Pagi menyingsing, silau menerobos masuk ke sela-sela kaca jendela yang tak tertutup tirai.
Mata lentik yang sedikit bengkak itu terbuka. Pemiliknya menggeliat dengan rasa ngilu yang teramat sangat di sekujur tubuh. Sedetik setelahnya, sadar akan apa yang telah terjadi.
Tak ada tangis di mata indah itu, ia hanya menerawang kosong pada langit-langit kamar berwarna hitam galaksi. Rahangnya bergemeretak, marah yang memuncak itu justru membelenggunya dalam kebisuan.
Jarinya meremas kuat kain seprai putih yang berada di bawah tubuhnya yang polos, tak terbalut apapun. Ia tidak sudi melihat darah perawannya yang berbekas di sana, ia juga tak sudi melihat pada sosok yang telah merenggutnya.
Gadis itu bangkit dengan tubuh yang bergetar, lututnya lemas untuk berdiri. Ia menahan napas, menahan ledakan emosi yang menyumpal dadanya. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia memunguti pakaiannya. Tanpa perlu menoleh pada bagaimana kacaunya tempat ini.
Tertatih, ia melangkah menuju kamar mandi. Di sana, tubuh polosnya terpampang sempurna di kaca besar yang tak malu menunjukan kemolekan indah dari pantulannya. Jari jemarinya yang lentik, perlahan menyusuri luka demi luka di tubuh, lebam demi lebam yang meronai kulit putihnya. Wajah itu pias tanpa ekspresi.
Ia, meninggalkan apartemen itu tanpa sepatah kata.
***
Apa yang harus dia katakan pada ayahnya, jika ayahnya melihat kondisinya saat ini? Wajah lebam, bibir berdarah, tubuh penuh dengan memar.
Gadis itu diam di taman. Merebahkan tubuhnya pada kursi besi di tempat yang tidak terlihat. Ia harus menunggu hingga sore, paling tidak ayahnya tidak boleh tahu ia bolos sekolah hari ini.
Ambang kewarasannya menipis. Satu-satunya hal yang membuat dia masih terlihat normal adalah demi ayahnya. Ia, tidak pernah ingin melihat ayahnya hancur dan kecewa. Ayah adalah satu-satunya keluarga yang Neira miliki.
Neira memukul kepalanya keras, saat kilasan peristiwa semalam melintas kembali di benaknya. Seringai jahat lelaki itu di atas tubuhnya terus membayang di pikiran Neira. Perasaan jijik pada diri sendiri itu tiba-tiba menyeruak, Neira menutup matanya rapat. Tubuhnya menggigil di antara teriknya matahari. Ia meringkuk dan terus bergumam .... "Pergi ... Tolong pergi ... Pergi ...."
Waktu berjalan terasa sangat lambat bagi Neira. Berkali-kali ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia ingin segera pulang, walau rasa takut itu memenuhi sisi batinnya.
Langkah yang tertatih berjalan dengan begitu gontai, rasa nyeri itu masih sangat terasa di tubuh bagian bawahnya. Ia menggigit bibir demi menahan rasa sakit itu dan tetap berjalan menuju halte. Senyumnya sedikit merekah walau sangat samar, saat mobil angkot yang ia tunggu sudah terlihat.
Ia terdiam, duduk di dekat pintu. Melihat nanar pada pergelangannya yang membiru. Perlahan ia menyentuh luka itu.
"Kenapa, Neng? Habis digebukin?" tanya salah seorang ibu di dekatnya. Neira hanya menggeleng pelan.
Mobil itu terus melaju, membawa kebisuan Neira menuju pulang.
***
Neira menyusuri gang sempit yang dindingnya di penuhi dengan mural____(baca: tulisan dan gambar seronok)____ kakinya terseok, ia membungkuk sejenak untuk memijit lututnya yang gemetar.
"Aduh," rintihnya, saat bahunya tak sengaja tersenggol gerombolan anak-anak kecil yang bermain sepeda.
"Maaf, Kak."
Neira hanya tersenyum menanggapi dan melanjutkan langkahnya. Di ujung gang sempit yang hanya bisa dilalui dua badan manusia ini, ada sebuah kontrakan kumuh tujuh pintu. Di sanalah tujuan Neira, tempat gadis itu tinggal.
Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang babak belur, saat melewati kerumunan ibu-ibu yang sedang riuh bergosip. Kerumunan itu tiba-tiba membisu, tersenyum aneh pada Neira.
"Permisi, Bu." Sapa Neira yang melewati mereka. Dan hanya ditanggapi senyuman kaku. Gadis itu pikir, mungkin karena penampakannya yang amburadul. Tapi, tatapan mata bude Lastri justru terlihat iba di mata Neira.
"Baru pulang, Nduk?"
"Iya, Bude. Permisi, Neira masuk dulu." Pamitnya sesaat sebelum membuka kamar kontrakannya.
Kamar lusuh bercat biru itu tampak sepi, beberapa catnya sudah mengelupas dan kusam. Bahkan, beberapa eternitnya telah jebol. Gadis itu rebah di kasur kapuk yang tergelar di lantai. Ayahnya, mungkin masih di pasar. Menjadi kuli panggul demi sesuap nasi, beruntung ia memiliki putri yang pandai, sehingga tidak perlu memikirkan biaya lagi untuk bersekolah.
Sunyi, hanya detik-detik jam yang mengalun. Neira melirik ke arah jam dinding di atas pintu, pukul 17.35 wib. Ayahnya harusnya sudah pulang.
Ia beranjak. Membuka jaketnya lalu menggantungnya di balik pintu. Ia melirik ke sebelah kanannya, pada lemari kaca yang memantulkan sosok dirinya. Berseragam abu-abu putih, dengan kemeja putih yang sudah tidak memiliki kancing. Napasnya menderu tiba-tiba, perasaan jijik dan marah itu kembali menghantuinya. Dengan tergesa, Neira melepas kemeja itu, membuangnya dengan kasar ke plastik sampah yang teronggok di sudut dapur.
Gadis itu membanting pintu kamar mandi. Lalu, menangis sejadi-jadinya di sana. Ia duduk tersengkur di lantai kamar mandi, kepalanya menelungkup pada lutut. Tangannya membekap erat mulutnya yang menangis meraung. Berkali-kali ia membenturkan kepala pada dinding semen bak mandi, berharap ia bisa tak sadarkan diri lalu amnesia. Melupakan semua hal yang menyakitkan baginya tadi malam.
***
"Assalamualaikum, Nei ...."
Suara salam dan ketukan pintu itu menyadarkan Neira dari lamunan. Ia, baru selesai mandi dan termenung di depan kaca.
"Walaikum salam, iya, Bude?" ucapnya setelah membuka pintu. Ada bude Sulastri di sana.
"Bude boleh masuk? Bude bawa makan nih sama teh hangat buat kamu." Wanita itu mengangkat sedikit nampan yang ia bawa, menunjukan pada Neira.
Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk, mempersilahkan bude Sulastri yang notabene tetangga sebelah kamarnya untuk masuk.
"Makan dulu." Bude Sulastri menyodorkan piring berisi nasi beserta sup dan ayam goreng ke pangkuan Neira. Tapi gadis itu justru meletakkan piringnya di meja.
"Nanti saja, Bude. Nei masih kenyang."
"Makan sekarang aja, sekalian ngobrol sama Bude," wanita paruh baya itu menyodorkan kembali piringnya ke pangkuan Neira. Mau tak mau gadis itu menerimanya.
Walau sebenarnya sulit untuk menelan apa yang ia makan, tapi gadis itu memaksakan diri untuk bisa makan.
"Kamu kenapa, kok lebam?"
"Jatuh dari ojek, Bude."
"Tapi engga pa-pa?"
Neira hanya tersenyum lemah dan menggeleng.
"Semalam bapakmu nyariin kamu, kamu ke mana? Kenapa tidak bisa di telepon?"
Gadis itu diam, tatapannya kosong pada piring di pangkuannya.
"Nei," tegur bude Sulastri yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Mmm ... Pas jatuh dari ojek sempat pingsan, jadi dibawa ke UGD dan nginep di sana. Hape aku pecah saat jatuh, jadi mati total, Bude." Gadis itu lagi-lagi melirik jam dinding, ini sudah pukul delapan malam, ke mana ayahnya? Apa masih mencarinya? Perasaan bersalah itu menderunya.
