mencondongkan badannya ke arahku. “Bayangkan saja dulu. Kalian cewek-cewek cantik sedang bergosip di suatu tempat tentang ketampanan Damon Salvatore, lalu makhluk serupa dia tiba-tiba muncul di depan kalian. Silakan dibayangkan.”

“Sudah,” ucapku bodoh.

Saga menunjukku. “Nah, tambahkan gambaran vampir itu sedang kelaparan. Ingin menyedot habis darah kalian.”

Salah satu alisku terangkat. “Kau saja tidak begitu, Saga.”

Saga mendengus. Jelas meremehkan pikiranku.

“Kami tetap makan dan minum seperti biasa. Tetap punya kebutuhan khusus akan buang air besar dan sebagainya.” Saga menjelaskan dengan suara pelan, tak ada nada main-main di suaranya. “Namun, darah tetap yang paling utama. Semua vampir adalah manusia, Bara. Hanya saja, sesosok iblis peminum darah menyertai jiwa kami. Itulah mengapa kami membutuhkan darah; hewan ataupun manusia. Jika tidak, sosok iblis di jiwa kami akan memberontak. Percayalah, kau tidak akan mau tahu bagaimana wujud kami yang sebenarnya.”

Leherku serasa terkena uap es beku. Entah kenapa leherku jadi kering. Aku menyerobot minuman Saga dan meminumnya sebanyak satu sedotan.

“Soal iblis itu pasti hanya dugaan, 'kan?” bisikku.

Saga menggeleng. Suaranya tetap pelan. “Manusia punya sejarah, maka kami juga punya.”

Aku menyetopnya. Kupanggil si gadis pelayan. Saga memandangku heran saat aku memesan satu lagi es kapucino pada pelayan itu. Saat Saga membuka mulutnya, kusetop dia lagi.

“Jangan cerita dulu, Aliando Kacangan,” tukasku. “Biar aku mendapatkan minumanku dulu.”

Tak sampai dua menit kemudian, pesananku tiba. Aku memberi isyarat agar Saga melanjutkan.

“Jangan lupa pakai suara kecil.” Aku mengingatkan. “Takutnya ada yang dengar.”

Meski pengunjung terdekat cafe ini berada beberapa kursi jauhnya dari kami, aku tetap tak boleh ambil risiko. Aku tak mau berakhir di Pengadilan Vampir Indonesia.

“Oke,” lanjut Saga. Ia bicara berbisik-bisik, alhasil aku harus mencondongkan badan dan memasang telinga baik-baik. “Legenda mengatakan, beratus-ratus tahun lalu, hidup seorang gadis di sebuah desa. Ia cantik sekali, tapi dijauhi karena ia pernah diperkosa oleh ayahnya sendiri.”

“Itu legenda! Itu bukan sejarah!” potongku tertahan. Saga mendelik, dan aku terdiam.

Pemuda itu melanjutkan seolah aku tak pernah menyelanya. “Suatu hari ia tak tahan lagi. Ia sering diejek, dilecehkan, dan dipermalukan. Maka, datanglah ia ke sebuah gua terpencil untuk bersemadi. Di sana ia memohon pada setan untuk membantunya membalas sakit hatinya.

Pada malam ketujuh, sesosok iblis berwajah menakutkan akhirnya muncul. Iblis itu menanyakan keinginan si gadis, dan si gadis bilang dia ingin membunuh tanpa banyak melukai korbannya. Pertama-tama, sang iblis menyuruhnya melakukan teluh atau santet, tapi si gadis menolak. Ia ingin menghabiskan darah korbannya tanpa teluh ataupun luka berarti.

Maka, sang iblis bilang ia bisa mewujudkannya. Namun, si gadis harus bersumpah akan tetap mengabdikan jiwa padanya; hidup atau mati. Itu juga akan berlaku untuk cucu-cucunya. Si gadis menyetujui, dan itulah awal lahirnya vampir-vampir sekarang.

Meski begitu, si gadis tak pernah menikah atau mempunyai anak. Namun, ia menciptakan vampir-vampir baru atas keinginannya semata. Dendamnya terlalu jauh, dan akhirnya malah menciptakan ras baru selain manusia. Setiap manusia yang diubah, ada sesosok iblis yang merasukinya. Itulah yang membuat mereka menjadi abadi.