"Bude, tahu bapak sekarang lagi ke mana?"
_________________________________________
FUNFACT : Ada yang takut laba-laba engga? Senasib.
Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur."Maaf ...,""Maaf ...,""Maaf ...."Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya."Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.
Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan."Hai ... Kamu kenapa?"Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang."Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam."Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga."Kenapa memangnya, Mah?""Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya."Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah
Tidak semua orang bersenang hati menerima kebaikan orang lain. Entah karena ego, malu, tersinggung, gengsi dan berbagai macam alasan lain. Termasuk Neira yang enggan menerima bantuan Prayoga.Butuh tenaga ekstra bagi Amanda meyakinkan Neira untuk bersedia tinggal bersamanya. Ini salah satu bentuk tukar guling dirinya dan Prayoga. Dan untungnya, setelah diskusi yang alot, gadis itu menyetujuinya. Dan Amanda sangat bersyukur akan hal itu.Tak dapat dipungkiri. Amanda, selalu gagal membujuk Prayoga untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris, kelak saat ia lulus. Yoga selalu beralasan tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, tapi Amanda yakin bukan itu alasan sesungguhnya. Dan semua tebakan Amanda itu terjawab, saat malam tragedi bunuh diri Neira.Amanda masih sangat jelas mengingat peristiwa malam itu, saat Prayoga sendiri yang menawarkan diri untuk berangkat ke Inggri
Perlahan mata cantik itu mengerjap-ngerjap,menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retina. Meski masih sedikit buram dan berbayang, tapi Neira mampu melihat ke sekitarnya. Hanya ada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidurnya, serta bau obat yang menyeruak masuk ke penciuman gadis itu.Kepalanya masih terasa sangat berat, tapi ia mencoba untuk bangun. Ranjang itu berderit karena tubuh Neira bergerak. Tak lama berselang, seorang perempuan berjas putih datang menyibak tirai di hadapannya."Sudah sadar?" tanya wanita itu lembut. Lalu mendekat ke arah Neira. "Masih pusing? Rebahan dulu ya, biar saya periksa lagi."Neira hanya menuruti apa yang dikatakan dokter perempuan itu."Saya di mana ya, Dok?""Di unit kesehatan kampus. Tadi kamu pingsan, jadi mahasiswa bawa kamu ke sini," ja
[Flashback sudah selesai. Part ini kembali di masa Neira sekarang *lihat kembali part 03*]Panas terik menyinari Jakarta siang ini, berkombinasi dengan macet dan polusi, membuat orang-orang menjadi cepat emosi dan tidak sabaran.Neira mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Sebenarnya, tubuhnya sudah agak limbung, tapi wanita itu masih berusaha untuk bisa mengerjakan tugasnya."Lagi ramai, Nei. Tolong kerjanya lebih cepat ya!" seru salah satu rekan kerjanya yang lebih senior."Iya, Mbak." Hanya dua patah kata itu yang sanggup terlontar dari bibir tipisnya.Warung padang ini adalah tempat kerjanya yang ke sepuluh. Mulai dari menjadi jaga toko sepatu, penjaga warteg, dan bermacam-macam jenis pekerjaan yang lain, tak ada yang bertahan lebih dari satu hari. Kondisinya yang morning
Seseorang yang hidup sebatang kara seperti Neira, tidak punya tempat untuk tinggal, tidak punya keluarga untuk berbagi beban, bukanlah suatu yang mudah dijalani oleh semua orang. Jadi, jika saat ini ada satu keluarga yang bersedia menampung dirinya dengan penuh kehangatan, bolehkah Neira sebut mereka sebagai 'Rumah'?Dua bulan berada di rumah ini, membuat Neira merasa menemukan kembali hidupnya. Dia seolah bisa melihat harapan di depan sana, bahwa dia masih pantas untuk menikmati bahagia.Di saung belakang rumah inilah biasanya Neira menghabiskan waktunya bercengkrama dengan mak Oni. Wanita berusia lebih dari setengah abad, yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun kepada keluarga Bagaskara. Dari mak Oni juga lah Neira tahu, bahwa Ratih adalah istri kedua Bagaskara, setelah istri pertamanya____Paramita____meninggal dunia."Siang-siang lagi ng