Dari waktu ke waktu, jumlah vampir semakin banyak. Dulu, selalu ada yang saling bertarung sampai mati, dan kemudian menciptakan vampir yang baru lagi. Dulu, para vampir tak selalu bisa mengendalikan diri sendiri karena tak bisa mengalahkan nafsu sang iblis dalam diri mereka.

Namun, sekarang, semuanya di bawah kendali hukum. Tak sembarang vampir boleh merubah apalagi memburu manusia. Ada tempat khusus serupa akademi yang akan membantu para vampir yang masih kesusahan mengendalikan diri, sehingga pertarungan antar vampir sudah jauh berkurang.

Meski begitu, Bara, kami masih punya hak penuh akan tubuh dan jiwa kami. Itulah yang membuat kami tetap manusiawi apa pun keadaannya.”

Saga menyudahi kuliahnya dengan menghela napas, lalu bersandar ke kursinya dengan puas. Ia menyedot sisa minumannya sampai berbunyi memalukan.

Begitu pula aku.

“Kedengarannya mirip novel,” celetukku.

Saga cuma diam, tapi ekspresinya berubah jengkel.

Aku mengangkat bahu. “Maksudku, sejarah vampir di drama Vampire Diaries lebih konpleks dari ini. Kau tak bisa menyalahkan aku.”

“Kau juga tak bisa menyalahkan sejarah kami yang sederhana,” balas Saga datar.

Aku memutar-mutar bola mata, dan tak sengaja menatap jam di dinding seberang. Aku terpekik.

“Hampir jam tiga!”

Kalang kabut aku mengeluarkan uang untuk membayar minuman kami. Aku hampir menjatuhkan kepala kami berdua saat kuseret tangan Saga dengan kecepatan luar biasa—yang tentu saja manusiawi.

Kutampar-tampar punggungnya untuk segera memacu sepeda motornya kencang-kencang di jalanan bypass yang lumayan lengang.

“Sabar, dong!” seru Saga sebal. “Lampu merah, nih!”

“Hajar saja!” balasku berteriak.

“Kau bercanda?!” pekik Saga. “Ada truk lewat, tuh!”

Aku berbisik ke telinganya. “Kau vampir tak berguna, tahu?!”

“Jadi vampir bukan berarti jadi superhero, bodoh!”

Aku tercengang. Jelas saja. Selama ini yang kuanggap bodoh Saga, bukan aku.

Suara sirine yang bukan ambulans hampir membuat jantungku berubah warna kuning. Aku menoleh.

“Mati, Saga! Mati kita!” gumamku; lebih panik dari yang sebelumnya.

“Cuma polisi, demi Tuhan!” tukas Saga geram.

Kutanpar belakang kepalanya yang bodoh.

“Aw! Kau ini apa-apaan, sih?!”

Aku menggeram. “Cuma polisi, ya. Coba lihat kepala kita berdua!”

Beberapa detik kemudian, Saga sadar kalau kami tak memakai helm. Bersamaan dengan itu, lampu hijau menyala. Saga menarik gas kuat-kuat dan hampir membuatku terjungkal ke belakang.

Kutampar sekali lagi punggungnya sambil memeluk erat-erat pinggangnya. Suara sirine tiba-tiba lebih berfokus ke jalur yang kami lewati.

Sungguh tidak lucu sama sekali. Bagaimana mungkin seorang vampir seperti Saga berakhir dikejar-kejar polisi manusia seperti ini?!

“Turun saja dari motor dan gendong aku!” aku berteriak putus asa.

“Bodoh! Ini masih siang!”

Tiba-tiba, seorang anak kecil di ujung sana tampak menyeberang sambil berlari. Namun, laju motor kami lebih cepat dari itu.

Saga membanting setang motor ke kiri. Aku berteriak kira-kira selama dua detik tepat sebelum lubang selokan berumput menyambut kami bertiga.

Motor Saga mengerang, begitu pula dengan kami berdua. Saga segera berdiri, tapi aku perlu dibantu olehnya karena badanku lecet-lecet semua dan agak tertimpa badan motor. Untung tidak terkena knalpotnya.

Aku meringis. Setengah kesakitan, setengah merasa kecut karena gagal melarikan diri.

Dua sepeda motor polisi berhenti di depan kami dengan sigap. Mobil patroli berwarna biru mengikuti dari belakang.

Sial!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status